3/5
Action
Adventure
Disaster
Drama
Family
Father-and-Son
Humanity
Indonesia
Pop-Corn Movie
Survival
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bangkit!
Ada alasan kenapa tidak semua
negara berani membuat film bertemakan disaster seperti yang dilakukan
Hollywood. Masalah klasik sebenarnya tapi memang punya pengaruh yang begitu
besar, yaitu budget. Investor mana yang berani mengeluarkan dana puluhan miliar
untuk menggarap film tanpa ada proyeksi hasil (baca: balik modal) yang sepadan,
terutama melihat pendapatan bersih film-film Indonesia dan minat masyarakat
terhadap film-film Indonesia. Jangan bandingkan dengan film Hollywood yang
memang punya jalur distribusi seluruh dunia yang sangat luas sehingga jika
gagal di negara asal, masih bisa meraup banyak di negara-negara lain, terutama
negara-negara dunia ketiga yang masih sangat menggemari film-film dengan
pameran VFX semata. Sementara untuk film Indonesia jika mau dijual ke luar
negeri pun harus melalui distributor tiap negara yang bersedia membeli hak siar
yang biasanya tak bisa diharapkan sebagai sumber pemasukan utama. Namun benar,
jika tak ada yang berani memulai, meski belum sempurna benar, kita tidak akan
pernah punya film dengan VFX mumpuni seperti Hollywood. Bagaimana pun
pencapaian besar bermula dari langkah kecil.
Untuk itulah Oreima Films-Kaninga
Pictures, dengan didukung Suryanation berani mengambil langkah membuat film
yang digadang-gadang sebagai film bertema bencana alam dengan tampilan visual
effect terbanyak (konon sampai 1.330 shot yang memuat VFX) pertama di sinema
Indonesia, bertajuk Bangkit!.
Speaking of disaster movie, meski tak banyak sebenarnya ada beberapa judul yang
berkaitan dengan disaster, seperti yang paling terakhir saya ingat Hafalan Surat Delisa. Tentu adegan
bencana tsunami di Aceh hanya ditampilkan sebentar (dan itu pun dengan kualitas
VFX ‘seadanya’) sementara fokus cerita lebih ke pasca bencana. Bangkit! mencoba sebuah gebrakan dengan
menawarkan rangkaian bencana alam sebagai fokus sekaligus daya tarik utama.
Menggandeng sutradara Rako Prijanto, yang filmografinya sudah cukup panjang
serta pernah bekerja sama dengan Oreima Films di 3 Nafas Likas dan Terjebak
Nostalgia, penulis naskah Anggoro Saronto (Sang Kiai, Sang Pialang, 7 Misi Rahasia Sophie, dan Terjebak Nostalgia), aktor-aktor yang
sedang populer seperti Vino G. Bastian, Deva Mahendra, Acha Septriasa, dan
Putri Ayudia, serta melibatkan BMKG, BASARNAS, dan PMI untuk detail yang lebih
logis.
Menjadi anggota BASARNAS yang
kerap berada di lini terdepan membuat Addri harus sering menomer sekiankan
keluarganya; sang istri, Indri, putri sulungnya, Eka, dan putra bungsu, Dwi.
Awalnya Indri bisa memahami dan mengalah. Namun kesabarannya makin diuji ketika
cuaca Jakarta semakin memburuk. Konon menurut analisis BMKG, Jakarta terancam
tenggelam akibat curah hujan yang sangat tinggi akibat badai musim dingin Asia
dan badai panas Australia. Warga Jakarta terjebak, termasuk Indri dan kedua
anaknya sementara Addri menjalankan tugasnya yang jelas berlipat-lipat di saat
terjadi bencana besar seperti saat itu.
Sementara itu, Arifin, seorang
analis BMKG yang batal menikah dengan tunangannya, Denanda, seorang dokter, pun
harus mengesampingkan urusan pribadi mereka karena analisis serta strategi
solutif Arifin sangat penting untuk menanggulangi bencana, bahkan sekaligus
sebisa mungkin menyelamatkan Jakarta dari ancaman tenggelam.
Memilih sudut pandang cerita yang
tergolong generik di genre disaster, terutama meletakkan dilema antara keluarga
dan kemanusiaan, sebenarnya tak ada yang salah selama penggarapannya memang
berhasil ‘menyentuh’ penonton. Sisi scientific yang fiktif pun masih sah-sah
saja selama masuk akal dan konsisten. Ada alasan mengapa Bangkit! tergolong serius menyusun teori yang scientific serta
detail profesi yang cukup informatif, apalagi sampai melibatkan tim BASARNAS,
BMKG, dan PMI. Above all, sebenarnya yang terpenting dalam film disaster (which was the
first and main reason people watch a disaster genre movie) adalah kemampuannya
membangun ketegangan di tengah bencana yang berkecamuk. For that purpose, Bangkit! harus saya akui sebenarnya
cukup berhasil membuat saya merasakan ketegangan dan kekhawatiran akan apa yang
akan terjadi pada karakter-karakter sentral. Pun juga koneksi emosional yang
ditunjukkan terutama antara karakter Addri kepada Dwi, Indri kepada Eka, juga
Indri kepada Addri.
Sayang, selain dari itu masih
banyak minus yang begitu terasa sejak menit pertama. Yang paling mencolok tentu
saja adegan demi adegan yang terasa jumpy di sana-sini, pada akhirnya
menjadikan cukup banyak kontinuiti yang miss maupun kejanggalan demi
kejanggalan. Juga, karakter-karakter (utama) yang dimunculkan menjadi tak punya
kedalaman lebih selain emosi yang ditunjukkan hanya pada momen (di layar) itu.
