3/5
Asia
Based on Book
Drama
Indonesia
Marriage
mature relationship
Pop-Corn Movie
religious
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Surga yang Tak Dirindukan 2
Drama romansa dan reliji adalah dua genre yang selalu
mendapatkan tempat di hati penonton Indonesia, terutama para ibu-ibu dan remaja
putri yang sehari-hari begitu akrab dengan tayangan sinetron. Ditambah lagi
masyarakat Indonesia dikenal masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan,
khususnya Islam sebagai agama dengan penganut terbesar. Maka tak salah jika
perpaduan genre ini menjadi salah satu komoditas paling menguntungkan di layar
lebar kita. You can’t just underestimate the power of ibu-ibu dan remaja putri.
Nama Asma Nadia sebagai penulis novel yang satu per satu karyanya diangkat ke
layar lebar adalah salah satu yang bisa dibilang jaminan laris berkat fanbase
dan jaringan kepenulisan yang besar. Film adaptasi dari novelnya yang terlaris
adalah Surga yang Tak Dirindukan
(SyTD – 2015) dengan jumlah penonton
sebanyak 1.5 juta penonton lebih. Angka yang menobatkannya sebagai film
Indonesia terlaris tahun 2015. Tentu kesuksesan ini tak lepas dari dukungan MD
Pictures yang dikenal ambisius. Mulai pemilihan aktor-aktris sampai penggarapan
teknis yang di atas rata-rata film Indonesia. Kesuksesan ini tentu sayang jika
tidak dikembangkan lebih besar lagi.
Maka dibuatkan
sekuelnya, Surga yang Tak Dirindukan 2
(SyTD2), dengan ambisi yang lebih besar lagi. Selain kembalinya Fedi Nuril,
Laudya Cynthia Bella, dan Raline Shah dari SyTD, aktor yang dianggap paling
versatile dan nomer satu di Indonesia, Reza Rahadian turut digaet. Bangku
penyutradaraan pun diserahkan kepada ‘guru’ Kuntz Agus (sutradara SyTD) yang
tak perlu diragukan lagi reputasinya, Hanung Bramantyo. Sementara naskahnya
disusun oleh Hanung, Asma, dan Alim Sudio yang sudah menjadi ‘langganan’
adaptasi novel Asma.
Empat tahun setelah Meirose berpisah dengan pasangan
suami-istri Pras dan Arini, kehidupan rumah tangga mereka berjalan bahagia
bersama seorang putri bernama Nadia. Suatu ketika Arini mendapatkan undangan ke
Budapest untuk membahas buku karyanya yang ternyata populer di negara tersebut.
Maka berangkatlah Arini bersama Nadia dan asistennya, Sheila. Sementara Pras
menyusul beberapa hari kemudian karena kesibukan pekerjaan. Tak disangka
kondisi kesehatan Arini drop. Ketika diperiksa ternyata Arini mengidap kanker
otak stadium tinggi dan usianya diprediksi tidak akan lama lagi. Bak jodoh,
Arini bertemu dengan Meirose yang selama ini pindah dan membangun kehidupan
baru di Budapest bersama putranya, Akbar. Maka Arini pun beride untuk
menjadikan Meirose sebagai istri pengganti bagi Pras sekaligus ibu bagi Nadia.
Maka ketika Pras tiba di Budapest, siasat untuk kembali mendekatkan mereka
berdua dijalankan. Begitu pula Nadia yang semata-mata ingin mewujudkan
keinginan terakhir ibundanya. Keadaan menjadi keruh karena Meirose selama ini
menjalin hubungan serius dengan dokter yang merawat Arini, Syarief, dan bahkan
sempat melamar Meirose.
Poligami adalah tema yang tergolong sensitif, bahkan di negara
dengan mayoritas muslim yang mengijinkan poligami sampai batas maksimal empat
istri. SyTD mengangkat tema ini dengan pengkondisian yang bisa dikatakan
konyol. I mean, come on… Memang jaman dulu Nabi Muhammad memperbolehkan
poligami atas dasar kemanusiaan, seperti menikahi janda miskin untuk lebih
menyejahterakan. Namun menjadikan belas kasihan dan dengan ancaman bunuh diri
sebagai alasan terasa menggelikan. Lagipula formula demikian bukankah tak
berbeda dengan Ayat-Ayat Cinta (AAC)
all over again? SyTD2 agaknya mencoba untuk ‘memperbaiki’ dan membawa kisah
SyTD ke jalan yang lebih baik, fair, acceptable, baik yang pro maupun yang
kontra dengan poligami. Memang memasukkan tema disease (penyakit) terkesan
‘cari jalan gampang’ dan masih tak kalah cliché-nya di genre drama kita, tapi
setidaknya ini cara yang tepat untuk membuat justifikasi yang lebih fair atas
tema poligami yang sempat diangkatnya.
