4/5
Asia
chaotic comedy
Comedy
Drama
Family
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
satire
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Buka'an 8
Tuntutan sosial di negara kita (dan bisa jadi di nyaris
seluruh wilayah yang mengaku menganut budaya ketimuran) tak pernah ada
habisnya. Setelah ‘kapan kawin’, masih ada tuntutan lain menjelang fase
berikutnya: punya anak. Tak kalah ribet dan hebohnya dengan pernikahan,
persiapan menantikan kelahiran anak pertama menjadi salah satu fase kehidupan
yang tak kalah menarik untuk diangkat ke medium film. Adalah pasangan salah
satu sineas berkualitas tanah air, Angga Dwimas Sasongko, dan istrinya yang
selalu bertindak sebagai produser di film-film sang suami, Anggia Kharisma,
yang kebetulan baru saja dikaruniai anak pertama, Angkasa Rigel, di akhir 2015 lalu,
mengabadikan momen penting tersebut dalam sebuah film. Masih diproduksi di
bawah bendera Visinema Pictures dengan menggandeng Chanex Ridhall Pictures dan
Kaninga Pictures, film bertajuk Buka'an 8
(B8) ini naskahnya dipercayakan kepada Salman Aristo yang tak perlu diragukan
lagi kepiawaiannya dalam menyusun naskah cerdas sekaligus menggelitik. Chicco
Jerikho mengisi peran utama sekaligus salah satu produser, didukung nama-nama
populer seperti Lala Karmela yang terakhir kita lihat di Ngenest, Sarah Sechan, Tyo Pakusadewo, Dayu Wijanto, dan berbagai
cameo yang kian menyemarakkan suasana sebagai sajian chaotic comedy.
Alam sedang kelabakan setengah mati. Sang istri, Mia, sudah
mendekati tanggal kelahiran anak pertama mereka. Di saat yang sama ia harus
meladeni twitwar dengan beberapa orang. Maklum, Alam ternyata seorang blogger
yang juga bekerja di penerbit independen dan punya puluhan ribu follower.
Masalah masih bertambah ketika uang yang sudah mereka siapkan untuk menyewa
kamar VIP di rumah sakit terkemuka sebagai tempat persalinan ternyata tidak
cukup karena promo yang mereka incar sudah kadaluarsa. Pontang-pantinglah Alam
mencari uang tambahan demi menjaga gengsi di mata keluarga Mia, terutama Sang
Ambu (ibu) dan Abah yang awalnya tak memberikan restu pada hubungan mereka,
Seiring dengan waktu upaya-upaya Alam justru membongkar rahasia-rahasia Alam
yang selama ini ia sembunyikan dari Mia dan keluarganya.
‘Dijual’ sebagai film chaotic comedy seputar kelahiran anak
pertama, nyatanya B8 juga mengawinkan dengan banyak elemen pendukung yang
menyindir fenomena-fenomena sosial akhir-akhir ini. Mulai media sosial lengkap
dengan twitwar dan selebtwit hingga politik. Menjadikan B8 tak hanya menjadi
chaotic comedy yang personal, tapi juga satir yang sindir sana-sini. Biasanya
formula seperti ini cenderung terkesan terlalu cerewet yang pada akhirnya
menciderai penceritaan plot utama. Namun B8 mampu menghindari kecenderungan
tersebut. Tak hanya berhasil mengkoneksikan elemen-elemen satir dan plot utama
dengan korelasi sebab-akibat yang solid, tapi juga diseimbangkan dengan
justifikasi yang adil. Misalnya, ia tak hanya menyindir social media-addict
yang meletakkan aktivitas dunia maya di atas kehidupan pribadi bersama
orang-orang tersayang, tapi juga memberikan manfaat dari aktivitas tersebut
yang juga bisa dirasakan oleh orang-orang tersayang. Kesemua elemen ini disusun
dalam sebuah rangkaian kronologis yang terasa begitu tertata rapi, runtut,
mengalir lancar, dan logis. Jika ada bagian yang menurut Anda dibuat-buat untuk
mempermudah resolusi, maka saya masih mempercayai ‘selalu ada jalan yang datang
dengan tidak terduga-duga’. Ada ‘rencana dari Yang di Atas’ yang membuat
manusia mensyukuri segala kejadian di dunia. Toh sebelumnya sempat ditampilkan
hint-hint menuju resolusi. Bukan sebuah resolusi yang tiba-tiba muncul out of
nowhere.
Jika naskah Salman Aristo sudah tersusun dengan begitu rapi
dan solid, eksekusi Angga Dwimas Sasongko pun semakin memperkuat hasil akhir
B8. Di sini Angga seolah membuktikan bahwa dirinya tak hanya piawai dalam
menggarap genre drama dengan sensitivitas, dramaturgi, dan timing yang sangat
baik sehingga mampu memberikan impact (terutama emotional impact), tapi juga
mampu mengarahkan chaotic comedy dan sedikit aksi dengan energi yang sesuai.
