4/5
Blockbuster
Box Office
Crime
Hollywood
Horror
multiple personalities
multiple role
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Split
Master of horror. Master of thriller. Master of twist-ending.
Predikat-predikat itu pernah melekat pada diri M. Night Shyamalan, terutama
setelah The Sixth Sense (1999)
dinobatkan sebagai salah satu film horror/thriller klasik. Dilanjutkan
berturut-turut, Unbreakable (2000), Signs (2002), dan The Village (2004). Milestone yang telah ditorehkannya lewat The Sixth Sense membuat penggemar film
selalu mengharapkan tema thriller/horror dengan twist-ending yang briliant di
tiap karyanya. Ekspektasi seperti inilah yang menjadi bumerang ketika Lady in the Water (2006) dan The Happening (2008) dirilis. Ia mulai
dianggap kehabisan sentuhan magisnya. Sampai ia harus menggarap ‘proyek
pesanan’ (biasanya ia menggarap film dengan ide cerita sendiri, ditulis
sendiri, dan disutradarai sendiri) seperti adaptasi live action The Last Airbender dan After Earth yang semakin menenggelamkan
reputasinya.
I’m one of his fan and I think he’s more than just about
horror/thriller and twist-ending. Di mata saya ciri khasnya ada pada
kepiawaiannya menyusun universe dengan ‘aturan-aturan’ sendiri yang selalu
bikin penasaran untuk terus mengikuti plotnya serta menemukan makna atau
statement apa yang ingin disampaikannya. Tak selalu muluk-muluk atau tentang
hal-hal besar. I mean, siapa sangka ia
sebenarnya penulis naskah dari film anak-anak Stuart Little (1999)? It ain’t big but admit it, it had its own
charm, didn’t it? Tahun 2015 ia berkesempatan untuk mengembalikan reputasinya
lewat The Visit yang cukup
mendapatkan sambutan hangat, baik dari kritikus maupun penonton. But apparently
it’s just a warming-up of his comeback. Awal tahun 2017 ini ia benar-benar
diterima kembali sepenuhnya lewat Split
yang menjadi jawara box office Amerika Serikat selama tiga minggu dengan
penghasilan yang sampai tulisan ini diturunkan sudah melampaui US$ 146.9 juta,
tentu saja still counting. Mengangkat tema DID (dissociative identity disorder)
atau kepribadian multiple, Shyamalan mencoba menawarkan angle yang berbeda dari
tema tersebut.
Tiga gadis muda diculik oleh sosok misterius ketika salah
satunya usai merayakan ulang tahun; Claire, Marcia, dan Casey. Mereka dibawa ke
sebuah ruangan sempit entah di mana. Si pelaku adalah pria kulit putih yang
mengaku bernama Dennis. Ketika melihat ada sosok wanita yang lewat di depan
pintu, mereka sempat mencoba memohon pertolongan. Ternyata wanita yang mengaku
bernama Patricia itu tak lain dan tak bukan adalah Dennis. Barulah mereka sadar
bahwa si penculik adalah pengidap DID.
Dennis sendiri sebenarnya berada di bawah pengawasan terapi
dari Dr. Karen Fletcher yang punya
teori-teori sendiri tentang kasus DID, termasuk bahwa DID sebenarnya bukan
kelainan tapi merupakan kelebihan yang tak dimiliki manusia biasa. Perlahan
Karen mencoba mengidentifikasi tiap kepribadian yang muncul dalam diri Dennis
dan menganalisis darimana asal kepribadian-kepribadian ini. Karen semakin
penasaran untuk mempelajari lebih dalam ketika salah satu kepribadian Dennis
mengaku sering mendapatkan penglihatan tentang sesosok monster mengerikan.
Sementara itu Claire, Marcia, dan Casey terus mencari cara
untuk kabur, termasuk membujuk salah satu kepribadian Dennis yang masih berusia
9 tahun, Hedwig. Along the way, ketiganya menemukan rahasia salah satu dari
mereka yang mungkin bisa menjadi kunci meloloskan diri dari sekapan Dennis.
