3D
4.5/5
4DX
Action
Adventure
Based on TV show
Blockbuster
Box Office
Franchise
Friendship
Futuristic
Hollywood
Oscar 2017
Professionalism
quotebanner
SciFi
Summer Movie
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Star Trek Beyond
Ketika berencana me-reboot
franchise Star Trek tahun 2009,
Paramount sudah mempersiapkan tiga seri pertama dengan J. J. Abrams sebagai
komandan, termasuk kontrak dengan para pemeran utamanya. Ketika Abrams memilih
untuk fokus pada Star Wars: The Force
Awakens dan hanya duduk sebagai produser, proyek installment ketiga reboot Star Trek sempat terombang-ambing. Tak
hanya posisi sutradara yang sempat jatuh kepada penulis naskah dua installment
pertama, Roberto Orci sebelum akhirnya jatuh ke tangan sutradara Taiwan yang
angkat nama lewat franchise Fast &
Furious sejak Tokyo Drift, Justin
Lin, tapi juga naskah awal yang ditulis oleh Orci berasama Patrick McKay dan
John D. Payne ternyata tidak memuaskan pihak Paramount hingga akhirnya
ditunjuklah Simon Pegg, pemeran karakter Montgomery Scott yang sebelumnya lebih
dikenal menulis naskah film-film komedi, terutama The Cornetto Trilogy (Shaun
of the Dead, Hot Fuzz, dan The World’s End), dibantu Doug Jung yang
menulis ulang naskahnya. Diharapkan, masuknya Justin Lin, Simon Pegg, dan Doug
Jung ini mampu memberikan rasa atau warna baru untuk installment ketiga, Star Trek Beyond (STB). Bagi kita
penonton Indonesia, STB tentu makin menarik dengan berita keterlibatan Joe
Taslim sebagai karakter villain Manas, yang mau tak mau dikait-kaitkan dengan
faktor Justin Lin yang sebelumnya memang pernah bekerja sama dengan Joe di Fast and Furious 6, seperti halnya J. J.
Abrams ‘membawa’ Simon Pegg setelah franchise Mission: Impossible.
Dua setengah tahun dari ending Star Trek Into Darkness, kru USS
Enterprise kembali ke pangkalan Federasi Persatuan Antar-Planet, Yorktown.
Sebelum menjalankan misi selanjutnya, Kapten James T. Kirk mengajukan diri
sebagai Vice Admiral karena merasa bosan bekerja di ‘lapangan’. Ia berniat
mempromosikan Commander Spock sebagai pengganti kapten USS Enterprise. Padahal
di saat yang sama Commander Spock berniat mengundurkan diri setelah mendapat
kabar kematian sang ayah, Spock Prime. Masa tenang tak berlangsung lama ketika
muncul pod tak dikenal mendekati nebula terdekat. Isinya adalah seorang wanita
bernama Kalara yang mengaku pesawat beserta awaknya terdampar di sebuah planet
dan diserang oleh pemimpin alien bernama Krall. Kalara meminta bantuan USS
Enterprise untuk membebaskan pesawat serta awaknya. Berangkatlah mereka ke
planet yang tak teridentifikasi bahkan di arsip terlengkap milik Federasi.
Mendekati planet itu, USS Enterprise diserang oleh gerombolan pesawat asing
secara masif hingga pesawat mereka hancur lebur dan terdampar di planet
tersebut. Para kru yang terpencar harus mencari cara bagaimana bisa selamat dan
kembali ke Yorktown, sebelum akhrinya mereka sadar bahwa Krall punya tujuan
yang lebih besar dan mengancam Federasi Persatuan Antar-Planet.
Masih menyuguhkan kisah
petualangan menjelajahi planet dan alam semesta, secara premise
sebenarnya tak ada yang benar-benar istimewa ataupun baru di STB. Namun bukan itu yang menjadi highlight
STB bagi saya. Pegg-Jung lebih tertarik untuk mengeksplorasi hubungan antar
karakter yang lebih kuat dan seimbang dari para kru USS Enterprise lewat petualangan yang
mereka lewati. Jika di dua installment sebelumnya yang menjadi fokus adalah
hubungan antara James T. Kirk dan Commander Spock, maka STB menawarkan hubungan
antar karakter yang lebih banyak serta tak kalah menariknya. Misalnya sejak
awal kita disuguhi kedekatan Kirk dengan Lieutenant Commander Leonard McCoy,
kemudian ketika awak terpencar-pencar dimanfaatkan untuk memperdalam koneksi
antara McCoy-Spock, Kirk-Chekov, Montgomery Scott-karakter baru bernama Jaylah
yang ikut menjadi salah satu karakter paling menarik perhatian, dan sedikit
porsi (jika tidak mau dikatakan sebagai sekedar pemanis) hubungan asmara antara
Spock-Nyota. Jangan salah, untuk urusan plot utama tentang misi USS
Enterprise meski tergolong ‘generik’ tapi masih mampu terjalin dengan seru,
bikin penasaran hingga klimaks (terutama tentang motif dan latar belakang
Krall), serta yang tak kalah pentingnya, konsep besar cerita tentang dilematis
struggle vs peace and unity yang berhasil menggugah pemikiran saya. Above all,
yang paling membuat saya puas adalah banyak sekali visualisasi adegan-adegan
dahsyat yang super fun dan elemen-elemen visual yang super keren, misalnya yang
paling menarik perhatian saya, 'lebah-lebah' Krall yang menyerang USS
Enterprise (dan juga Yorktown) dengan sangat masif dan ‘brutal’ dan adegan
pengalihan perhatian yang dilakukan Kirk. Tak terasa, berkali-kali saya secara
spontan meneriakkan ‘wow’, ‘woooohoooo’, dan ‘wooooo’.
