3/5
Action
Asia
brotherhood
coming of age
Crime
Drama
Father-and-Son
Indonesia
Parenting
Personality
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pertaruhan
Di antara sineas-sineas papan atas Indonesia, Upi dikenal
sebagai sineas wanita yang punya visual style khas, yaitu rebel, rock n’ roll,
tapi fashionable. Seorang teman ada yang mengaku tak menyukai film-filmnya
karena terasa begitu asing, kebarat-baratan, jauh dari ‘Indonesia’. Bagi saya
tak ada yang salah dan sah-sah saja. Sineas berhak menciptakan universe
fantasi-nya sendiri yang mungkin tak selalu sejalan dengan kondisi sosial,
kultural, dan geografis yang sesungguhnya. Karya-karyanya, baik sebagai sutradara
maupun penulis naskah, selalu menarik kendati kerap memadukan
inspirasi-inspirasi dari film-film luar yang kelewat kental. Awal tahun ini di
bawah bendera IFI (Investasi Film Indonesia) yang kerap memproduksi film-film
‘idealis’-nya, Upi kembali menghadirkan film bertajuk Pertaruhan. Namun Upi hanya bertindak sebagai penulis naskah
sekaligus konsultan kreatif, sementara bangku penyutradaraan dipercayakan
kepada Krishto Damar Alam yang sebelumnya lebih banyak bertindak sebagai editor
(seperti di Mendadak Dangdut dan 9 Naga) dan produser (Coklat Stroberi, Love, Tarzan ke Kota).
Mengambil tema empat bersaudara yang nekad merampok bank demi mengobati sang
ayah yang sedang sakit keras, Pertaruhan
mengedepankan aktor-aktor muda yang punya fanbase cukup besar. Mulai Adipati
Dolken, Aliando Syarief, serta pendatang baru Jefri Nichols, Giulio Parengkuan,
dan Widika Sidmore. Tentu ada tujuan komersial dari pemilihan aktor-aktor ini.
Musa adalah seorang bapak yang harus membesarkan keempat
putranya sendirian setelah sang istri lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa.
Berprofesi sebagai sekuriti di sebuah bank, beliau mengedepankan harga diri dan
dedikasi, termasuk kepada anak-anaknya; si sulung Ibra, Elzan, Amar, dan si
bungsu, Ical yang masih duduk di bangku SMP. Karena kesibukan sang ayah, mereka
tumbuh menjadi sosok-sosok rebel. Ibra bekerja sebagai keamanan di sebuah klub
malam, Elzan bekerja sebagai petugas cleaning service di karaoke, sementara
Amar lebih sering bergaul dan berlagak bak preman di kampung. Ical yang masih
SMP otomatis memandang kakak-kakaknya sebagai panutan yang keren dan hebat.
Musa makin dibikin khawatir jika Ical ikut terpengaruh ketiga kakaknya. Ia
berharap Ical menjadi satu-satunya harapan menjadi sarjana di dalam keluarga.
Konflik memuncak ketika Musa dipecat dari pekerjaannya karena digantikan
tenaga-tenaga yang lebih muda dan penyakit paru-parunya mulai terasa. Ibra yang
selama ini merasa tak berguna memutar otak untuk mencari cara mendapatkan uang
untuk pengobatan sang ayah dengan dibantu Elzan, Amar, dan kekasih Ibra yang
berprofesi sebagai petinju underground, Jamila. Ketika merasa sudah menemui
jalan buntu dan situasi serba tak mendukung, Ibra memutuskan untuk merampok
bank tempat sang ayah bekerja dulu. Selain demi uang, juga sebagai bentuk balas
dendam terhadap perlakuan mereka terhadap sang ayah. Namun sebagai pemuda yang
tak berpengalaman, perampokan berakhir tragedi yang mengubah keadaan keluarga
Musa.
Meski premise-nya (lagi-lagi) tak benar-benar orisinil (sedikit
banyak mengingatkan saya akan Four
Brothers – 2005), sebenarnya tema yang diusung Pertaruhan termasuk menarik. Film pun dibuka dengan perkenalan
karakter berenergi a la rock n’ roll seperti halnya film-film khas Upi. Seiring
dengan alur, terasa pula tema parenting yang cukup thought-provoking, terutama
di keluarga Timur, khususnya Indonesia, yang dari luar menjunjung tinggi
nilai-nilai tertentu tapi gagal memberikan teladan yang nyata. Padahal teladan
langsung adalah bentuk pendidikan yang efektif.
