3.5/5
3D
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
Comedy
Fantasy
Franchise
Hollywood
Pop-Corn Movie
Reboot
Remake
SciFi
Sphere X
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ghostbusters (2016)
Sejak perilisan pertama kali di
tahun 1984, Ghostbusters yang
diprakarsai oleh Dan Aykroyd segera menjadi fenomena global. Berhasil
mengumpulkan US$ 238.6 juta (dengan perhitungan inflasi setara US$ 525 juta
saat ini), diikuti sekuelnya, Ghostbusters
II (1989) yang masih berhasil mengumpulkan total US$ 215.3 juta di seluruh
dunia. Ghostbusters pun menjelma
menjadi franchise baru yang juga merambah novel, video game, dan serial TV
animasi. Sayang perjalanan panjang mengiringi installment layar lebar ketiga. Sebenarnya
berbagai ide cerita untuk installment ketiga bermunculan sejak lama,
termasuk dari Aykroyd sendiri sejak 1990-an dengan titel Ghostbusters III: Hellbent. Columbia
Pictures selaku studio dan para cast tak kunjung menemukan titik temu, sampai
kematian salah satu pemeran personel utama, Harold Ramis (Dr. Egon Spengler) di
tahun 2014 membuat cast asli yang lain semakin skeptis. Columbia Pictures pun
membuka diri untuk kemungkinan-kemungkinan lain. Pitch dari Paul Feig untuk
membuat reboot Ghostbusters dengan
versi para wanita mendapatkan lampu hijau untuk diproduksi. Muncul pula rencana
tetap membuat reboot dengan anggota tim para pria seperti aslinya yang
dipercayakan kepada Russo Brothers (Joe & Anthony Russo – Captain America: The Winter Soldier dan Captain America: Civil War). Namun
rencana ini akhirnya dibatalkan sama sekali dan Ivan Reitman (sutradara dua
installment pertama) dalam sebuah wawancara mengakui rencana ini tidak pernah
benar-benar dikembangkan secara serius.
Praktis tinggal Ghostbusters versi Paul Feig yang serius
untuk dikembangkan. Feig kembali menggandeng Katie Dippold setelah sukses
berkolaborasi di The Heat serta tentu
saja Melissa McCarthy yang sudah menjadi ‘korban eksploitasi’ favorit Feig.
Diikuti Kristen Wiig yang pernah bekerja sama dengannya di Bridesmaids, serta pendukung dari Saturday Night Lives lainnya, Kate McKinnon dan Leslie Jones.
Menambah semarak suasana gokil, Chris Hemsworth didapuk menjadi Kevin, versi
pria dari Janine Melnitz. Tentu saja proyek reboot ini diwarnai kontroversi,
termasuk haters berjemaah yang mem-bash habis di berbagai situs review, bahkan
sampai menuduh review-review positif sebagai review berbayar, tak ada yang bisa
dipercaya sampai Anda menyaksikan (baca: mengalami)-nya sendiri.
Erin Gilbert adalah seorang
profesor fisika di sebuah universitas yang karirnya sedang menanjak. Namun
semuanya terancam berakhir ketika seorang pria mengenalinya sebagai penulis
buku tentang fenomena paranormal beberapa tahun yang lalu bersama sahabatnya,
Abby Yates. Ternyata buku itu dijual lagi oleh Abby secara online sebagai
bentuk penggalangan dana demi keberlangsungan penelitiannya tentang dunia
paranormal yang diyakininya ada. Awalnya Erin meminta Abby menurunkan iklan
penjualan buku itu sebelum dilihat oleh para koleganya di universitas, tapi
setelah mengalami sendiri Erin setuju untuk bergabung dengan Abby dan Jillian
Holtzmann memburu para hantu yang berkeliaran dengan teknologi fisika yang
mereka kembangkan. Apalagi setelah beberapa hari terakhir New York diteror oleh
berbagai penampakan hantu yang meresahkan. Dengan bantuan petugas kereta bawah
tanah, Patty Tolan dan pria dungu bernama Kevin, tim yang mereka namakan
Ghostbusters tak hanya mulai membasmi hantu-hantu yang dilaporkan sedang
berkeliaran, tapi juga menemukan dalang dari teror ini. Apalagi walikota
Bradley tampak membutuhkan jasa mereka tapi tak mau nama mereka populer karena
dipercaya akan membuat masyarakat makin panik.
Mengalami Ghostbusters versi Feig ini sebenarnya seperti mengalami kembali
petualangan para pemburu hantu dari versi aslinya. Dengan jalinan plot
investigatif yang sebenarnya cukup generik, lebih mengingatkan saya akan
franchise Scooby Doo yang lebih
scientific ketimbang Ghostbusters versi
aslinya yang lebih banyak dipengaruhi okultisme dan materi-materi supernatural
lainnya. Ditambah dengan karakter-karakter dan guyonan khas Feig yang begitu
khas, seperti yang pernah ditunjukkan di Bridesmaids,
The Heat, dan Spy. Mulai ‘mengeksploitasi’ habis-habisan Melissa McCarthy dan
Kristen Wiig, humor situasional, slapstick, humor bereferensi pada budaya pop,
sampai sindiran misogynist dan rasis yang sering dituduhkan sejak ide pertama
all-female Ghostbusters diumumkan.
Bagi saya sendiri hampir semua humornya berhasil, baik yang sekedar bikin senyum
hingga yang tertawa terbahak-bahak. Karakter-karakter utamanya memang identik
dengan versi original-nya, tapi masih punya karakteristik khas masing-masing, sehingga
tak terkesan sekedar copy-paste dengan gender-swap semata.
