3.5/5
Action
Adventure
Asia
Based on a Legend
China
Chinese
Comedy
Fantasy
Franchise
Friendship
Pop-Corn Movie
sequel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Journey to the West 2:
The Demons Strike Back
[西遊伏妖篇]
Di ranah literatur legenda Cina, kisah Sun Gokong,
siluman-siluman lainnya, dan Bhiksu Tong yang mencari kitab suci ke Barat
mungkin jadi yang paling populer dan difavoritkan banyak orang, selain tentu
saja legenda Siluman Ular Putih. Entah sudah berapa puluh versi dalam berbagai
media, mulai buku, komik, serial, dan tentu saja layar lebar. Di era 2000-an
ada versi animasi, Monkey King: Hero is
Back (2015), The Monkey King
versi Pou-Soi Cheang (2014) yang menghadirkan Donnie Yen, Aaron Kwok, dan Chow
Yun-Fat dalam satu layar dan sekuelnya di tahun 2016 lalu, along with A Chinese Odyssey Part III yang di-bash
habis-habisan. Terakhir adalah Journey to
the West: Conquering the Demons (JttW) versi Stephen Chow yang menghadirkan
Wen Zhang dan Shu Qi. Menyambut Tahun Baru Imlek 2017, dirilis sekuelnya dengan
tajuk Journey to the West 2: The Demons
Strike Back (JttW2). Meski Stephen Chow masih menyusun naskah bersama tim
penulis lainnya, tapi kali ini bangku penyutradaraan diserahkan kepada Tsui
Hark yang sudah menjadi sutradara legendaris pencetak karya-karya klasik macam A Better Tomorrow, The Swordsman, Kung Fu Master,
Time and Tide, hingga era Detective Dee dan Flying Swords of Dragon Gate. Nama-nama ini jelas tidak bisa
dianggap remeh. Apalagi di jajaran cast ada personel boyband EXO yang baru saja
kita lihat di xXx: Return of Xander Cage,
Kris Wu, Lin Gengxin, dan Jelly Lin yang sempat kita temukan di The Mermaid-nya Stephen Chow. Harapannya
dengan budget yang konon mencapai US$ 63.9 juta dan hak siar internasional
dibeli Sony Pictures (yang artinya punya jaringan tayang yang lebih luas),
penghasilan box office-nya bisa melampaui installment pertama yang mencetak
angka US$ 215 juta di seluruh dunia. Well, sampai tulisan ini diturunkan JttW2
sudah berhasil mengumpulkan US$ 208 juta dan tentu saja akan terus bertambah
seiring dengan jadwal rilis negara-negara lain, termasuk Indonesia yang tayang
midnite bertepatan dengan malam Cap Gomeh dan reguler mulai 17 Februari 2017.
Film dibuka dengan Bhiksu Tang dan ketiga murid silumannya; Monkey
King, Pigsy, dan Sandy yang terjebak sebagai atraksi pertunjukan sirkus. Monkey
King berontak dan hampir meluluhlantakkan desa tersebut. Untung Bhiksu Tang
masih punya ‘senjata’ untuk mengendalikan muridnya yang paling bandel itu.
Perjalanan mereka pun dilanjutkan dan tiba di kerajaan Biqiu dengan Raja yang
bertingkah bak anak-anak akibat ramuan awet muda dari sang Perdana Menteri. Monkey King curiga ada yang tidak
beres dengan seisi istana, tapi Bhiksu Tang meminta untuk tak buru-buru
berburuk sangka. Pertentangan insting dan pilihan cara menghadapi siluman
antara keduanya mencapai puncak ketika lagi-lagi Monkey King mencurigai sosok
Felicity, gadis muda pemberian Raja Biqiu karena Felicity mengingatkannya akan
sosok Duan yang sempat membuatnya jatuh cinta di installment pertama.
