3/5
Comedy
Drama
Film Lebaran
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
ILY from 38.000 Ft
Butuh keberanian dan
kepercaya-dirian lebih bagi PH untuk berkompetisi saat high season bagi bioskop
Indonesia. Apalagi soal programmer jaringan bioskop terbesar di Indonesia yang
menentukan berapa banyak jatah layar dan slot waktu bagi suatu PH memasarkan
filmnya. Meski baru punya portfolio dua judul yang untungnya laris manis,
Screenplay Films berani mengikutkan film terbarunya untuk berkompetisi di momen
Lebaran tahun ini, bersama dengan film-film high profile yang juga jelas punya basis fans berjumlah masif
sendiri-sendiri, mulai B. J. Habibie, Raditya Dika, dan Asma Nadia. Ketiganya
punya track record jumlah penonton di atas satu juta. Dengan
‘komoditas-komoditas’ yang sudah terbukti menjual, Screenplay Films yakin punya
massa yang setidaknya sama besarnya dengan ketiga sosok tersebut; cerita remaja
ringan, cenderung cheesy, serta bintang-bintang muda yang sudah lebih dulu
populer lewat FTV, terutama Michelle Ziudith yang kali ini dipasangkan dengan
Rizky Nazar. Legacy Pictures yang pernah memproduksi Kapan Kawin dan ikut mendukung Ada
Apa dengan Cinta 2, digandeng entah untuk pertimbangan apa. Besar
kemungkinan, kualitas (setidaknya teknis) yang jauh lebih meningkat atau jumlah
penonton yang lebih dari sebelumnya. Apa pun itu, Screenplay Films jelas berupaya
untuk ‘naik kelas’ dan itu tak boleh diremehkan. Dengan kru utama yang kurang
lebih sama dengan Magic Hour dan London Love Story, tajuk I Love You from 38.000 Ft (ILY)
konon terinspirasi dari postingan instagram seorang pramugari beberapa hari
sebelum tewas dalam kecelakaan pesawat terbang berupa foto tulisan tangan ‘I
Love You from 38.000 Ft’ dengan latar jendela pesawat.
Kabur dari keluarganya ke Bali,
Aletta dipertemukan dengan seorang pemuda cool dan pendiam bernama Arga yang
beberapa kali menolongnya. Sebagai rasa terima kasih, Aletta menawarkan diri
menjadi host program TV traveling Geography Channel yang sedang dikerjakan Arga
dan timnya. Kebetulan host mereka yang seharusnya mendadak sakit dan tidak bisa
ikut syuting. Niat baik Aletta awalnya ditanggapi sinis oleh Jonah. Untung
berkat dukungan Arga, Rimba, dan Bugi, akhirnya Aletta diberi kesempatan untuk
unjuk gigi. Peristiwa demi peristiwa membuat Aletta semakin dekat dengan
seluruh kru, termasuk Arga yang selama ini dikenal cool dan tidak mudah jatuh
cinta, dan Jonah. Ujian mulai muncul ketika Aletta dan Arga yang baru saling
jatuh cinta tapi harus segera berpisah.
Sebelum memutuskan untuk
menonton, tentu saya sudah mempersiapkan diri dengan ekspektasi yang
secukupnya, apalagi setelah menyaksikan Magic
Hour dan London Love Story.
Tentu, ILY masih punya segudang dialog cheesy, storyline yang seringkali
bikin mengernyitkan dahi, karakterisasi (terutama karakter wanita utama) yang
manja, menjengkelkan, kekakan, dan terlalu agresif untuk urusan menggaet
pasangan, serta melahirkan jargon ABG baru (kali ini ada istilah ‘BPUK’ yang
harus Anda cari tahu sendiri artinya jika penasaran). Semuanya khas FTV
produksi Screenplay Films (dan akhirnya menjadi signature FTV Indonesia pada
umumnya). Namun saya menemukan cukup banyak pula perkembangan yang cukup terasa
di ILY.
