The Jose Flash Review
The LEGO Batman Movie


Sejak kemunculannya pertama kali tahun 1949 di Denmark, mainan ‘bongkar-pasang’ bernama Lego sudah menjadi salah satu pop culture yang paling berpengaruh. Hollywood sudah sejak lama ‘meminang’ untuk membuatkan versi layar lebarnya tapi selalu ditolak. However ada beberapa serial animasi dan film direct-to-video yang diproduksi seperti Lego Bionicle, Lego Hero Factory, Lego: Ninjago: Masters of Spinjitzu, Legends of Chima, dan Lego: The Adventure of Clutch Powers. Baru pada 2013 Warner Bros. diketahui mengembangkan adaptasi layar lebar LEGO NINJAGO Movie dengan jadwal rilis November 2017. Along the way ternyata Warner Bros. lebih dulu merilis The Lego Movie (TLM) tahun 2014 yang ternyata sukses besar. Baik secara komersial (bayangkan dengan budget ‘hanya’ US$ 60 juta berhasil mengumpulkan pendapatan total seluruh dunia sebesar US$ 469.2 juta) maupun respesi kritikus. Maka rencana spin-off-spin-off lainnya dikerjakan dengan lebih semangat lagi. Film kedua yang dipilih adalah The LEGO Batman Movie (TLBM) dengan jadwal rilis Februari 2017, periode masa tayang yang sama dengan TLM.

Not to be confused with Lego Batman: The Movie – DC Super Heroes Unite (2013) yang merupakan film direct-to-video, TLBM disutradarai oleh Chris McKay (Robot Chicken) dengan naskah yang disusun oleh Seth Grahame-Smith (Dark Shadows, novel Abraham Linclon: Vampire Hunter dan Pride and Prejudice and Zombies), Chris McKenna (Igor, serial American Dad, dan upcoming Spider-Man: Homecoming), Erik Sommers, Jared Stern (Mr. Popper’s Penguins, The Watch, The Internship), dan John Whittington. Voice talent dari TLM masih dipertahankan dengan dukungan dari nama-nama populer lainnya seperti Michael Cera, Rosario Dawson, Ralph Fiennes, Zach Galfianakis, sampai Mariah Carey. Tentu TLBM menarik minat range penonton yang jauh lebih luas ketimbang TLM. Mulai anak-anak, dewasa, penggemar Lego, dan penggemar Batman maupun DC.
Bertindak sebagai satu-satunya pahlawan Kota Gotham membuat Batman menjadi sosok penyendiri, egois, dan arogan. Bahkan Joker yang selama ini menjadi musuh bebuyutan Batman merasa sakit hati karena tak dianggap punya hubungan hero-villain yang istimewa. Namun egonya tergugah ketika Comissioner Gordon pensiun dan digantikan oleh sang putri, Barbara, yang berniat membuat Gotham tak terlalu bergantung pada Batman serta mengajak masyarakat bersama-sama menjaga keamanan kota. Di saat yang sama, seorang anak yatim piatu yang mengidolakan Batman, Dick Grayson mendatanginya dan karena salah fokus tak sengaja diadopsi oleh Batman secara sah oleh hukum. Sementara itu Joker yang makin frustasi karena dibuang oleh Batman ke Phantom Zone, dimensi dimana para penjahat dari berbagai universe dikurung, menghimpun dukungan dari penghuni Phantom Zone. Disusunlah strategi untuk meluluhlantakkan Gotham. Batman yang merasa terancam dari berbagai pihak terpaksa membuka diri atas bantuan dari Barbara, Dick, dan bahkan Alfred untuk menghentikan rencana jahat Joker.
Dari permukaan terluar, TLBM masih memiliki style penceritaan ala TLM; bak anak-anak yang sedang memainkan mainan-mainannya dan merangkai sebuah cerita utuh yang seru.  Bedanya, jika TLM memiliki original character sendiri yang masih belum terlalu familiar bagi penonton luas, TLBM punya keuntungan lebih karena faktor karakter dan universe yang sudah dikenal sangat luas sejak lama. Ada banyak elemen dari universe Batman, bahkan kejadian-kejadian di belakang layar dan di antara fandom yang dimanfaatkan sebagai bahan guyonan, sindiran, serta cemoohan. Tentu ini membuat penggemar atau setidaknya penonton yang sekedar mengikuti serta memahami universe DC tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak. Lebih dari itu, siapa sangka ia juga menggunakan karakter-karakter ikonik dari berbagai pop culture lain lintas era sebagai referensi guyonan untuk men-treat range generasi penonton yang lebih luas lagi. Bagi penonton cilik yang kurang familiar dengan joke-joke bereferensi pada pop culture masih disuguhi beberapa guyonan slapstick yang juga masih bisa sangat diterima oleh penonton dewasa sekalipun.
