3.5/5
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Comedy
Drama
Film Lebaran
Indonesia
mature relationship
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Koala Kumal
Siapapun yang pernah melewati
medio tahun 2008 ke atas dan tinggal di Indonesia pasti mengenal nama Raditya
Dika. Sosok yang mulai dikenal sebagai blogger, kemudian merambah buku dan
film, hingga saat ini sudah berhasil menjadi salah satu ikon sekaligus brand
bernilai paling tinggi di tanah air. Bagaimana tidak, follower twitternya saja
sampai tulisan ini diturunkan sudah sebanyak 13.9 juta. Satu per satu bukunya
diangkat ke layar lebar dengan angka pendapatan yang kian meningkat. Mulai Kambing Jantan (2009), Manusia Setengah Salmon (2013) sebanyak
442.631 penonton, Cinta dalam Kardus (2013),
Cinta Brontosaurus (2013) sebanyak
892.915 penonton, Malam Minggu Miko Movie
(2014), Marmut Merah Jambu (2014)
sebanyak 640.682, hingga Single
(2015) yang akhirnya berhasil masuk klub 1 juta penonton, tepatnya 1.341.506
penonton. Perolehan angka yang makin meningkat ini didukung pula oleh effort
Dika sendiri untuk mengembangkan diri, terutama dalam menulis naskah dan
menyutradarai film-filmnya sendiri. Tahun 2016 ini novel terakhirnya, Koala Kumal (2015) mendapat giliran
diangkat ke layar lebar oleh StarVision yang sudah memproduksi tiga film Dika sebelumnya;
Manusia Setengah Salmon, Cinta Brontosaurus, dan Marmut Merah Jambu. Seperti biasa, Dika
menggaet aktris-aktris muda potensial menjadi lebih bersinar. Kali ini giliran
Sheryl Sheinafia yang kita kenal sebagai presenter Breakout di Net serta
pernah mendukung Marmut Merah Jambu, pemeran
Sophie di Get Married 5, Anggika
Bolsterli, Jessica Mila, dan Karina Nadila. Menggandeng pula aktris yang lebih
senior, Acha Septriasa, menandai semakin serius dan dewasa karya yang
dilahirkannya. Temanya pun masih belum beranjak jauh dari ‘kejombloan’ dan
‘belum bisa move on’.
Mendekati hari pernikahan, Dika
mendadak diputuskan oleh tunangannya, Andrea yang jatuh hati kepada James,
seorang dokter muda. Patah hati yang mendalam membuat Dika yang seorang penulis
kesulitan konsentrasi melahirkan karya baru. Keadaan menjadi lebih absurd
(baca: seru) ketika ia dihardik oleh seorang mahasiswi yang mengaku ketua klub
buku, Trisna. Awalnya Trisna hanya meminta Dika untuk menjadi tamu di
acara-acara bedah buku, tapi mendapati Dika yang kehilangan semangat menulis
lagi membuat Trisna akhirnya memutuskan turun tangan menyembuhkan patah hati
Dika. Langkah-langkah ‘move on’ mulai mencari gandengan baru hingga membalas
dendam terhadap James dilancarkan. Sayangnya kesemuanya ini tidak berhasil
menyembuhkan patah hati Dika. Dika pun semakin penasaran dengan Trisna yang
terkesan paling niat untuk balas dendam. Ternyata Andrea menyimpan rahasia masa
lalu yang membuat dirinya menjadi sosok seperti sekarang.
Tak ada yang salah sebenarnya
dengan tema ‘susah move on’ yang terus-terusan menjadi ‘komoditas’ Dika, selama
ia tak hanya mengeksploitasi problematika sejuta umat ini hanya sebagai sumber
tawa semata, tapi alangkah baiknya jika juga bisa memberikan semacam efek
‘terapi’ bagi umatnya. Tentu saja dengan susunan plot yang mengalir lancar dan
koheren hingga konklusi. For that matter, I have to admit, this time Dika did
it very well. Sebagai penulis naskah, kepiawaiannya dalam menuturkan kisah
dengan solid terasa sejak menit pertama film. Ia pun terasa semakin terasah
untuk membuat penonton penasaran akan apa yang akan terjadi berikutnya, kendati
masih ada titik di babak kedua yang terasa semacam repetisi dan bahkan membuat
alur plot agak menurun ke titik jenuh, sebelum akhirnya berhasil back on track
yang kembali mengalir lancar sebagai konklusi. Sedangkan sebagai sutradara,
kepekaan dan kepiawaiannya pun makin terasah. Untuk pertama kalinya saya
merasakan begitu tersentuh oleh salah satu adegan paling emosional, sekaligus
dibuat tersenyum dengan konklusinya yang dewasa dan manis di film Dika. Juga,
yang paling noticeable bagi saya adalah keterampilan menampilkan dua adegan
dalam satu frame dengan nilai ketertarikan yang sama besar tanpa kesan fokus
terpecah. Ada sedikit ‘rasa’ (500) Days
of Summer dibubuhkan di beberapa momen, tapi tidak sampai terkesan
menjiplak. Soal joke, well… Jika Anda termasuk cocok dengan joke absurd Dika
selama ini, mungkin merasakan kadar yang menurun, tergantikan oleh kadar joke
dengan setup ala komedi situasi yang semakin meningkat. Tak semuanya berhasil
membuat saya terbahak-bahak, tapi setidaknya bisa membuat saya tersenyum dan
memahami letak kelucuannya. Nilai plus lainnya, Dika berhasil memunculkan
public placement dengan cara yang cukup fresh tapi tetap noticeable.