Alhasil di comedic moments-nya, B8 terasa begitu asyik, seru, menegangkan,
mencemaskan, sekaligus menggelitik. Sementara ketika menginjak emotional
moments-nya, B8 terasa begitu manis dan hangat. Pencapaian ini menjadikan Angga
layak menyandang gelar sebagai sutradara dengan craftsmanship versatilitas
genre yang tinggi.
Beberapa kali bekerja sama dengan Angga membuat Chicco Jerikho
tampak semakin nyaman dan santai dalam menghidupkan perannya. Meski masih
terasa ‘sangat Chicco’, karakter Alam yang emosinya meledak-ledak tanpa pikir
panjang, spontaneous, agak ‘ngehek’, tapi begitu mencintai keluarganya, terasa
begitu membumi tanpa mengesampingkan elemen-elemen komikal yang cukup untuk
mengundang tawa. Turnover di saat-saat genting pun dibawakan dengan mulus dan
mampu mengundang simpati penonton. Terakhir, chemistry yang dibangunnya dengan
Lala Karmela dan juga Tyo Pakusadewo di salah satu adegan, semakin menambah
nilai plus dari penampilannya kali ini. Lala Karmela terasa pas memerankan
karakter Mia meski masih tak banyak beranjak dari peran serupa sebelumnya di Ngenest. Scene stealer terbesar adalah
Sarah Sechan dengan berbagai celetukan khas Sunda-nya yang entah sudah ada
sejak di skenario atau merupakan hasil improvisasi sendiri. Tyo Pakusadewo pun
punya comedic moment yang tak kalah berkesannya. Dayu Wijanto sebagai mama Alam
masih terasa agak ‘berjarak’ dengan karakter Alam, tapi masih mampu
menyampaikan tujuan karakternya sesuai dengan porsinya. Di lini
pendukung/cameo, Maruli Tampubolon sebagai dokter kandungan pengganti, Melissa
Karim, Mo Sidik, Ary Kirana, Desta, hingga TJ, masing-masing punya momen yang
noticeable, bahkan cukup mengesankan.
Keberhasilan B8 sebagai chaotic comedy yang berenergi
sekaligus drama yang hangat tak lepas dari peran sinematografi Robie Taswin,
terutama lewat camera work-nya. Bahkan gambar-gambar established pun mampu
‘bercerita’ sekaligus menghantarkan emosi yang sesuai. Editing Teguh Raharjo
semakin mempertegas efektivitas dan energi storytelling sekaligus
comedic-moments-nya. Tampilan grafis Twitter dan WhatsApp yang menghadirkan
picture profile yang bergerak menjadi daya tarik bahkan sumber komedi tersendiri.
Musik dari Mc Anderson pun memberikan warna yang lebih menghidupkan
adegan-adegan menjadi makin asyik diikuti. Adegan-adegan seru menjadi makin
seru, sementara adegan dramatis menjadi semakin hangat tanpa kesan berlebihan.
Pemilihan lagu tema Untuk Perempuan yang
Sedang Dalam Pelukan dari Payung Teduh makin menghanyutkan,
mengiringi credit title berupa motion photograph kru dengan anak masing-masing
(bagi yang sudah dikaruniai) maupun dengan sang ayah (bagi yang masih belum
dikaruniai anak).
Utamanya B8 memang menjadi sebuah sajian komedi yang personal
tentang bagaimana proses kelahiran anak pertama bisa punya pengaruh besar bagi
pasangan dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak hanya menjadi momok karena
bayang-bayang tambahan biaya hidup yang makin gila-gilaan, tapi juga
mempengaruhi pilihan prioritas dalam hidup. Memasukkan satir terutama tentang
media sosial adalah keputusan yang pas untuk dikawinkan. Menjadikan B8 sebuah
time-capsule yang cerdas dan reflektif dengan kemasan yang sangat menghibur
dari awal hingga akhir. Anda akan dibuat tersenyum, bahkan mungkin tertawa
terbahak-bahak, khawatir dan bersimpati pada karakter-karakternya, mungkin
sedikit tersindir yang membawa Anda ke sebuah refleksi pribadi, dan pada
akhirnya teringat akan keluarga. Mengenang kembali masa-masa kelahiran anak
pertama (yang bisa jadi makin merekatkan hubungan dengan pasangan) bagi yang
sudah pernah dikaruniai anak dan merefleksikan perjuangan orang tua ketika
menantikan kelahiran Anda dulu bagi yang belum dikaruniai anak.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.