SyTD2 pun memasukkan humor-humor untuk menyeimbangkan agar
suasana tak jatuh menjadi kelewat melankoli dan tearjerker, dengan ditambahkan
karakter-karakter komikal seperti Panji (Muhadkly Acho), Amran (Kemal Palevi),
dan Hartono (Tanta Ginting). Bahkan di awal sempat dengan cukup berani
menyindir (atau lebih tepatnya ‘mengolok-olok’) betapa menggelikannya premise
di installment pertama.
Guliran plot dramanya memang masih sangat sinetron yang serba
kebetulan. Well, dengan fanbase sebesar itu tentu ada tujuan fan-service yang
harus dipenuhi. Namun berkat penanganan Hanung, plot melaju dengan ‘santai’ dan
cukup mengalir. Sayangnya pilihan laju plot seperti ini bisa punya dampak yang
berbeda bagi penonton. Sebagian penonton mungkin akan menikmatinya, apalagi
jika ditonton dengan kondisi santai, tidak dengan prasangka tertentu atau
terburu-buru. Sementara penonton lainnya akan merasakan sengaja
dilambat-lambatkan agar durasinya mencapai dua jam dua menit.
Penyelesaian konflik di akhir pun juga akan menjadi
kontroversi di antara penonton. Bagi sebagain penonton akan berpikir bahwa apa
yang dilakukan Arini sangatlah egois dengan ‘memaksakan’ Meirose menjadi
penggantinya, tanpa memperdulikan perasaan Pras kepada Meirose atau sebaliknya,
maupun perasaan Dokter Syarief yang saat itu tengah menjalani hubungan serius
dengan Meirose. Di sinilah SyTD membuktikan bahwa sikap egois dan logika tiap
orang berbeda-beda, tergantung dari latar belakang masing-masing. Dalam konteks
ini, penonton yang masih single (apalagi dengan pemikiran modern) akan berbeda
dengan penonton yang sudah berkeluarga dan punya anak. Well, in this case sebenarnya
saya pribadi mengalaminya dalam keluarga. Ibu kandung saya meninggal dunia
ketika adik bungsu saya, satu-satunya perempuan, masih duduk di kelas dua SD.
Sebagai satu-satunya perempuan di dalam keluarga dan masih sangat kecil, tentu
memerlukan sosok seorang ibu. Apalagi adik bungsu saya tergolong susah akrab
dengan orang lain, termasuk saudara almarhumah ibu. Setelah dikenalkan dengan
beberapa orang, akhirnya ada satu orang yang berhasil ‘menaklukkan’ adik saya.
Ayah saya lantas menikahinya semata-mata karena kebutuhan adik saya, sementara
ia sendiri belum bisa berpaling hati dari almarhumah ibu. Awalnya
saudara-saudara almarhumah ibu sempat mencibir karena menganggap terlalu cepat.
Namun perlahan akhirnya sikap mereka biasa saja dan mulai bisa menerima. Time
heals.
Sama seperti apa yang coba disodorkan SyTD2 dimana ia
menggunakan karakter Nadia, putri semata wayang Pras dan Arini, sebagai alasan
yang rasional untuk mempersatukan kembali Pras dan Meirose, which is sebenarnya
juga merupakan bentuk fan-service. Urusan perasaan Pras dan Meirose, bukankah
sejak SyTD pertama sudah digambarkan betapa bahagianya pernikahan mereka meski
mempraktekkan poligami? Kekurangannya mungkin vkarena ia terkesan
mengesampingkan perasaan Dokter Syarief. Namun saya masih bisa menerima pilihan
tersebut. Selain faktor menjaga fokus cerita dan duration-wise, dengan kondisi
yang demikian, tentu karakter se-intelek dan se-berhati besar Dokter Syarief
akan lebih memilih mengikhlaskan diri. Toh, bukankah melalui interview dan
press conference selalu disampaikan bahwa tema besar yang ingin diangkat SyTD2
adalah ‘keikhlasan’? Dengan demikian, apa yang disajikan SyTD2 sebenarnya masih
pada koridor yang benar dan sejalan, terlepas dari resepsi penonton dengan
logika yang berbeda-beda.