Pertama background setting
profesi produksi program traveling yang jelas lebih serius dan menarik untuk
diikuti ketimbang latar gaya hidup anak orang kaya semata. Kemudian yang paling
penting adalah konsep cerita yang lebih jelas ketimbang sekedar remaja jatuh
cinta secara instan kemudian berkonflik karena urusan sepele. ILY menawarkan tema (baca: pesan moral) asmara yang lebih serius dan dewasa,
terutama tentang cara mengungkapkan cinta tiap orang yang beda-beda, tak harus
dengan ucapan ‘I love you’. Kali ini, kemanjaan dan keegoisan karakter wanita
utama yang diwakili oleh Aletta seolah ‘diberi pelajaran’ yang mendewasakan
tentang relationship. Ada pula dialog-dialog cheesy khas keluar dari mulut
Aletta, terutama yang berkaitan dengan Tuhan. Di sini saya semakin tertarik
untuk menganalisis benang merah film-film Screenplay Films yang mencari jawaban
pada Tuhan atas masalah-masalah percintaan yang dialami. Seringkali terdengar
bodoh, tapi mungkin memang demikianlah pola pikir remaja saat ini. Screenplay
Films mencoba untuk membahas pertanyaan-pertanyaan ‘bodoh’ itu lewat
drama-drama percintaan cheesy-nya. Dengan ‘pelajaran’ tentang relationship
sebagai konklusi di ending yang juga lebih jelas, ILY tentu semakin
membuktikan peningkatan dalam produksi mereka, tetap dengan target audience
utama yang memang masih remaja
awal (dan tentu saja sudah terlanjur cocok dengan elemen-elemen khas produksi
Screenplay).
Michelle Ziudith masih memerankan
karakter tipikal di FTV-FTV yang dibintanginya, tapi dengan beban cerita yang
lebih serius, setidaknya sejak paruh kedua film, karakter Aletta berhasil ikut
sedikit beranjak ‘dewasa’. Sementara Rizky Nazar yang basically memang
effortless cool, jelas menjadi salah satu komoditas ILY yang sangat
appealing. Sementara penampilan Tanta Ginting, Derby Romero, dan Ricky Cuaca
sebenarnya cukup menyemarakkan. Sayang ketiganya tidak diberi porsi maupun
perkembangan karakter lebih di paruh kedua film. Amanda Rawles (adik dari
Annisa Rawles yang pernah kita lihat penampilannya di Single) yang muncul dengan porsi jauh lebih kecil sebagai Tiara
justru lebhi berhasil mencuri perhatian berkat pesona fisiknya. Terakhir,
pendukung lain seperti Ayu Dyah Pasha, Aline Adita, Ira Wibowo, Amara, Rizky
Hanggono, Lionil Hendrik, dan Verrell Bramasta adalah pilihan nama-nama beken
yang menarik untuk mengisi peran-peran tersier.
Teknis ILY pun dengan
sangat jelas menunjukkan kenaikan kelas produksi Screenplay Films. Ini terlihat
sekali mulai sinematografi Rama Hermawan yang habis-habisan mengeksplorasi
keindahan panorama settingnya menjadi begitu sinematis, mulai padang gurun
Baluran hingga alam bawah laut Nusa Penida. Visual effect juga patut
mendapatkan kredit lebih, terutama untuk adegan turbulensi pesawat terbang yang
dilakukan di studio di Batam. Musik score dari Joseph S Djafar mungkin tak
terdengar terlalu istimewa (dan bahkan ada yang mirip-mirip score Forest Gump dan The Holiday), tapi masih sangat nyaman untuk didengarkan mengiringi
adegan-adegannya. Tak ada yang berlebihan bak sinetron. Pemilihan lagu yang
pas, terutama Kiss Me versi Rebel
feat. Sophie Simmons yang mengiringi adegan-adegan percintaan menjadi lebih
manis dan asyik. Begitu juga theme song Jangan
Hilangkan Dia dari Rossa yang bikin target audience-nya (bahkan saya pun
sempat ikut hanyut) baper barbar (=baper bareng-bareng).
Mulai penasaran untuk menyaksikan
ILY? Poin terpentingnya adalah nikmati saja ini sebagaimana ia dibuat;
untuk remaja awal yang masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan naif tentang
cinta. Jika Anda sudah berpengalaman (merasa annoyed) dengan Magic Hour dan/atau London Love Story, maka ILY bakal less annoying kok. Abaikan
berbagai cheesiness ala FTV yang ada dan nikmati saja sajian visual dan
penampilan aktor-aktris yang memang memanjakan mata. Cukup menghibur kok.