2.5/5
Based on Book
Drama
Franchise
Hollywood
Horror
Investigation
Mystery
Pop-Corn Movie
Remake
Romance
sequel
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Rings
Bagaimanapun, di teritori manapun, sampai kapanpun, horror
merupakan genre yang selalu diminati. Tak heran jika ada banyak sekali
franchise horror yang sudah menyandang status ‘klasik’. Hollywood pun me-remake
horror-horror Jepang yang sempat menjadi trend, termasuk yang digarap paling
serius dan paling berhasil adalah The
Ring (2002) dan sekuelnya, The Ring
Two (2005). Tentu ini tak lepas dari tangan dingin sutradara Gore Verbinski
dan naskah Ehren Krueger yang punya visi tersendiri untuk versi Hollywood-nya.
Horror murah tapi keuntungan yang lumayan tentu akan terus dipertahankan. Meski
penghasilan The Ring Two mengalami
penurunan tapi masih tergolong menguntungkan. Seiring dengan bergantinya trend
horror, Paramount mengambil alih rights adaptasi The Ring dari DreamWorks dan merencanakan installment baru sejak
2014. Sutradara Spanyol, F. Javier Gutiérrez (yang lebih dulu dikenal di
berbagai ajang penghargaan internasional lewat Tres días atau Before the
Fall) dipercaya untuk menggarapnya dengan naskah yang disusun oleh David
Loucka (Dream House, House at the End of the Street), Jacob
Estes, dan Akiva Goldsman (A Beautiful
Mind, The Da Vinci Code, I Am Legend).
Berbagai format coba dikembangkan, mulai 3D, rebooth, hingga
akhirnya diputuskan sebagai sebuah sekuel dengan mengambil setting 13 tahun
setelah The Ring. Produksi sendiri
sebenarnya sudah dimulai pertengahan 2015. Namun sempat melakukan re-shoot
pertengahan 2016 dan penundaan jadwal rilis beberapa kali hingga jadwal akhir
dari September 2016 ke Februari 2016. Proses yang mencurigakan, tapi trailer
yang dirilis sejak pertengahan tahun 2016 lalu tampak menjanjikan, sehingga
masih menyisakan rasa penasaran pada diri saya.
Julia panik ketika sang kekasih yang kini tinggal di asrama
kampus, Holt, tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Ketika menyusul ke kampus, ia
menemukan bahwa seorang dosen, Gabriel, melakukan eksperimen rahasia yang
melibatkan beberapa mahasiswanya. Benar saja, Holt adalah salah satu
partisipannya. Holt pun menceritakan perihal kutukan video tentang Samara
Morgan yang sempat menghebohkan belasan tahun silam. Penonton video tersebut
akan menemui ajal dalam tempo 7 hari. Cara mematahkan kutukannya adalah dengan
meng-copy dan menunjukkan video tersebut ke orang lain. Karena rasa penasaran
sekaligus menyelamatkan Holt dari kutukan, Julia diam-diam menonton isi video
tersebut. Julia dan Holt pun bertekad menyelidiki latar belakang video tersebut
yang membawa mereka ke kota kecil bernama Sacrament Valley. Harapan mereka
Samara bisa tenang dan kutukan akan berakhir dengan terkuaknya misteri. Mereka
menemukan rahasia orang tua kandung Samara yang ternyata membawa petaka lain
lagi bagi mereka berdua.
Mengamati tipe horror franchise The Ring yang melibatkan kematian korban, sebenarnya bisa
memanfaatkan cara kematian yang variatif untuk menggenjot adrenaline penonton
sebagai formula dasarnya. Let’s say a la Final
Destination. Bukankah tujuan utama penonton menyaksikan horror adalah
mencari heart-sport, baik melalui thriller yang memompa adrenaline maupun jumpscare?
Rings lebih memilih untuk
mengembangkan premise dasar ke berbagai kemungkinan plot. Menarik juga sebenarnya,
tapi tetap saja perlu diimbangi dengan formula dasar horror yang mutlak harus
ada. Rings masih menyisakan satu-dua
jumpscare yang ternyata gagal terasa dan penampakan sosok Samara yang makin
lama makin kebal bagi penonton.
Now let’s see on how it expanded the story. Oke, memasukkan
aspek ilmiah tentang jiwa adalah pilihan menarik. Sayangnya aspek ini hanya
dimunculkan sebagai gimmick sementara saja, tanpa pengembangan korelasi dengan
plot utama yang cukup matang maupun relevan. Aspek relationship Julia dan Holt
juga menarik dengan mengambil legenda Orpheus
yang sampai dimanifestasikan dalam sebuah adegan. Sayang kemudian elemen relationship
ini tak dikembangkan menjadi bagian dari plot maupun character investment yang
cukup untuk membuat penonton peduli akan nasib keduanya.