Jika selama ini horor/thriller bertema serupa memanfaatkan DID
sebagai twist-ending, seperti misalnya di Psycho,
Identity, dan di film Indonesia, Belahan Jiwa, maka Split berani membeberkan dengan terang-terangan tema ini di awal
film. Yeah, come on. It’s Shyamalan. He won’t use the old formulaic trick. Di
sisi terluar, ia menyuguhkan hide-and-seek thriller dengan mastering sense
Shyamalan yang mencekam dan memompa adrenalin, lengkap dengan battle of wit
yang tak kalah mendebarkannya. Kemudian di lapisan berikutnya barulah tema DID
digali dengan lebih mendalam dengan teori-teori serta ‘aturan-aturan’ yang
masih belum pernah ada di medium film sebelumnya. Menjadikannya sebuah konklusi
yang tak hanya mencengangkan (saking logis-nya, even though I don’t know if
it’s medically true or not), tapi juga menjadi statement yang fair dan membawa
perspektif baru pada kasus DID. Tak boleh diabaikan juga sedikit hint di
penutup yang membuat fans atau siapa saja yang mengikuti film-film Shyamalan
spontan bersorak. Yes, we can expect something bigger and bolder from Shyamalan
in the future from here. I’m so excited for this glorious comeback.
Mustahil membahas tema DID tanpa performa akting pelakon yang
harus membawakan peran dengan tingkat kesulitan berlapis tersebut. Itulah
mengapa James McAvoy yang memerankan Dennis dan ke-23 kepribadian (meski tak
semuanya ditampilkan di layar) layak mendapatkan kredit terbesar. Even maybe,
the most important role he ever played so far. Tak hanya sosok utama yang
terlihat sangat sakit jiwa lewat ekspresi wajah dan gesture, tapi juga
kepribadian-kepribadian lain yang cukup signifikan, seperti Patricia, Barry,
dan Hedwig. Manipulatif namun konsistensi tiap kepribadian terjaga. Betty
Buckley sebagai Dr. Karen Fletcher pun mencuri perhatian saya berkat tampilan
kecerdasan, ketenangan, serta pengertian yang begitu convincing untuk
mengimbangi karakter Dennis dan kepribadian-kepribadian lainnya. Anya
Taylor-Joy yang belum lama ini kita lihat sebagai Morgan di Morgan, membawakan peran Casey yang
sebenarnya masih tak jauh berbeda dari peran sebelumnya. Lebih banyak terlihat
diam dan tenang, tapi di sini terasa jauh lebih misterius dan bak memendam
sesuatu yang bikin penasaran. Sementara Haley Lu Richardson sebagai Claire
Benoit dan Jessica Sula sebagai Marcia mungkin porsinya tak lebih dari tipikal
peran gadis korban di film-film thriller, tapi setidaknya masing-masing tampil
cukup impresif.
Seperti kebanyakan film-film Shyamalan, teknis Split pun sebenarnya tak terlalu
istimewa dan tak ada yang benar-benar baru, tapi tetap terasa maksimal sesuai
tujuannya. Sense of atmospheric dan
timing inilah yang menjadi kekuatan film-filmnya, terutama yang bergenre horror/thriller.
Sinematografi Mike Gioulakis yang mampu menghadirkan aksi karakter-karakternya
begitu jelas sehingga berhasil menghadirkan ketegangan tersendiri. Didukung
dengan editing Luke Franco Ciarrocchi yang membuat momen-momen thrilling-nya
pada timing yang serba tepat dan membuat laju plot mengalir lancar tanpa
terkesan dibuat terlalu rumit. Begitu pula music score gubahan West Dylan
Thordson dengan bunyi-bunyian dan nada-nada sederhana tapi punya impact
kengerian, suspicious, dan ketegangan yang efektif. Sound design dan sound
mixing menghadirkan detail mengagumkan untuk membangun atmosfer, dengan
pembagian kanal surround yang juga maksimal.
Bagi penggemar setia Shyamalan yang sempat skeptis setelah
reputasinya meredup, Split menjadi
pemuas dahaga yang kembali membangkitkan antusiasme akan karya-karyanya lagi.
Twist-ending yang briliant dan bombastis memang bukan lagi menjadi komoditas
utamanya, tapi Split masih menyimpan
beberapa kejutan yang bikin terbelalak kagum sekaligus spontan bersorak ketika
muncul. Above all, menghadirkan tema yang sudah sering diangkat ke genre
horror/thriller tapi dengan konsep yang bisa membawa temanya ke level yang sama
sekali berbeda, sekaligus konklusi yang fair dan menimbulkan perspektif baru
pada kasus DID, Split jelas film yang
pantang dilewatkan, apalagi bagi penikmat horror/thriller dan terutama
penggemar Shyamalan.
Lihat data film ini di IMDb.