The Jose Flash Review
Bangkit!

Ada alasan kenapa tidak semua negara berani membuat film bertemakan disaster seperti yang dilakukan Hollywood. Masalah klasik sebenarnya tapi memang punya pengaruh yang begitu besar, yaitu budget. Investor mana yang berani mengeluarkan dana puluhan miliar untuk menggarap film tanpa ada proyeksi hasil (baca: balik modal) yang sepadan, terutama melihat pendapatan bersih film-film Indonesia dan minat masyarakat terhadap film-film Indonesia. Jangan bandingkan dengan film Hollywood yang memang punya jalur distribusi seluruh dunia yang sangat luas sehingga jika gagal di negara asal, masih bisa meraup banyak di negara-negara lain, terutama negara-negara dunia ketiga yang masih sangat menggemari film-film dengan pameran VFX semata. Sementara untuk film Indonesia jika mau dijual ke luar negeri pun harus melalui distributor tiap negara yang bersedia membeli hak siar yang biasanya tak bisa diharapkan sebagai sumber pemasukan utama. Namun benar, jika tak ada yang berani memulai, meski belum sempurna benar, kita tidak akan pernah punya film dengan VFX mumpuni seperti Hollywood. Bagaimana pun pencapaian besar bermula dari langkah kecil.

Untuk itulah Oreima Films-Kaninga Pictures, dengan didukung Suryanation berani mengambil langkah membuat film yang digadang-gadang sebagai film bertema bencana alam dengan tampilan visual effect terbanyak (konon sampai 1.330 shot yang memuat VFX) pertama di sinema Indonesia, bertajuk Bangkit!. Speaking of disaster movie, meski tak banyak sebenarnya ada beberapa judul yang berkaitan dengan disaster, seperti yang paling terakhir saya ingat Hafalan Surat Delisa. Tentu adegan bencana tsunami di Aceh hanya ditampilkan sebentar (dan itu pun dengan kualitas VFX ‘seadanya’) sementara fokus cerita lebih ke pasca bencana. Bangkit! mencoba sebuah gebrakan dengan menawarkan rangkaian bencana alam sebagai fokus sekaligus daya tarik utama. Menggandeng sutradara Rako Prijanto, yang filmografinya sudah cukup panjang serta pernah bekerja sama dengan Oreima Films di 3 Nafas Likas dan Terjebak Nostalgia, penulis naskah Anggoro Saronto (Sang Kiai, Sang Pialang, 7 Misi Rahasia Sophie, dan Terjebak Nostalgia), aktor-aktor yang sedang populer seperti Vino G. Bastian, Deva Mahendra, Acha Septriasa, dan Putri Ayudia, serta melibatkan BMKG, BASARNAS, dan PMI untuk detail yang lebih logis.

Menjadi anggota BASARNAS yang kerap berada di lini terdepan membuat Addri harus sering menomer sekiankan keluarganya; sang istri, Indri, putri sulungnya, Eka, dan putra bungsu, Dwi. Awalnya Indri bisa memahami dan mengalah. Namun kesabarannya makin diuji ketika cuaca Jakarta semakin memburuk. Konon menurut analisis BMKG, Jakarta terancam tenggelam akibat curah hujan yang sangat tinggi akibat badai musim dingin Asia dan badai panas Australia. Warga Jakarta terjebak, termasuk Indri dan kedua anaknya sementara Addri menjalankan tugasnya yang jelas berlipat-lipat di saat terjadi bencana besar seperti saat itu.

Sementara itu, Arifin, seorang analis BMKG yang batal menikah dengan tunangannya, Denanda, seorang dokter, pun harus mengesampingkan urusan pribadi mereka karena analisis serta strategi solutif Arifin sangat penting untuk menanggulangi bencana, bahkan sekaligus sebisa mungkin menyelamatkan Jakarta dari ancaman tenggelam.

Memilih sudut pandang cerita yang tergolong generik di genre disaster, terutama meletakkan dilema antara keluarga dan kemanusiaan, sebenarnya tak ada yang salah selama penggarapannya memang berhasil ‘menyentuh’ penonton. Sisi scientific yang fiktif pun masih sah-sah saja selama masuk akal dan konsisten. Ada alasan mengapa Bangkit! tergolong serius menyusun teori yang scientific serta detail profesi yang cukup informatif, apalagi sampai melibatkan tim BASARNAS, BMKG, dan PMI. Above all,  sebenarnya yang terpenting dalam film disaster (which was the first and main reason people watch a disaster genre movie) adalah kemampuannya membangun ketegangan di tengah bencana yang berkecamuk. For that purpose, Bangkit! harus saya akui sebenarnya cukup berhasil membuat saya merasakan ketegangan dan kekhawatiran akan apa yang akan terjadi pada karakter-karakter sentral. Pun juga koneksi emosional yang ditunjukkan terutama antara karakter Addri kepada Dwi, Indri kepada Eka, juga Indri kepada Addri.

Sayang, selain dari itu masih banyak minus yang begitu terasa sejak menit pertama. Yang paling mencolok tentu saja adegan demi adegan yang terasa jumpy di sana-sini, pada akhirnya menjadikan cukup banyak kontinuiti yang miss maupun kejanggalan demi kejanggalan. Juga, karakter-karakter (utama) yang dimunculkan menjadi tak punya kedalaman lebih selain emosi yang ditunjukkan hanya pada momen (di layar) itu. Saya jadi tak mengenal mereka secara personal. Emosi dan empati yang muncul simply berasal dari rasa kemanusiaan seorang ayah (dan juga ibu) kepada anak. Tak lebih.