Sayangnya, as an actor, Dika
masih di zona yang sama seperti film-film sebelumnya. Masih dengan ekspresi
wajah (dan juga pengucapan dialog) serba datar. Sekalinya menampilkan ‘emosi’
lebih, itu untuk tujuan komedik. Acha Septriasa seperti biasa, tetap berhasil
membuat karakternya terasa ‘hidup’ dan menarik bagi penonton meski tergolong
antagonis. Namun tentu saja perhatian penonton akan paling banyak dialihkan
oleh performance Sheryl Sheinafia yang terasa paling ‘hidup’ dengan
keseimbangan yang sangat baik ketika membawakan adegan komedik maupun adegan
pemancing emosi terdalam. Sementara di antara pemeran pendukung dan figuran
yang diwarnai wajah-wajah populer, Cut Mini sebagai Mama Dika berhasil menjadi
pencuri perhatian, terutama karena keluwesannya membawakan joke-joke ala Dika.
In many comedic moments, justru yang paling berhasil adalah yang dibawakan
olehnya. Kemudian ada Anggika Bolsterli yang penampilannya sangat mengingatkan
saya akan sosok Zooey Deschanel. Meski sebelumnya pernah tampil di Youtubers dan Get Married 5, baru kali ini saya dibuat begitu terpesona. Karena
penampilannya pula, saya jadi menyadari kepiawaian Dika dalam membuat
aktris-aktris wanita muda yang meski tak bisa digolongkan pendatang baru, tapi
membuat sosoknya lebih bersinar dan semakin dikenal lewat film-filmnya.
Terakhir, saya tak boleh lupa menyebutkan nama Adipati Dolken yang lewat penampilan
sekilasnya berhasil menjadi momen emosional terbaik sepanjang film, bahkan
mungkin juga penampilan Dolken paling berkesan sepanjang karir aktingnya sampai
saat ini, setidaknya bagi saya.
Sisanya, masih ada Nino Fernandez yang sedikit
banyak mengingatkan akan peran sejenis di franchise Get Married, Ernest Prakasa, Dede Yusuf, Dwi Sasono, Lydia Kandou,
Muhadkly Acho, Karina Nadila, Bene Dion, Fico Fachriza, Yudha Keling, Kevin
Anggara, Jessica Mila, Fero Walandouw, Kevin Julio, Henky Solaiman, Ronny P.
Tjandra, sampai adik-adik kandung Raditya Dika; Yudhita, Kianty, Gianty, dan
Edgar, yang hampir kesemuanya noticeable di adegan masing-masing.
Di teknis, hampir kesemua aspeknya mendukung produksi dengan
baik. Mulai sinematografi Enggar Budiono yang mem-framing adegan-adegan
sederhana terasa menjadi lebih efektif dan kaya dalam bercerita, hingga editing
Cesa David Luckmansyah yang sudah tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya dalam
menjaga koherensi dan pace penuturan cerita. Andhika Triyadi sebagai penata
musik juga layak mendapatkan kredit dalam membuat adegan-adegan komedik terasa
lebih witty dan adegan-adegan emosionalnya menjadi lebih menyentuh, sama sekali
tanpa ada kesan over-dramatic. Sebagai bonus, Sheryl Sheinafia menyumbangkan lagu Kedua Kalinya yang menambah 'baper' (=bawa perasaan) adegan diletakkannya lagu tersebut.
Seiring dengan kedewasaan
fansnya, wajar jika Dika juga merasa perlu membuat karyanya lebih dewasa,
terutama berkaitan dengan tema-tema signatural yang sudah relate secara kuat
dengan fansnya. Mungkin bagi fansnya pula, KK terasa ‘kurang lucu’ jika
dibandingkan film-film sebelumnya. Tapi saya rasa ada elemen cerita yang lebih
valuable untuk disampaikan di balik substitusi humor yang mulai diarahkan ke
komedi situasi tertata. Itu adalah effort sekaligus pencapaian lebih yang patut
diapresiasi dari Dika lewat KK.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.