The Jose Flash Review
Star Trek Beyond

Ketika berencana me-reboot franchise Star Trek tahun 2009, Paramount sudah mempersiapkan tiga seri pertama dengan J. J. Abrams sebagai komandan, termasuk kontrak dengan para pemeran utamanya. Ketika Abrams memilih untuk fokus pada Star Wars: The Force Awakens dan hanya duduk sebagai produser, proyek installment ketiga reboot Star Trek sempat terombang-ambing. Tak hanya posisi sutradara yang sempat jatuh kepada penulis naskah dua installment pertama, Roberto Orci sebelum akhirnya jatuh ke tangan sutradara Taiwan yang angkat nama lewat franchise Fast & Furious sejak Tokyo Drift, Justin Lin, tapi juga naskah awal yang ditulis oleh Orci berasama Patrick McKay dan John D. Payne ternyata tidak memuaskan pihak Paramount hingga akhirnya ditunjuklah Simon Pegg, pemeran karakter Montgomery Scott yang sebelumnya lebih dikenal menulis naskah film-film komedi, terutama The Cornetto Trilogy (Shaun of the Dead, Hot Fuzz, dan The World’s End), dibantu Doug Jung yang menulis ulang naskahnya. Diharapkan, masuknya Justin Lin, Simon Pegg, dan Doug Jung ini mampu memberikan rasa atau warna baru untuk installment ketiga, Star Trek Beyond (STB). Bagi kita penonton Indonesia, STB tentu makin menarik dengan berita keterlibatan Joe Taslim sebagai karakter villain Manas, yang mau tak mau dikait-kaitkan dengan faktor Justin Lin yang sebelumnya memang pernah bekerja sama dengan Joe di Fast and Furious 6, seperti halnya J. J. Abrams ‘membawa’ Simon Pegg setelah franchise Mission: Impossible.

Dua setengah tahun dari ending Star Trek Into Darkness, kru USS Enterprise kembali ke pangkalan Federasi Persatuan Antar-Planet, Yorktown. Sebelum menjalankan misi selanjutnya, Kapten James T. Kirk mengajukan diri sebagai Vice Admiral karena merasa bosan bekerja di ‘lapangan’. Ia berniat mempromosikan Commander Spock sebagai pengganti kapten USS Enterprise. Padahal di saat yang sama Commander Spock berniat mengundurkan diri setelah mendapat kabar kematian sang ayah, Spock Prime. Masa tenang tak berlangsung lama ketika muncul pod tak dikenal mendekati nebula terdekat. Isinya adalah seorang wanita bernama Kalara yang mengaku pesawat beserta awaknya terdampar di sebuah planet dan diserang oleh pemimpin alien bernama Krall. Kalara meminta bantuan USS Enterprise untuk membebaskan pesawat serta awaknya. Berangkatlah mereka ke planet yang tak teridentifikasi bahkan di arsip terlengkap milik Federasi. Mendekati planet itu, USS Enterprise diserang oleh gerombolan pesawat asing secara masif hingga pesawat mereka hancur lebur dan terdampar di planet tersebut. Para kru yang terpencar harus mencari cara bagaimana bisa selamat dan kembali ke Yorktown, sebelum akhrinya mereka sadar bahwa Krall punya tujuan yang lebih besar dan mengancam Federasi Persatuan Antar-Planet.

Masih menyuguhkan kisah petualangan menjelajahi planet dan alam semesta, secara premise sebenarnya tak ada yang benar-benar istimewa ataupun baru di STB.  Namun bukan itu yang menjadi highlight STB bagi saya. Pegg-Jung lebih tertarik untuk mengeksplorasi hubungan antar karakter yang lebih kuat dan seimbang dari para kru USS Enterprise lewat petualangan yang mereka lewati. Jika di dua installment sebelumnya yang menjadi fokus adalah hubungan antara James T. Kirk dan Commander Spock, maka STB menawarkan hubungan antar karakter yang lebih banyak serta tak kalah menariknya. Misalnya sejak awal kita disuguhi kedekatan Kirk dengan Lieutenant Commander Leonard McCoy, kemudian ketika awak terpencar-pencar dimanfaatkan untuk memperdalam koneksi antara McCoy-Spock, Kirk-Chekov, Montgomery Scott-karakter baru bernama Jaylah yang ikut menjadi salah satu karakter paling menarik perhatian, dan sedikit porsi (jika tidak mau dikatakan sebagai sekedar pemanis) hubungan asmara antara Spock-Nyota. Jangan salah, untuk urusan plot utama tentang misi USS Enterprise meski tergolong ‘generik’ tapi masih mampu terjalin dengan seru, bikin penasaran hingga klimaks (terutama tentang motif dan latar belakang Krall), serta yang tak kalah pentingnya, konsep besar cerita tentang dilematis struggle vs peace and unity yang berhasil menggugah pemikiran saya. Above all, yang paling membuat saya puas adalah banyak sekali visualisasi adegan-adegan dahsyat yang super fun dan elemen-elemen visual yang super keren, misalnya yang paling menarik perhatian saya, 'lebah-lebah' Krall yang menyerang USS Enterprise (dan juga Yorktown) dengan sangat masif dan ‘brutal’ dan adegan pengalihan perhatian yang dilakukan Kirk. Tak terasa, berkali-kali saya secara spontan meneriakkan ‘wow’, ‘woooohoooo’, dan ‘wooooo’.

