3.5/5
Adult
Asia
Based on Book
Drama
Indonesia
Investigation
Mafia
media
Pop-Corn Movie
prostitution
Romance
Sex
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Moammar Emka's
Jakarta Undercover
Sejak pertama kali diterbitkan tahun 2003, novel Jakarta Undercover (JU) karya Moammar
Emka sudah menjadi fenomena budaya pop Indonesia. Bagaima tidak, topik seks dan
segala jenis dunia malam yang sebelumnya lebih sering dianggap tabu tiba-tiba
menjadi domain publik luas. Tak heran jika Rexinema dan Velvet Silver sempat
mengadaptasinya ke layar lebar berjudul sama di tahun 2007. Karena format
novelnya yang hanya memberikan deskripsi sebuah fenomena esek-esek di tiap babnya,
maka perlu modifikasi bentuk narasi utama untuk kemudian baru dimasukkan
fenomena esek-esek sebagai latarnya. Tahun 2017 ini Moammar Emka sendiri yang
berinisiatif untuk sekali lagi mengangkat novelnya ke layar lebar. Lewat
Graffent Pictures, Emka menggandeng sutradara Fajar Nugros dan istrinya yang
selama ini sering bertindak sebagai produser, Susanti Dewi, di bawah bendera
Demi Istri Production. Naskahnya disusun bersama oleh Emka, Nugros, dan Piu
Syarief (Pintu Harmonika, Cinta Selamanya, dan upcoming, Trinity: The Nekad Traveler). Jika versi
2007 menyuguhkan kisah thriller tentang seorang wanita yang menyamar menjadi
stripper waria dikejar-kejar oleh oknum setelah menjadi saksi pembunuhan, maka
versi 2017 dengan tajuk Moammar Emka’s
Jakarta Undercover (MKJU) ini bak sebuah biopic dari Emka sendiri dengan
bumbu-bumbu tambahan di sana-sini.
Didukung nama-nama populer baik di lini main cast maupun
supporting dan cameo, seperti Oka Antara, Baim Wong, Ganindra Bimo, Tyo
Pakusadewo, Lukman Sardi (satu-satunya aktor dari versi 2007 yang kembali hadir
meski dengan peran yang sama sekali berbeda), Richard Kyle, Nikita Mirzani,
Babe Cabiita, Cut Memey, Ucok Baba, Erick Estrada, hingga penampilan
breakthrough dari Female DJ, Tiara Eve, dan penampilan tak terduga dari Agus
Kuncoro, MKJU jelas menarik rasa penasaran dari berbagai kalangan penonton.
Pras, seorang wartawan sebuah majalah politik asal Jawa yang
merantau di Jakarta sedang resah akan profesinya. Tak hanya soal menulis
artikel yang tidak sesuai dengan minatnya, tapi juga mempertanyakan manfaat
tulisannya bagi masyarakat luas. Niat hati menolong orang-orang yang sama
sekali tak dikenal sebelumnya, justru membawa dia ke dunia underground Jakarta
yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Awink, seorang pria kemayu yang
bekerja sebagai go-go dancer, Yoga, bos mafia penggerak bisnis narkoba dan
prostitusi bawah tanah, dan Laura yang ternyata adalah seorang model sekaligus
pelacur kalangan atas. Awink dan Yoga merasa punya hutang nyawa dengan Pras
sehingga memperlakukannya istimewa di pesta-pesta mereka. Sementara Laura
menemukan sosok sahabat yang tulus pada diri Pras. Diam-diam Pras dan Laura pun
saling jatuh cinta. Namun persahabatan dan asmara tersebut tak membendung
ambisi Pras untuk menelusuri jaringan dunia malam beserta dengan
variasi-variasi prakteknya dan menjadikannya bahan tulisan artikel di majalah.
Sampai ketika ia berniat membatalkan publikasi tulisannya itu, semuanya sudah
terlambat. Persahabatan, asmara, dan nyawanya sendiri jadi terancam.