Plot kemudian berubah haluan menjadi investigasi misteri
Samara Morgan yang (lagi-lagi) sayangnya mengalir dengan kelewat bertele-tele.
Formula halusinasi a la Oculus
digunakan pada fase ini. Mungkin formulaic dan predictable bagi beberapa
penonton, tapi saya tetap peansaran dengan berbagai kemungkinan formula yang digunakan
selanjutnya. Formula kemudian berubah lagi menjadi hide-and-seek thriller yang
mengingatkan saya akan Don’t Breathe,
lengkap dengan sosok antagonis buta-nya. Penggabungan formula yang kelewat
banyak ini dilakukan dengan transisi yang kelewat signifikan sehingga alih-alih
menjadi perpaduan yang saling mendukung, justru jatuh menjadi saling
tumpang-tindih dan at some point, melelahkan. Belum lagi jika ingin
menyambungkan latar belakang sosok Evelyn, ibu kandung Samara, di installment
sebelumnya yang terkesan janggal. Konklusi akhir tentang rebirth (no, it’s not
a spoiler. It’s even on the tagline!) lagi-lagi formulaic tapi tergolong relevan
dan masuk akal pada kasus sejenis. Sayangnya, daya tariknya sudah sampai pada
titik dimana penonton (setidaknya saya) sudah tak peduli lagi ke arah mana lagi
franchise ini mau dibawa.
Matilda Anna Ingrid Lutz dan Alex Roe sebagai pasangan Julia
dan Holt mungkin terlihat bak karakter utama mediocre di film horror sejenis. Tak
ada yang benar-benar istimewa maupun memorable, tapi lebih dari cukup untuk
menjadi daya tarik sepanjang film berjalan. Johnny Galecki pun punya
keseimbangan antara antagonis dan protagonis yang cukup seimbang sebagai Gabriel
meski karakternya tak punya kesempatan yang cukup untuk menarik simpati
penonton. Vincent D’Onofrio berpotensi menjadi sosok antagonis yang menarik dan
kharisma cukup sebagai Burke. Faktor porsi lagi-lagi menggagalkan upaya
tersebut.
Teknis Rings mungkin
memang taka da yang istimewa maupun memorable, tapi sebenarnya cukup mumpuni
untuk sekedar menghadirkan nuansa horror dan misterinya. Mulai sinematografi Sharone
Meir dengan camera work yang bergerak cukup dinamis di momen-momen klimaksnya.
Editing Steve Mirkovich dan Jeremiah O’Driscoll terlihat berupaya untuk menjaga
pace cerita tetap berjalan lancar di balik plot yang berjalan bertele-tele dan transisi
antar formula yang sama sekali berbeda yang cukup banyak. Sayang upayanya masih
belum benar-benar berhasil untuk menghindarkan dari kelelahan. Desain produksi
Kevin Kavanaugh sedikit mengembangkan konsep aslinya dengan tone yang masih
konsisten. Score music Matthew Margeson terdengar cukup memberikan sumbangsih
dalam pembangunan atmosfer horror-nya. Tak terlalu bisa memorable dalam memori
sih, tapi cukup terdengar eerie. Sound editing di beberapa momen cukup berhasil
mendukung jumpscare (non-horror) moment, sementara di jumpscare horror
moment-nya justru tak banyak berhasil.
Rings sebenarnya
masih sangat potensial untuk dikembangkan. Mungkin bukan dari segi pengembangan
cerita, tapi cukup satu saja formula horror yang cukup kuat untuk dipertahankan
dan didaur-ulang. Sayangnya Rings
berupaya memasukkan terlalu banyak formula coba-coba yang pada akhirnya
membuatnya terasa kelelahan dan semakin mengaburkan korelasi dengan plot utama
yang entah masih relevan atau tidak. Jika Anda sekedar mencari horror ringan
atau penasaran dengan pengembangan investigasinya, boleh lah dicoba untuk
dialami. Tanpa ekspektasi apa-apa tentu saja untuk menghindari kekecewaan. Tak
sampai busuk sekali sih, tapi masih jauh dari kata berhasil untuk sekedar
mempertahankan reputasi maupun ekspektasi terhadap franchise-nya.
Lihat data film ini di IMDb.