2.5/5
Awards winner
Drama
Indonesia
Panoramic
Psychological
Road Trip
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Salawaku
Salawaku, seorang anak laki-laki asal Pulau Seram, Maluku,
bersikeras ingin mencari sang kakak, Binaiya yang tiba-tiba menghilang,
meninggalkannya sebatang kara. Ia memutuskan mencarinya di Kota Piru, kota yang
sempati ingin ditinggali oleh sang kakak. Perjalannya ditemani oleh seorang
wisatawan asal Jakarta, wanita muda bernama Saras yang tak sengaja ditemuinya
ketika tersesat di tengah-tengah laut. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu
Kawanua, sahabat Binaiya yang awalnya mengatakan juga ingin mencari Binaiya,
tapi justru terkesan menghalang-halangi perjalanan Salawaku dan Saras. Ternyata
bukan tanpa alasan. Kawanua punya rahasia tentang keberadaan dan hubungannya
dengan Binaiya.
Road movie sejatinya menjadi pilihan treatment yang tepat
digunakan untuk film dengan tujuan promosi pariwisata. Namun yang tak boleh
diabaikan adalah interaksi antar karakter yang menjalani perjalanan bersama
atau interaksi seorang karakter dengan orang-orang yang ditemuinya selama
perjalanan sehingga menghasilkan (setidaknya) satu konklusi dari perjalanan
yang dilalui. Singkatnya, perjalanan yang dilakukan punya makna tertentu. Film
Indonesia punya cukup banyak contoh film seperti ini. Terakhir yang paling
membekas dalam ingatan saya sampai saat ini adalah Laura & Marsha (2013) dan Mencari
Hilal (2015). I have to say, road movie adalah salah satu genre paling
favorit saya yang juga doyan traveling.
Salawaku yang
merupakan debut penyutradaraan dari Pritagita Arianegara (asisten sutradarai di
Soekarno: Indonesia Merdeka, About a Woman, Haji Backpacker, dan Another
Trip to the Moon) ini awalnya memang ditujukan sebagai sarana promosi
pariwisata Pulau Seram. Premise road movie yang ditawarkan pun sebenarnya cukup
menarik untuk dikembangkan. Sayangnya, perjalanan yang digelar tak menyuguhkan
interaksi yang terjalin baik antar karakter. Malahan di banyak kesempatan,
pilihan tindakan yang dilakukan oleh karakter-karakternya patut dipertanyakan.
Misalnya saja hubungan antara Salawaku dan Saras yang seringkali tak dilandasi
motivasi yang jelas, apalagi kuat. Ketika karakter Kawanua masuk pun semakin
membuat laju plot menjadi semakin absurd. Karakter Kawanua seperti kebingungan
harus membawa kemudi plot ke arah mana. Masih ditambah chemistry ‘aneh’ antara
Kawanua dan Saras, semakin parah setelah tahu rahasia Kawanua yang justru semakin
membuat penonton kehilangan simpati terhadap karakternya.
Resolusi yang dilakukan pun terjadi dengan turnover yang
terasa coming out of nowhere, tanpa melalui proses ataupun pemikiran yang masuk
akal. Perkembangan konflik yang terjadi sepanjang film terasa terlalu
disederhanakan bak film TV era TVRI. As a road movie, perjalanan yang dilalui
terkesan serba basa-basi tanpa penggalian kedalaman yang cukup berarti. In
short, it’s not even a memorable trip. Rather boring.
Akhirnya, konklusi yang tak kalah absurd-nya, tentang ‘hidup
itu tentang meninggalkan atau ditinggalkan’ WHATT??? Maaf, saya gagal
mengkoneksikan konklusi ini dengan proses perjalanan yang telah dilalui
karakter-karakter di dalam film. Lagian, serius konklusinya dibuat sedemikian…
anehnya? I mean, jadi dengan kata lain, kalau nggak mau ditinggalkan, makanya
lebih baik meninggalkan lebih dulu. Begitu? Atau jangan ragu jika ingin
meninggalkan, toh bisa jadi ke depannya Anda yang ditinggalkan? Atau… Well,
whatever. Apapun itu, saya tak menemukan korelasi antara konklusi tersebut
dengan elemen apapun dalam perjalanan yang dilalui Salawaku, Saras, dan
Kawanua.