Sayangnya ketika cerita berkembang lebih jauh, naskah semakin
kehilangan logika. Mari abaikan logika setting dengan asumsi ‘alternate
Indonesia’ yang bercampur aduk antara masa kini dan masa lalu (uang kertasnya
saja sudah jelas-jelas dibuat sama sekali berbeda dengan yang pernah beredar di
Indonesia), mengingat kecenderungan visual style Upi selama ini. Abaikan juga
logika gaya berbusana karakter-karakter utama yang tak sejalan dengan kondisi
perekonomian yang digambarkan. Namun saya tak bisa mengabaikan begitu saja
logika cara perampokan yang dilakukan Ibra dan adik-adiknya. Sangat menggelikan
jika tidak mau dikatakan terlalu bodoh. Perampokan dibuat sebegitu mudahnya
dengan sistem keamanan yang seolah tak punya fungsi sama sekali. Kemudian
saling menyebut nama asli di depan para saksi mata yang begitu banyak? Lalu
berlelet-lelet drama ria terlebih dulu, tanpa mempertimbangkan kemungkinan
polisi akan segera datang? Oh, kenyataannya polisi memang juga lelet dalam
bertindak sehingga pelaku masih sempat melakukan banyak hal. Dan puncaknya,
bagaimana Anda bisa bertahan hidup seharian dan sempat melakukan banyak hal
dengan luka tembak menganga, tanpa penanganan sementara sedikit pun? Well,
speaking of sluggishness, style penyutradaraan Krishto sudah berubah drastis
menjadi super-sluggish pasca perkenalan yang rock n’ roll. Entah mungkin ingin
menghadirkan nuansa melankoli nan depresif, tapi seharusnya masih bisa tanpa
se-sluggish itu. Apalagi cukup banyak perpindahan adegan yang terasa terpisah
dalam segmen-segmen. Sempat sedikit terangkat menjadi action thriller yang
cukup gripping, tapi tak lama kemudian kembali sluggish seiring dengan drama
penyelesaian dan konklusinya, yang akhirnya semakin menciderai logika pada
puncaknya. ‘Pesan moral’ yang terlalu kentara pada konklusi memperjelas segmen
utama mana yang ingin dituju. Well, I didn’t mind with that, tapi saya yakin
bahkan penonton dari segmen utamanya saja memahami bahwa ada banyak logika yang
menggelikan di sini.
Untungnya Pertaruhan
didukung oleh aktor-aktor yang masih layak diapresiasi. Terutama sekali Tyo
Pakusadewo sebagai sang ayah, Musa. Masih pada koridor tipikal peran yang ia
bawakan, tapi seperti biasa pula, ia memberikan penampilan yang maksimal.
Dilema dan kontemplasi yang ditunjukkan lewat karakternya terlihat dengan jelas
tanpa disampaikan secara terang-terangan. Bahkan temanya menjadi thoughtful
bagi saya karena penampilan gemilangnya. Adipati Dolken terasa pas memerankan
si sulung Ibra, seiring dengan upayanya meninggalkan peran-peran tipikal. Meski
tak sampai secara mendalam menunjukkan beban-beban yang dipikul, setidaknya ia
masih terlihat cukup layak menghidupkan karakternya pada permukaan terluar.
Jefri Nichol masih belum diberi porsi yang cukup untuk menunjukkan bakat akting
yang sebenarnya, tapi kharismanya sudah mulai terlihat (let’s see his next
performance as a leading role in Dear
Nathan). Aliando Syarief tampil semakin luwes dalam berakting dan terasa
pas pula mengisi peran Amar yang slengean tapi terlihat punya hati yang baik.
Sementara surprise justru datang dari pendatang baru, Giulio Parengkuan, yang
mampu menghidupkan perannya yang cukup kompleks dengan keseimbangan yang
tergolong pas untuk ukuran breakthrough performance. Widika Sidmore sebagai
Jamila pun tampak menarik, punya keunikan kharisma tersendiri. Semoga saja
karirnya bisa terus berkembang dengan bekal breakthrough performance yang
mencuri perhatian di sini. Di lini pendukung berikutnya, Tarsan, Silvia
Anggraeni, Ence Bagus, Ronny P. Tjandra, dan Fauzi Baadila tampil cukup
noticeable.
Dengan Upi sebagai konsultan kreatif, visual menjadi salah
satu alasan kuat untuk menonton Pertaruhan.
Seperti biasa, artistik Antonius Boedi S. mampu menyulap kekumuhan dan
kesederhanaan menjadi lebih cantik. Lihat saja bar, bilyard, dan ring tinju
kelas bawah yang terlihat lebih artistik berkat permainan cahaya dan color
tone. Tata kostum Andhika Dharmapermana mungkin terasa kurang logis dengan
kondisi perekonomian karakter-karakternya, tapi sekali lagi, atas nama
artistik, masih bisa saya abaikan. Tak ada yang benar-benar istimewa dari
sinematografi Muhammad Firdaus selain aerial shot perpisahan karakter Musa dan
Ical yang berulang untuk menyampaikan laju cerita di balik rutinitas. Sisanya,
sekedar mampu bercerita secara cukup efektif dan keselarasan pergerakan kamera untuk
adegan pertandingan tinju sehingga terkesan seru. Editing Sahadati Adjie SP tak
bisa berbuat banyak untuk memperbaiki pace yang lebih karena pergerakan para
aktornya. Namun setidaknya ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga
laju cerita. Scoring music dari Tony Dwi Setiaji, Bemby Gusti, dan Aghi
Narottama sekali ini tak begitu istimewa. Tak ada yang benar-benar melekat pada
memori. Sekedar mengiringi adegan sesuai dengan kebutuhan emosi tapi tak sampai
terlalu mendalam. In matter of fact, lebih banyak silent moment, entah sudah
menjadi konsep dari sutradara atau faktor lain. Sound mixing pun tak memberikan
detail lebih selain pada permukaan terluar saja.
Dengan premise yang menarik dan tema yang cukup
thought-provoking, sangat sayang sebenarnya Pertaruhan
tak memaksimalkan potensi-potensinya. Terutama sekali soal logika yang kelewat
menggelikan dan sluggish, ditambah treatment yang lebih sering terlalu lambat
ketimbang energi rock n’ roll. Nevertheless, penampilan para aktor, termasuk
pendatang-pendatang baru, masih menarik untuk disimak, dan masih punya beberapa momen emosional. Begitu juga visual style
khas Upi yang jarang terlihat di sinema kita (kendati sebenarnya tak banyak
berubah dari film ke film). Semoga saja nama-nama populer di lini terdepan
memang mampu menarik fanbase masing-masing. Pun juga penampilan
pendatang-pendatang baru di sini bisa menjadi batu loncatan yang efektif bagi karir
masing-masing ke depannya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.