Saya jadi tak mengenal mereka secara personal. Emosi dan empati yang muncul
simply berasal dari rasa kemanusiaan seorang ayah (dan juga ibu) kepada anak.
Tak lebih.
Untuk urusan logika kemungkinan
penyebab curah hujan tinggi dan solusi yang ditawarkan, saya tak berani berkomentar
banyak karena memang tidak punya kompetensi di bidangnya. Toh, it’s all fair in
the name of fiction. Namun tetap saja gempa yang dimunculkan di tengah bencana
banjir terkesan unnecessary, selain sekedar menggenapi formula ‘film disaster
tak lengkap tanpa menghancurkan landmark ikonik’. Lagipula dengan gempa
sedahsyat itu (digambarkan sampai meluluh lantakkan gedung-gedung pencakar
langit Jakarta rata dengan tanah), mustahil ada wilayah-wilayah lain di Jakarta
yang tampak aman-aman saja. Sementara dengan logika awam sekalipun, gempa
berskala menengah saja bisa dirasakan sampai kota lain yang jaraknya berpuluh
bahkan beratus-ratus kilometer. Di adegan lain misalnya, mustahil ada korban
kecelakaan pesawat yang begitu dahsyat ada survivor yang masih bisa jalan,
bahkan dalam waktu tak sampai satu hari kemudian sudah beraktivitas biasa
seperti tidak baru mengalami kecelakaan dahsyat. Bagi penonton awam mungkin
detail-detail ini terkesan sepele, tapi sebenarnya cukup mengganggu kenyamanan
saya menikmati thrill yang ditawarkan.
Vino G. Bastian sekali lagi
memberikan performa emosi yang sesuai dengan kebutuhan cerita. Sayang karakter
yang ditulis hanya satu dimensi membuat penampilannya tidak sampai jadi
memorable, apalagi solid. The best of his performance terletak pada ikatan
emosi yang dijalinnya bersama pemeran Dwi, Adriyan Bima. Begitu juga dengan
Putri Ayudia sebagai Indri yang menunjukkan performa emosi pengundang simpati
penonton. Sementara pasangan Deva-Acha tampil just okay, sesuai dengan porsi
yang diberikan. Penarik perhatian terbesar bagi saya justru pada aktor cilik
Adriyan Bima yang melakoni perannya dengan begitu hidup, tak ada sedikit pun
kecanggungan, bahkan menunjukkan ikatan emosi yang cukup dengan Vino. I have a
feeling, with the right direction his acting career span will be quite long.
Sementara Yasamin Jasem sebagai Eka was just okay dengan screen time yang
memang terbatas. Untuk pendukung lainnya, seperti Yayu Unru, Ferry Salim, Khiva
Iskak, sampai Donny Damara lebih berfungsi sebagai cameo yang menarik karena
sosok pemeran asli, bukan performa sebagai karakter yang diperankan. Lagi-lagi,
bukan karena tampil buruk, tapi naskah lah yang membuatnya demikian.
Sejak awal Bangkit! dipromosikan sebagai film bertema bencana dengan
penggunaan CGI yang digarap serius. Gembar-gembor ini ternyata bukan ambisi
delusional. Tim VFX yang digawangi oleh Raiyan Laksamana (3 Nafas Likas, Doea Tanda
Cinta, Di Balik 98, dan The Wedding & Bebek Betutu) bekerja
cukup maksimal demi menghadirkan visual yang convincing. Tentu belum sampai
sempurna betul (dan ini memang diakui oleh seluruh pihak yang terlibat), seperti
pada detail CGI air banjir yang memang tak mudah (terutama karena efek feather
yang terlalu halus di tepi-tepi tampilan CGI air), tapi penggunaan green screen
di banyak kesempatan tergarap rapi dan berhasil mengecoh saya. Kredit lebih
juga patut saya berikan kepada penata suara, sound design, dan sound editing
yang menurut saya justru menjadi nyawa utama dari ketegangan serta kengerian
suasana. Begitu hidup, detail, dan memberikan keseimbangan antara crisp,
clarity, deep bass, maupun pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal. Sinematografi
Hani Pradigya cukup efektif menerjemahkan cerita maupun visualisasi ketegangan,
sementara editing Wawan I Wibowo membuat pace cerita menjadi dinamis untuk
menyamarkan (atau juga mengalihkan perhatian penonton?) jumpy antar adegan dan
discontinuity. Meski masih ada kecolongan blooper yang terlihat dengan sangat jelas di layar. Aghi Narottama cukup mendukung ketegangan, emosi, sekaligus
grandeur feeling lewat scoringnya. Terakhir, I don’t really like Nidji’s touch
this time for the theme song.
Keberanian Oreima Films-Kaninga
Pictures-Suryanation menghadirkan genre yang jarang dilirik di perfilman
Indonesia memang patut diapresiasi. Dengan effort teknis yang serius pula. As a
genre starter in our film industry, Bangkit!
was more than just a decent one. Tentu next time perlu dibekali naskah dengan
penulisan karakter-karakter yang lebih mendalam dan detail yang lebih logis.
Sementara menantikan film-film
berikut dari genre sejenis, Bangkit!
masih berhasil menjadi tontonan hiburan yang cukup mendebarkan sekaligus
menyentuh. Lagipula setidaknya Anda tak mau melewatkan kesempatan menjadi saksi
salah satu tonggak cukup penting di perfilman Indonesia di layar bioskop ‘kan?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.