Yang patut paling saya puji dari Ghostbusters versi Feig ini sebenarnya
adalah kemampuan dalam menyeimbangkan antara bangunan universe baru yang khas
milik ia sendiri dengan elemen-elemen original yang sudah melekat kuat, bahkan
lewat elemen-elemen tribute dan cameo dari para cast aslinya yang berhasil
‘menyenangkan’. Pun bagi penonton yang belum pernah menyaksikan versi asli
sebelumnya, Ghostbusters juga masih
menyuguhkan jalinan cerita sederhana yang jelas serta tak lupa yang terpenting,
pengalaman visual yang sangat menyenangkan. Lagipula, Feig menyelipkan
elemen-elemen ‘asal-mula’ yang tak dimunculkan di dua versi aslinya, seperti
nama, logo, dan kendaraan ‘dinas’ Ghostbusters.
Para pengisi karakter utama Ghostbusters versi Feig berhasil
mendominasi durasi dengan cukup seimbang, terutama Melissa McCarthy sebagai
Abby dan Kristen Wiig sebagai Erin. Disusul Kate McKinnon sebagai Jillian
Holtzman yang ternyata mampu mencuri perhatian lewat perangainya yang berhasil
menangkap kepribadian karakter versi orisinilnya, Dr. Egon Spengler, tapi
dengan balutan sensualitas dan komedik yang pas serta khas. Leslie Jones
sebagai Patty Tolan yang diset sebagai versi baru dari Winston Zeddmore, masih
punya porsi peran yang kurang lebih sama seperti versi originalnya. Kalah jika
dibandingkan ketiga lainnya, tapi tetap bisa menjadi penyampai guyonan
(terutama yang bertema rasisme) yang cukup efektif. Sementara Chris Hemsworth
sebagai Kevin di sini mendapatkan highlight yang lebih besar ketimbang karakter
aslinya, Janine Melnitz. Tentu faktor ‘he’s Chris Hemsworth, he’s an action
hero, Thor!’ yang tiba-tiba harus memerankan karakter komedik dungu, sangat
berpengaruh, tapi ia juga punya porsi dalam cerita yang awalnya saya kira
‘begitu saja’ (baca: penghias layar semata), ternyata cukup penting menjelang klimaks.
Neil Casey sebagai tokoh villain,
Rowan North, tampil tak terlalu berkesan tapi tergolong cukup baik dalam
memerankan karakter jahat sekaligus nyentrik. Terakhir, tentu saja kehadiran
para cameo dari Ghostbusters versi
1984-1989; Bill Murray, Dan Aykroyd, Annie Potts, Ernie Hudson, dan Sigourney
Weaver mampu membuat penonton versi aslinya senyum-senyum.
Salah satu daya tarik Ghostbusters versi 2016 adalah tampilan
visualnya yang mendukung petualangan para pemburu hantu menjadi begitu
menyenangkan dan seru. Terutama sekali format 3D yang saya akui, terbaik selama
beberapa tahun terakhir. Ada banyak sekali pop-out gimmick yang bersinergi
dengan timing adegan sehingga menghadirkan efek spontanitasa yang maksimal bagi
saya. Gimmick out-of-frame pun menjadi daya tarik lebih dari format 3D, apalagi
jika Anda menyaksikannya di Large Premium Format seperti IMAX (yang sayangnya
tak mampir di Indonesia karena lebih dikuasai Star Trek Beyond) atau Sphere-X sebagai alternatif yang punya
kualitas kurang lebih setara. Sinematografi Robert D. Yeoman serta editing
Melissa Bretherton dan Brent White tentu punya andil yang cukup besar dalam
memaksimalkan ‘efek kejut’ 3D-nya, yaitu lewat framing yang tepat dan timing
yang serba pas pula. Scoring Theodore Shapiro masih tak jauh-jauh bermain
dengan original score-nya tapi masih mampu menghadirkan suasana creepiness
sekaligus fun. Pemilihan soundtrack pendukung yang sebenarnya hanya beda
aransemen dan tak jauh-jauh dari tema ‘who you gonna call’ serta lirik-lirik
asli theme song Ghostbusters, tapi
terkesan variatif ketika diletakkan pada momen-momen yang pas. Mulai versi
Fallout Boys feat. Missy Elliott, Pentatonix, Walk the Moon, hingga Mark
Ronson, Passion Pit & A$AP Ferg. Terakhir, tata suara juga memanfaatkan
efek surround dengan maksimal, sekaligus menghadirkan keseimbangan suara yang
jernih, crispy, deep bass, dan terdengar dahsyat menghiasi sepanjang durasi.
Ghostbusters versi Paul Feig memang dibuat untuk sebanyak mungkin
memikat penonton, baik yang familiar dengan versi originalnya maupun penonton
dari generasi baru (yang mau tak mau, perlu, mengingat rentang waktu antar
installment yang cukup lama, yaitu 27 tahun!). Dengan mempertahankan
elemen-elemen ‘klasik’ dengan warna-warna khas Feig yang modern, termasuk
me-modern-kan plot yang lebih bisa diterima penonton masa kini yang kian
rasional dan scientific, dengan detail minor ‘asal mula’ yang memuaskan, serta
tentu saja menghadirkan petualangan yang masih mampu jadi menarik meski
generik, Ghostbusters versi Feig
adalah paket hiburan yang sangat seru dan menyenangkan. Bahkan mungkin masuk
salah satu summer movie 2016 paling seru dan menyenangkan di tengah
suguhan-suguhan yang didominasi kesan ‘gelap’. Experience it in 3D for the true
experience it was intended to be!
Lihat data film ini di IMDb.