Dari premise-nya imajinasi penonton otomatis membayangkan
sebuah biopic yang menyajikan cara kerja Emka dalam menyusun novel JU dengan
bumbu roman a la Moulin Rouge. Tentu mungkin tak 100% akurat, tapi
setidaknya latar yang ditampilkan memberikan gambaran yang jelas dan nyata dari
fakta di lapangan. Cliché memang, apalagi ketika dilempar di masa kini dimana
berbagai praktik esek-esek dan dunia malam sudah menjadi rahasia umum dan
termasuk sering diangkat ke medium film. Nugros membawa MKJU sebagai film dengan narasi
dan kronologis yang runtut sebagai penggerak plot utamanya. Kelebihannya,
kendati cliché, MKJU masih mampu menjadi sajian yang bikin penonton penasaran,
terutama akan apa lagi yang akan ditampilkan selanjutnya dan sejauh apa
konsekuensi yang harus dihadapi Pras atas apa yang telah dilakukannya, yang
tentu saja mengarah pada konklusi apa yang ingin disampaikan MKJU. Ini berkat
visualisasinya yang punya keseimbangan antara momen manis, menegangkan,
menggelitik, maupun thoughtful.
Kompensasinya, ia mengabaikan lapisan yang lebih dalam dari
tiap karakter sehingga dilematisnya tak sampai (atau kurang) ‘menggerakkan’
emosi maupun simpati penonton. ‘Lapisan’ yang ditampilkan hanya sebatas sebagai
deskripsi karakter semata, bukan perkembangan sebagai dampak dari kejadian
dalam plot. Transisi antar adegan pun terasa bak segmen demi segmen berdiri
sendiri yang dijahit menjadi kesatuan berkesinambungan ketimbang rangkaian
adegan menjadi satu kesatuan yang utuh. Berbagai satir yang dimasukkan di
banyak kesempatan tapi menyampaikan satu suara: olok-olok terhadap kota
Jakarta, sempat mengaburkan gagasan utama apa yang ingin dituju. Namun rupanya
ini disengaja untuk memberikan kesan ‘kekacauan’ dari subjeknya, karena
kemudian adegan ditutup dengan sebuah kata dari mulut karakter utama yang
seolah tak hanya menyampaikan kerinduan terhadap karakter lawannya, tapi juga
kerinduan terhadap kehidupan yang dijalaninya sebelum mengenal ‘dunia bawah
tanah’ Jakarta. Bagi saya, ini adalah konklusi yang terkesan sederhana tapi
lebih dari cukup untuk menggaris-bawahi keseluruhan gagasan film; kemuakan dan
kerinduan.
Menceritakan geliat dunia malam Jakarta tentu tak afdol tanpa
menghandirkan erotisme. Versi asli MKJU konon diwarnai cukup banyak nudity yang
tentu saja tidak memungkinkan untuk penayangan luas di negara kita. Untung saja
sistem LSF saat ini sudah tak lagi asal main potong. Ada proses mediasi untuk
mencapai kompromi sehingga ‘sensor’ dilakukan oleh pemilik film sehingga tak
ada bagian dari MKJU versi lolos sensor yang terasa dipotong secara kasar. Menyisakan
beberapa penampakan ‘boobies’ dari samping. Atmsofer erotis masih bisa
dirasakan tanpa kesan yang terlalu vulgar.
Salah satu kekuatan terbesar MKJU adalah penampilan dari
jajaran cast yang mostly menjadi nyawa dari film. Oka Antara mungkin tak punya
keistimewaan khusus dalam membawakan peran Pras selain sekedar pas. Namun ada
momen-momen penting di mana ia mengerahkan kapasitas aktingnya dengan maksimal,
terutama di ending dimana ia menyampaikan konklusi dengan begitu emosional.