Fedi Nuril masih konsisten membawakan peran Pras. Well to be
honest, ia masih memainkan karakter tipikal yang sudah melekat kuat pada
dirinya sejak Ayat-Ayat Cinta. Tapi
jika ia memang cocok memerankan karakter demikian dan bahkan sudah punya
fanbase tersendiri, kenapa tidak? For some actor, certain self-branding
termasuk penting. Begitu juga Laudya Cynthia Bella sebagai Arini dan Raline
Shah sebagai Meirose yang semakin luwes memainkan perannya, termasuk urusan
menjalin chemistry dengan Fedi maupun satu sama lain. Reza Rahadian lagi-lagi
membuktikan kemampuannya dalam membentuk karakter sendiri dan terasa bedanya
dengan peran-perannya yang lain. Menjadikan sosok Dokter Syarief punya kharisma
tersendiri yang mampu menarik simpati penonton kendati porsinya masih di bawah
drama antara Pras-Arini-Meirose. Penampilan aktris cilik Sandrinna Michelle
Skornicki yang semakin luwes dalam memerankan karakter Nadia sulit untuk tak
mencuri perhatian penonton, sementara Keefe Bazli Ardiansyah sebagai Akbar
masih jauh dari kata mengesankan. Kehadiran aktris Malaysia, Nora Danish
sebagai Sheila, Kemal Palevi, Tanta Ginting, dan Muhadkly Acho juga masih cukup
memorable sebagai karakter-karakter ‘ice-breaker’.
Sinematografi Ipung Rachmat Syaiful mampu mengeksplorasi
keindahan budaya Budapest (speaking of which, konon pemilihan Budapest sebagai
setting sebenarnya karena menang pitch atas program kementrian pariwisata
Budapest bagi filmmaker Indonesia, bukan ‘bonus’ karena kesuksesan film
pertamanya seperti yang banyak digosipkan) sekaligus bercerita dan menyampaikan
dramanya dengan baik. Camera work-nya bergerak mengikuti pergerakan
aktor-aktornya dengan smooth sesuai dengan alurnya yang mengalir. Editing Wawan
I Wibowo selaras dengan style penceritaan Hanung kali ini. Meski jika dipikir-pikir
bisa dibuat lebih dinamis dan tak sepanjang hasil akhir, laju plotnya masih
terasa mengalir lancar. Score music Tya Subiakto, seperti biasa sesuai
karakteristik MD Picutres, terdengar dramatis berlebihan di banyak kesempatan,
tapi masih acceptable. Menurut saya tak semengganggu score music {rudy habibie}. Artistik dari Allan
Sebastian dan kostum dari Retno Ratih Damayanti menyuguhkan warna-warna vibrant
yang cukup memanjakan mata. Terakhir, tata suara dari Trisno, Satrio Budiono,
dan sound mixing Chris David (Oscar nominee untuk Legends of the Fall (1994)) di Hollywood, mungkin tak terlalu
terdengar punya dampak yang kentara apalagi bagi penonton awam. Namun
setidaknya membuat elemen-elemen suara yang ada terdengar serba seimbang dan
nyaman bagi telinga.
SyTD2 memang sudah punya pangsa pasar sendiri dengan pola
pikir, logika, dan selera yang cocok. Jika sejak awal Anda termasuk yang tidak
cocok dan tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran a la Asma Nadia, maka tak
perlu Anda menyaksikannya hanya sekedar untuk mencaci maki. I mean, why bother
buying a food you’ve already known you would’t like just to scold ‘em? Namun
jika Anda merasa punya pola pikir dan logika yang sejalan, serta menyukai tema
drama reliji khas Asma Nadia, maka SyTD2 adalah sebuah fan-service yang tetap
akan memuaskan. Memang masih dengan formula-formula khas sinetron yang serba
kebetulan, tapi dengan upaya untuk memperbaiki plot dengan justifikasi yang
fair dengan kondisi, SyTD2 bagi saya masih acceptable dibandingkan installment
pertama (saya tahu pendapat ini arguable, relatif bagi semua orang, juga
tergantung dari segi mana).
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.