Dibandingkan versi-versi lainnya, saya harus mengakui keunikan
JttW versi Stephen Chow. Selain tentu saja humor-humor mo lei tau khas Chow,
tapi juga penggambaran karakter-karakter yang berbeda. Yang paling kentara
adalah sosok Bhiksu Tang yang biasanya digambarkan serba bijak dan kudus, di
sini justru dibuat lebih manusiawi dengan akal-akalan licik (terutama dalam
menangani Monkey King), ego sedikit lebih besar, dan pada akhirnya punya dilema
yang lebih beragam pula. Jika di installment pertama fokus terletak pada
perkembangan karakter Bhiksu Tang dan hubungan asmaranya dengan Duan, maka di
sini masih melanjutkan perkembangan karakter Bhiksu Tang dan hubungannya dengan
Monkey King. Fokus cerita ini juga menjadi kelebihan versi Chow dibandingkan
versi lain yang sekedar menyampaikan kronologi peristiwa perjalanan ke Barat
mencari kitab suci. Love-hate relationship antara Bhiksu Tang dan Monkey King
di sini terasa sekali punya perkembangan yang terarah dan menuju pada titik
temu yang memuaskan untuk saling belajar. Tentu saja seiring dengan petualangan
aksi spektakuler dan humor-humor khas Chow sebagai bungkus terluarnya. Naskah
yang disusun terarah oleh Chow berpadu dengan penyutradaraan Tsui Hark yang
sudah sangat pakar dalam menangani film aksi petualangan, menghasilkan sebuah
paket hiburan yang asyik diikuti, absurd a la Chow, spektakuler, sekaligus
bermakna lebih mendalam.
Agak disayangkan cast dari installment pertamanya tidak
melanjutkan peran di JttW2. Namun ternyata cast baru masih bisa menghadirkan
excitement tersendiri. Kris Wu sebagai Bhiksu Tang mungkin terasa terlalu muda
dan ‘aneh’ dibandingkan karakter yang sama di versi-versi lain. Tapi melihatnya
sebagai karakter yang berdiri sendiri, sama sekali berbeda dari versi lain, sosok
manusiawi dengan berbagai kegokilannya masih mampu diterjemahkan dengan pas
serta seimbang oleh Wu. Sosok Monkey King di tangan Lin Genxing pun mampu
menjadi sosok furious yang tetap bisa menarik simpati penonton. Duo Wang
sebagai Zhu Bajie, Mengke Bateer sebagai Sandy, Bao Bei’er sebagai Raja Biqui,
dan Yao Chen sebagai Perdana Menteri mengisi peran-peran komedik yang cukup
berhasil memancing tawa. Terakhir, tak boleh dilupakan penampilan Jelly Lin
sebagai Felicity yang menjadi eye-candy dengan touching moment yang cukup
berhasil di balik porsinya yang tak terlalu banyak.
JttW2 adalah sebuah visual spectacle, maka tak heran jika ada
banyak studio yang dikerahkan untuk menggarap efek-efek visualnya. Overall
memang tak sepenuhnya sempurna, tapi lebih dari 80% CGI terlihat nyata dan
memanjakan mata. Beberapa kekurang-sempurnaan terletak pada keying green-screen
yang masih agak terlihat mencolok. Desain produksi Yoshihito Akatsuka, desain
kostum, dan special effect make up juga layak mendapatkan pujian lebih dengan
tampilan detail yang luar biasa cantik dan warna-warni vibrant. Sinematografi
Choi Sung-fei berhasil mengeksplorasi semua elemen-elemen cantiknya terlihat
lebih maksimal sekaligus membuat detail adegan-adegan aksinya terlihat jelas
serta terasa seru. Tentu editing Tsui, Li Lin, dan Jason Zen juga memegang
peranan penting dalam menjaga pace serta timing yang pas dan efektif. Score
music Raymond Wong terdengar serba grandeur dan a la Hollywood Blockbuster
untuk adegan-adegan aksi serunya dengan sedikit sentuhan ornamen India. Sound
mixing dan sound design tertata tak kalah bombastis, setara visualnya.
Pembagian kanal surround pun terdengar maksimal dan detail.
Sebagai installment yang mengusung kisah dan karakter yang
sudah begitu familiar bagi penonton kita, Anda tak perlu khawatir akan
kebingungan jika belum menonton installment pertama dari versi Stephen Chow ini
(apalagi seingat saya memang tidak tayang di bioskop Indonesia). Dengan mudah
Anda akan memahami dan mengikuti kisahnya. Sekalipun ada benang merah dengan
JttW, sosok Duan dan kontribusinya bagi perkembangan karakter Bhiksu Tang
ditampilkan dengan cukup jelas lewat adegan-adegan flashback. Nikmati saja
perkembangan hubungan antara Bhiksu Tang dan Monkey King yang gokil nan seru,
humor mo lei tau a la Stephen Chow, dan suguhan visual spectacle yang
memanjakan indera penglihatan plus pendengaran, JttW2 menjadi sajian hiburan
ringan yang punya makna lebih. Penggemar humor Stephen Chow maupun kisah Monkey
King pantang untuk melewatkan. Ini adalah versi kisah Monkey King terbaik
selama beberapa tahun terakhir atau mungkin malah salah satu yang terbaik sepanjang
masa.
Lihat data film ini di IMDb.