Penampilan tak kalah mencengangkannya adalah Baim Wong sebagai Yoga. Image
protagonis sinetron yang selama ini melekat kuat pada sosoknya memang sempat
diputar-balikkan ketika mengisi peran psikopat di Lily: Bunga Terakhirku. Namun di MKJU ini kematangannya dalam
membawakan peran antagonis yang bengis secara effortless, tanpa gimmick yang
terkesan terlalu dibuat-buat, terlihat dengan amat jelas. Sama seperti Oka,
Baim juga punya momen emosional yang mampu ditampilkannya dengan sangat baik
dan timing yang pas. Dalam memerankan sosok pria kemayu (tak sampai banci),
Ganindra Bimo mungkin memang tak benar-benar istimewa karena bukanlah sosok
‘cowok banget’ pertama yang memerankan karakter kemayu. Namun keluwesannya
dalam membawakan peran tersebut, juga tanpa gimmick yang telalu dibuat-buat,
patut mendapatkan apresiasi lebih. Setidaknya dari peran ke peran yang ia
mainkan sebelumnya, tingkat kesulitan dan keberhasilannya dalam membawakan
peran layak mendapatkan pengakuan.
Sebagai debut akting, Tiara Eve yang selama ini dikenal
sebagai Female DJ, tampil tak kalah mencengangkan. Berbagai momen emosional
dibawakan dengan convincing, termasuk pada momen konklusi dimana kapasitas akting
tertingginya terlihat dengan begitu maksimal. Sementara di jajaran pemeran
pendukung dan cameo lainnya, mulai Tio Pakusadewo, Lukman Sardi, Nikita
Mirzani, Babe Cabiita, Sammy Not a Slim Boy, sampai Ucok Baba tampil noticeable
sesuai porsi peran masing-masing. Erick Estrada menjadi scene stealer tersendiri lewat peran orang gila. Namun kejutan terbesarnya adalah penampilan
Agus Kuncoro yang menghidupkan sosok Mama San dengan tenang, tak banyak bicara,
dan elegan. Sementara Richard Kyle kali ini terlihat berusaha meningkatkan
kemampuan aktingnya tapi masih jauh dari kesan baik dalam mengisi peran Ricky.
Mungkin akan lebih ‘mulus’ jika menggunakan dialog Bahasa Inggris sepenuhnya.
Secara keseluruhan teknis MKJU tergolong tergarap baik.
Sinematografi Padri Nadeak tak hanya mampu mengeksplorasi keseluruhan desain
produksi dari Oscart Firdaus, tapi juga menggerakkan plotnya dengan energi yang
pas untuk sebuah thriller dan dalam menggambarkan ‘gairah’ geliat dunia
malamnya. Editing Yoga Krispratama pun merangkai adegan sesuai dengan energi
yang ingin dicapai. Sayangnya ada adegan-adegan insert yang diselipkan di
antara adegan yang mungkin bertujuan menyampaikan backstory atau memberikan
deskripsi karakter yang lebih banyak, tapi jumlahnya yang terhitung banyak
membuat flow plot utama terasa kurang lancar. Tata suara Khikmawan Santosa dan
Mohamad Ikhsan Sungkar memberikan kedalaman atmosferik yang cukup untuk
menghidupkan suasana latar. Musik scoring yang mostly bernuansa techno dari
Treehouse Sound mendukung tiap momen menjadi lebih berenergi.
MKJU memang merupakan upaya menceritakan
kembali kisah berlatar dunia malam Jakarta yang tertata lebih baik dan lebih
relatable dengan versi novel. Menghibur lewat sajian cerita yang cliché tapi
tetap seru dan bikin penasaran untuk diikuti, sedikit thoughtful terutama tentang
hidup di belantara Jakarta. Sebuah showcase performa akting yang sangat baik
pula dari keseluruhan cast utama. Sayang rasanya jika melewatkan mengalami
‘petualangan dunia malam Jakarta’ di layar lebar.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.