Look deeper and you’ll find that TLBM wasn’t just like a Batman parody. Bahkan saya berani menyimpulkan bahwa ia mengangkat tema sederhana dan sepele tapi sangat penting yang selama ini terabaikan oleh film-film Batman versi manapun. Ia berani mengangkat sosok Batman yang selama ini dikenal penyendiri, misterius, dan lebih senang bekerja sendiri dengan kacamata yang sama sekali berbeda; egois, arogan, dan anti bekerja sama dengan pihak lain. Namun tak lupa pula untuk menjadikan sosok Batman yang tetap fun dengan berbagai konsepnya kali ini; gemar nyinyir tajam tapi menggelitik, berjiwa rock n’ roll,  bahkan piawai nge-rap. Keseimbangan yang mampu membuat nuansa keseluruhan TLBM fun tapi tetap mampu menyentuh di momen-momen emosionalnya.
TLBM membuat saya berpikir bahwa selama ini film-film Batman terkesan terlalu serius, gelap, dan muluk-muluk dalam menggali kepribadian Bruce Wayne/Batman, sehingga melupakan aspek sepele tapi penting yang akhirnya diangkat oleh TLBM. Nilai yang sebenarnya jauh lebih universal, bahkan bisa dipahami (sekaligus lewat kemasan yang sangat bisa dinikmati) oleh penonton cilik sekalipun, ketimbang konsep-konsep ‘gelap dan berat’ yang selama ini menjadi podansi film-film Batman. Juga nilai kekeluargaan yang tak harus melulu lewat darah menjadikan konklusi TLBM begitu manis, hangat, dan menyenangkan.
Voice talent secara keseluruhan memberikan dukungan yang sama penting dalam membangun nuansa fun sekaligus menyentuh dari TLBM. Will Arnett mampu menggabungkan dan memberikan keseimbangan antara suara berat khas Batman selama ini dengan elemen-elemen karakter baru yang sama sekali berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh. Begitu juga Michael Cera sebagai Dick Grayson, Rosario Dawson sebagai Barbara, Ralph Fiennes sebagai Alfred, dan Zach Galifianakis sebagai Joker yang berhasil menghidupkan karakter masing-masing sesuai dengan konsep. Sisanya sebenarnya tergolong mubazir karena porsinya tak terlalu sedikit sehingga tak begitu kentara suaranya diisi oleh nama-nama populer, seperti Channing Tatum sebagai Superman, Jonah Hill sebagai Green Lantern, Adam Devine sebagai The Flash, Jenny Slate sebagai Harley Quinn, Jason Mantzoukas sebagai Scarecrow, Conan O’Brien sebagai The Riddler, Doug Benson sebagai Bane, Billy Dee Williams sebagai Two-Face, dan bahkan Zoë Kravitz sebagai Catwoman. Mariah Carey beruntung mengisi suara Mayor McCaskill yang masih noticeable dan cukup memorable di balik porsi yang sebenarnya juga terbatas. Terakhir, voice performance favorit saya yang terus-terusan terngiang justru Ellie Keper sebagai Phyllis.
TLBM adalah animasi komputer yang pergerakannya dibuat seolah-olah stop motion dari kepingan-kepingan Lego yang sebenarnya. Bukan pekerjaan mudah, maka itu perlu mendapatkan apresiasi tersendiri meski teknik ini bukan pertama kali digunakan olehnya. Editor David Burrows, John Venzon, dan Matt Villa memegang peranan penting dalam menyeimbangkan porsi fun dengan menyentuhnya dan they managed to work it very well. Meski banjir celetukan dan guyonan yang ditebar di seluruh penjuru film, dari opening logo sampai credit title, plot utama tetap terasa mengalir lancar dan tak ada adegan yang terasa mubazir dalam pembangunan plot utama. Music score dari Lorne Balfe pun mampu menggabungkan tone fun dengan keseriusan dengan keseimbangan yang terjaga, termasuk pemilihan soundtrack dari Patrick Stump, DNCE, dan Hush! Oh yang memang punya warna yang fun. Sound mixing juga punya keseimbangan yang baik antar sound effect, dialog, dan music, dengan pembagian kanal surround yang dimanfaatkan dengan cukup maksimal. You’d have never realize that the movie was actually about  moving and talking toys.  Format 3D sekedar tergolong okay. Depth of field-nya hanya cukup fair. Tak ada yang benar-benar istimewa, dan tak ada gimmick pop-out yang benar-benar menarik.
Dari berbagai advantage dan aspek yang memperkuatnya, TLBM jelas melampaui kualitas TLM. Bahkan saya berani menobatkannya sebagai salah satu film Batman terbaik dan paling berkesan sepanjang masa. Bagusnya lagi, ia juga film Batman yang aman dan bisa dinikmati oleh penonton-penonton cilik sekalipun. Kelebihan yang sempat diabaikan DC dan Warner Bros. setelah membuat konsep yang serba gelap dan serius pada franchise-nya, bahkan untuk film-film dan serial animasinya. Fun tapi tetap punya esensi sederhana yang ternyata tak kalah penting, di atas esensi-esensi jauh lebih serius yang selama ini coba diangkat.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.