Yang masih sedikit menyelamatkan Salawaku adalah panoramic yang direkam oleh Faozan Rizal, dan
penampilan para aktornya. Itupun sinematografi Faozan karena pemandangan alam
setting yang memang sudah cantik, sementara untuk urusan manfaat lebih terhadap
storytelling, tidak terlalu banyak memberikan pengaruh. Penampilan para aktornya pun sekedar natural
sesuai dengan porsi masing-masing yang diberikan oleh naskah. Tak sampai ada
yang benar-benar istimewa dengan kedalaman maupun lapisan-lapisan karakter
lebih.
Kredit cast terbesar mungkin layak disematkan kepada aktor
cilik, Elko Kastanya yang meski baru pengalaman pertama kali berakting tapi terlihat
cukup natural tanpa ada kecanggungan yang berarti. Beberapa momen emosional
dari karakternya pun mampu ditampilkan dengan kapasitas yang pas. Karina Salim
tampil sekedar ‘okay’ sesuai tuntutan karakter dalam menghidupkan sosok Saras
yang sebenarnya ditulis dengan sangat biasa. Jflow Matulessy pun tampil luwes
sebagai Kawanua kendati ambiguitas karakter yang diperankan membuat penonton
gagal untuk bersimpati penuh kepadanya. Sebagai Binaiya, Raihaanun tak punya
porsi yang cukup untuk menunjukkan kualitas aktingnya. Namun effort-nya dalam
menampilkan karakter Binaiya secara sedikit lebih kompleks masih terlihat
kendati pada akhirnya jatuh menjadi biasa saja. Terakhir, Shafira Umm tak punya
kesempatan yang cukup untuk sekedar menjadi penampilan singkat berkesan.
Sekedar noticeable, bahkan mungkin tergolong ‘blink and you’ll miss it’.
Selain sinematografi Faozan Rizal yang sebenarnya banyak
terbantu oleh kondisi alam asli, teknis Salawaku
lainnya juga tergolong biasa-biasa saja. Editing Sastha Sunu sekedar membuat
laju plot yang tak banyak berkembang secara penting menjadi tak terkesan
bertele-tele atau terlalu lambat bin sunyi bak ‘arthouse-arthouse’-an Indonesia
pada umumnya. Yes, ia memang sunyi. Apalagi dengan scoring music dari Thoersi
Argeswara yang tergolong minimalis dan dalam kadar yang minim pula. Namun
setidaknya durasi yang hanya 82 menit masih tolerable.
Jujur, setelah melihat langsung saya jadi mempertanyakan
kredibilitas berbagai festival film nasional yang bahkan sampai memenangkan Salawaku sebagai film terbaik. Ini bukan
lagi urusan selera maupun relate atau tidaknya terhadap penonton tertentu.
Bukan pula soal cerita yang sederhana. Ini soal pengembangan cerita yang tak
jelas arahnya, pilihan aksi para karakter yang patut dipertanyakan motivasinya,
resolusi yang coming out of nowhere, dan konklusi yang tak punya korelasi
apa-apa dengan perjalanan sepanjang film. Naskah yang benar-benar berantakan
dari Iqbal Fadly dan Titien Wattimena. Apa mungkin faktor ‘kemasan’ yang
menjurus ke arah arthouse ditambah pemandangan-pemandangan yang memang luar
biasa cantik mendistraksi? Well, sorry to say. Dalam bahasa saya, Salawaku adalah film yang sepanjang film
disusun oleh momen-momen ‘apasik-apasik’ dan ditutup dengan celetukan, ‘lho
sudah, begitu aja?’. Terserah Anda yang merasa diri berselera tinggi dan doyan
arthouse mau mencibir selera saya. Tak akan mengubah resepsi saya terhadap Salawaku dan saya yakin saya tidak
sendirian.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.