Untuk urusan logika kemungkinan penyebab curah hujan tinggi dan solusi yang ditawarkan, saya tak berani berkomentar banyak karena memang tidak punya kompetensi di bidangnya. Toh, it’s all fair in the name of fiction. Namun tetap saja gempa yang dimunculkan di tengah bencana banjir terkesan unnecessary, selain sekedar menggenapi formula ‘film disaster tak lengkap tanpa menghancurkan landmark ikonik’. Lagipula dengan gempa sedahsyat itu (digambarkan sampai meluluh lantakkan gedung-gedung pencakar langit Jakarta rata dengan tanah), mustahil ada wilayah-wilayah lain di Jakarta yang tampak aman-aman saja. Sementara dengan logika awam sekalipun, gempa berskala menengah saja bisa dirasakan sampai kota lain yang jaraknya berpuluh bahkan beratus-ratus kilometer. Di adegan lain misalnya, mustahil ada korban kecelakaan pesawat yang begitu dahsyat ada survivor yang masih bisa jalan, bahkan dalam waktu tak sampai satu hari kemudian sudah beraktivitas biasa seperti tidak baru mengalami kecelakaan dahsyat. Bagi penonton awam mungkin detail-detail ini terkesan sepele, tapi sebenarnya cukup mengganggu kenyamanan saya menikmati thrill yang ditawarkan.

Vino G. Bastian sekali lagi memberikan performa emosi yang sesuai dengan kebutuhan cerita. Sayang karakter yang ditulis hanya satu dimensi membuat penampilannya tidak sampai jadi memorable, apalagi solid. The best of his performance terletak pada ikatan emosi yang dijalinnya bersama pemeran Dwi, Adriyan Bima. Begitu juga dengan Putri Ayudia sebagai Indri yang menunjukkan performa emosi pengundang simpati penonton. Sementara pasangan Deva-Acha tampil just okay, sesuai dengan porsi yang diberikan. Penarik perhatian terbesar bagi saya justru pada aktor cilik Adriyan Bima yang melakoni perannya dengan begitu hidup, tak ada sedikit pun kecanggungan, bahkan menunjukkan ikatan emosi yang cukup dengan Vino. I have a feeling, with the right direction his acting career span will be quite long. Sementara Yasamin Jasem sebagai Eka was just okay dengan screen time yang memang terbatas. Untuk pendukung lainnya, seperti Yayu Unru, Ferry Salim, Khiva Iskak, sampai Donny Damara lebih berfungsi sebagai cameo yang menarik karena sosok pemeran asli, bukan performa sebagai karakter yang diperankan. Lagi-lagi, bukan karena tampil buruk, tapi naskah lah yang membuatnya demikian.

Sejak awal Bangkit! dipromosikan sebagai film bertema bencana dengan penggunaan CGI yang digarap serius. Gembar-gembor ini ternyata bukan ambisi delusional. Tim VFX yang digawangi oleh Raiyan Laksamana (3 Nafas Likas, Doea Tanda Cinta, Di Balik 98, dan The Wedding & Bebek Betutu) bekerja cukup maksimal demi menghadirkan visual yang convincing. Tentu belum sampai sempurna betul (dan ini memang diakui oleh seluruh pihak yang terlibat), seperti pada detail CGI air banjir yang memang tak mudah (terutama karena efek feather yang terlalu halus di tepi-tepi tampilan CGI air), tapi penggunaan green screen di banyak kesempatan tergarap rapi dan berhasil mengecoh saya. Kredit lebih juga patut saya berikan kepada penata suara, sound design, dan sound editing yang menurut saya justru menjadi nyawa utama dari ketegangan serta kengerian suasana. Begitu hidup, detail, dan memberikan keseimbangan antara crisp, clarity, deep bass, maupun pemanfaatan fasilitas surround yang maksimal. Sinematografi Hani Pradigya cukup efektif menerjemahkan cerita maupun visualisasi ketegangan, sementara editing Wawan I Wibowo membuat pace cerita menjadi dinamis untuk menyamarkan (atau juga mengalihkan perhatian penonton?) jumpy antar adegan dan discontinuity. Meski masih ada kecolongan blooper yang terlihat dengan sangat jelas di layar. Aghi Narottama cukup mendukung ketegangan, emosi, sekaligus grandeur feeling lewat scoringnya. Terakhir, I don’t really like Nidji’s touch this time for the theme song.


Keberanian Oreima Films-Kaninga Pictures-Suryanation menghadirkan genre yang jarang dilirik di perfilman Indonesia memang patut diapresiasi. Dengan effort teknis yang serius pula. As a genre starter in our film industry, Bangkit! was more than just a decent one. Tentu next time perlu dibekali naskah dengan penulisan karakter-karakter yang lebih mendalam dan detail yang lebih logis. Sementara menantikan  film-film berikut dari genre sejenis, Bangkit! masih berhasil menjadi tontonan hiburan yang cukup mendebarkan sekaligus menyentuh. Lagipula setidaknya Anda tak mau melewatkan kesempatan menjadi saksi salah satu tonggak cukup penting di perfilman Indonesia di layar bioskop ‘kan?

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.