Pengisi karakter-karakter utama, seperti Chris Pine sebagai James T. Kirk dan Zachary Quinto sebagai Spock masih memberikan performa yang setara dengan installment-installment sebelumnya meski kali ini harus membagi porsi dengan karakter awak-awak lain. Karl Urban sebagai Leonard McCoy, Simon Pegg sebagai Montgomery Scott John Cho sebagai Sulu, (Alm.) Anton Yelchin sebagai Chekov, dan Zoe Saldana sebagai Nyota Uhura, secara berturut-turut mendapatkan porsi sekaligus koneksi antar karakter yang lebih banyak sehingga masing-masing mampu menjadi perhatian penonton secara merata. Setidaknya lebih noticeable bagi penonton terawam sekalipun.

Di jajaran karakter baru, Sofia Boutella yang sebelumnya menarik perhatian kita sebagai Gazelle lewat Kingsman: The Secret Service, tentu dengan mudah menarik perhatian penonton lewat kharisma serta aksi kick-ass-nya sebagai Jaylah. Di balik make up alien-nya, Idris Elba sebagai karakter villain Krall mungkin tak ditulis sedetail dan sekuat Khan di Star Trek Nero ataupun Khan, tapi setidaknya ia mampu menghidupkan karakter villain tersebut dengan cukup threatening dan emotion expression yang cukup kuat saat revealing di klimaks. Joe Taslim sebagai Manas, kaki tangan terdepan Krall yang meski awalnya sempat tak terdeteksi (karena perbedaan antara Krall dan Manas hanya pada warna kulit serta namanya yang baru disebut di pertengahan film), tapi ternyata punya porsi action sequence yang cukup memorable. Begitu juga wajah aslinya yang terpampang di menjelang akhir film.

Keterlibatan Lin memang membawa penyegaran bagi franchise, terutama dalam menghadirkan adegan-adegan serta visual yang dahsyat dan bikin melongo. Pertama, peran desain produksi tim Thomas E. Sanders dan tim visual effect yang berhasil menghadirkan elemen-elemen adegan dahsyat tersebut serta desain tata kota Yorktown yang mencengangkan. Kemudian sinematografi Stephen F. Windon mempengaruhi pula excitement feel yang dihadirkan. Utamanya pergerakan kamera yang dinamis dan di banyak kesempatan membawa penonton bak melayang-layang di luar angkasa. Lalu editing yang dilakukan Greg D’Auria, Dylan Highsmith, Kelly Matsumoto, dan Steven Sprung semakin mempertajam mood keseruan cerita. Sound design tak kalah berjasa dalam menghadirkan keseruan pengalaman-pengalaman petualangan luar angkasa lewat sound effect yang crisp, clear, dan deep bass, serta pemanfaatan fasilitas surround yang sangat maksimal. Sementara Michael Giacchino menghadirkan scoring yang tak hanya semakin memperkuat emosi cerita, tapi juga mempertahan kan original score Star Trek yang sudah berstatus klasik dengan warna yang lebih modern namun tetap punya taste classy. Pemilihan Sabotage dari The Beastie Boys untuk mengiringi adegan ‘gila-gilaan’ menjelang klimaks berhasil menjadi salah satu elemen cerita yang gokil. Apalagi The Beastie Boys memang punya relasi yang terjalin akrab sejak lama (konon lagu-lagu populer The Beastie Boys banyak yang memasukkan unsur Star Trek, seperti Intergalactic, Ch-Check It Out, dan Brouhaha. Lagu Sabotage pun sempat muncul di Star Trek versi 2009).

Sayang, format 3D tak menawarkan efek yang cukup signifikan, baik dari segi depth of field apalagi pop-out gimmick. Sementara format 4DX justru memberikan upgrade pengalaman yang jauh lebih terasa dan nyata dari petualangan yang sudah disuguhkan dengan baik. Rasakan sensasi melayang-layang di luar angkasa mengikuti pergerakan kamera yang dahsyat atau ngerinya guncangan dahsyat ketika USS Enterprise diserang Krall's bees habis-habisan, lewat seat motion dan vibration, water spray, wind blow, flashing blitz, serta ankle shock yang bertebaran di banyak kesempatan. Apalagi faktor sinematografi yang memang turut andil dalam memperkuat efek 4DX hingga berkali-kali saya dibuat memalingkan pandangan dan mempererat pegangan tangan pada handle seat. IMO, STB menawarkan pengalaman 4DX terbaik tahun ini so far. Melebihi keseruan format 4DX untuk Captain America: Civil War. Maka sangat tanggung dan rugi rasanya jika Anda punya pilihan mengalami di 4DX tapi melewatkannya begitu saja.

As a conclusion, saya yang sudah menjadi fan Star Wars sejak lama pun harus mengaku bahwa STB menawarkan petualangan sinematik luar angkasa yang jauh lebih fun, seru, gila-gilaan, dibandingkan Star Wars: The Force Awakens akhir tahun 2015 lalu. Ini baru sajian summer blockbuster a la Hollywood yang paling layak dialami di layar lebar.


Lihat data film ini di IMDb

The 89th Academy Awards Nominees for:

  • Makeup and Hairstyling - Joel Harlow and Richard Alonzo
Diberdayakan oleh Blogger.