Pengisi karakter-karakter utama,
seperti Chris Pine sebagai James T. Kirk dan Zachary Quinto sebagai Spock masih
memberikan performa yang setara dengan installment-installment sebelumnya meski
kali ini harus membagi porsi dengan karakter awak-awak lain. Karl Urban sebagai
Leonard McCoy, Simon Pegg sebagai Montgomery Scott John Cho sebagai Sulu,
(Alm.) Anton Yelchin sebagai Chekov, dan Zoe Saldana sebagai Nyota Uhura,
secara berturut-turut mendapatkan porsi sekaligus koneksi antar karakter yang
lebih banyak sehingga masing-masing mampu menjadi perhatian penonton secara
merata. Setidaknya lebih noticeable bagi penonton terawam sekalipun.
Di jajaran karakter baru, Sofia
Boutella yang sebelumnya menarik perhatian kita sebagai Gazelle lewat Kingsman: The Secret Service, tentu
dengan mudah menarik perhatian penonton lewat kharisma serta aksi kick-ass-nya
sebagai Jaylah. Di balik make up alien-nya, Idris Elba sebagai karakter villain
Krall mungkin tak ditulis sedetail dan sekuat Khan di Star Trek Nero ataupun Khan, tapi setidaknya ia mampu menghidupkan
karakter villain tersebut dengan cukup threatening dan emotion expression yang
cukup kuat saat revealing di klimaks. Joe Taslim sebagai Manas, kaki tangan
terdepan Krall yang meski awalnya sempat tak terdeteksi (karena perbedaan
antara Krall dan Manas hanya pada warna kulit serta namanya yang baru disebut
di pertengahan film), tapi ternyata punya porsi action sequence yang cukup
memorable. Begitu juga wajah aslinya yang terpampang di menjelang akhir film.
Keterlibatan Lin memang membawa
penyegaran bagi franchise, terutama dalam menghadirkan adegan-adegan serta
visual yang dahsyat dan bikin melongo. Pertama, peran desain produksi tim Thomas E.
Sanders dan tim visual effect yang berhasil menghadirkan
elemen-elemen adegan dahsyat tersebut serta desain tata kota Yorktown yang mencengangkan. Kemudian sinematografi Stephen F. Windon
mempengaruhi pula excitement feel yang dihadirkan. Utamanya pergerakan kamera
yang dinamis dan di banyak kesempatan membawa penonton bak melayang-layang di
luar angkasa. Lalu editing yang dilakukan Greg D’Auria, Dylan Highsmith, Kelly
Matsumoto, dan Steven Sprung semakin mempertajam mood keseruan cerita. Sound
design tak kalah berjasa dalam menghadirkan keseruan pengalaman-pengalaman
petualangan luar angkasa lewat sound effect yang crisp, clear, dan deep bass,
serta pemanfaatan fasilitas surround yang sangat maksimal. Sementara Michael
Giacchino menghadirkan scoring yang tak hanya semakin memperkuat emosi cerita,
tapi juga mempertahan kan original score Star
Trek yang sudah berstatus klasik dengan warna yang lebih modern namun tetap
punya taste classy. Pemilihan Sabotage
dari The Beastie Boys untuk mengiringi adegan ‘gila-gilaan’ menjelang klimaks
berhasil menjadi salah satu elemen cerita yang gokil. Apalagi The Beastie Boys
memang punya relasi yang terjalin akrab sejak lama (konon lagu-lagu populer The
Beastie Boys banyak yang memasukkan unsur Star
Trek, seperti Intergalactic, Ch-Check It Out, dan Brouhaha. Lagu Sabotage pun sempat muncul di Star
Trek versi 2009).
Sayang, format 3D tak menawarkan
efek yang cukup signifikan, baik dari segi depth of field apalagi pop-out
gimmick. Sementara format 4DX justru memberikan upgrade pengalaman yang jauh lebih
terasa dan nyata dari petualangan yang sudah disuguhkan dengan baik. Rasakan
sensasi melayang-layang di luar angkasa mengikuti pergerakan kamera yang
dahsyat atau ngerinya guncangan dahsyat ketika USS Enterprise diserang Krall's bees habis-habisan,
lewat seat motion dan vibration, water spray, wind blow, flashing blitz, serta
ankle shock yang bertebaran di banyak kesempatan. Apalagi faktor sinematografi yang
memang turut andil dalam memperkuat efek 4DX hingga berkali-kali saya dibuat memalingkan
pandangan dan mempererat pegangan tangan pada handle seat. IMO, STB menawarkan
pengalaman 4DX terbaik tahun ini so far. Melebihi keseruan format 4DX untuk Captain America: Civil War. Maka sangat
tanggung dan rugi rasanya jika Anda punya pilihan mengalami di 4DX tapi
melewatkannya begitu saja.
As a conclusion, saya yang sudah
menjadi fan Star Wars sejak lama pun
harus mengaku bahwa STB menawarkan petualangan sinematik luar angkasa yang jauh
lebih fun, seru, gila-gilaan, dibandingkan Star
Wars: The Force Awakens akhir tahun 2015 lalu. Ini baru sajian summer blockbuster a
la Hollywood yang paling layak dialami di layar lebar.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Makeup and Hairstyling - Joel Harlow and Richard Alonzo