The Jose Flash Review
Pertaruhan

Di antara sineas-sineas papan atas Indonesia, Upi dikenal sebagai sineas wanita yang punya visual style khas, yaitu rebel, rock n’ roll, tapi fashionable. Seorang teman ada yang mengaku tak menyukai film-filmnya karena terasa begitu asing, kebarat-baratan, jauh dari ‘Indonesia’. Bagi saya tak ada yang salah dan sah-sah saja. Sineas berhak menciptakan universe fantasi-nya sendiri yang mungkin tak selalu sejalan dengan kondisi sosial, kultural, dan geografis yang sesungguhnya. Karya-karyanya, baik sebagai sutradara maupun penulis naskah, selalu menarik kendati kerap memadukan inspirasi-inspirasi dari film-film luar yang kelewat kental. Awal tahun ini di bawah bendera IFI (Investasi Film Indonesia) yang kerap memproduksi film-film ‘idealis’-nya, Upi kembali menghadirkan film bertajuk Pertaruhan. Namun Upi hanya bertindak sebagai penulis naskah sekaligus konsultan kreatif, sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Krishto Damar Alam yang sebelumnya lebih banyak bertindak sebagai editor (seperti di Mendadak Dangdut dan 9 Naga) dan produser (Coklat Stroberi, Love, Tarzan ke Kota). Mengambil tema empat bersaudara yang nekad merampok bank demi mengobati sang ayah yang sedang sakit keras, Pertaruhan mengedepankan aktor-aktor muda yang punya fanbase cukup besar. Mulai Adipati Dolken, Aliando Syarief, serta pendatang baru Jefri Nichols, Giulio Parengkuan, dan Widika Sidmore. Tentu ada tujuan komersial dari pemilihan aktor-aktor ini.

Musa adalah seorang bapak yang harus membesarkan keempat putranya sendirian setelah sang istri lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa. Berprofesi sebagai sekuriti di sebuah bank, beliau mengedepankan harga diri dan dedikasi, termasuk kepada anak-anaknya; si sulung Ibra, Elzan, Amar, dan si bungsu, Ical yang masih duduk di bangku SMP. Karena kesibukan sang ayah, mereka tumbuh menjadi sosok-sosok rebel. Ibra bekerja sebagai keamanan di sebuah klub malam, Elzan bekerja sebagai petugas cleaning service di karaoke, sementara Amar lebih sering bergaul dan berlagak bak preman di kampung. Ical yang masih SMP otomatis memandang kakak-kakaknya sebagai panutan yang keren dan hebat. Musa makin dibikin khawatir jika Ical ikut terpengaruh ketiga kakaknya. Ia berharap Ical menjadi satu-satunya harapan menjadi sarjana di dalam keluarga. Konflik memuncak ketika Musa dipecat dari pekerjaannya karena digantikan tenaga-tenaga yang lebih muda dan penyakit paru-parunya mulai terasa. Ibra yang selama ini merasa tak berguna memutar otak untuk mencari cara mendapatkan uang untuk pengobatan sang ayah dengan dibantu Elzan, Amar, dan kekasih Ibra yang berprofesi sebagai petinju underground, Jamila. Ketika merasa sudah menemui jalan buntu dan situasi serba tak mendukung, Ibra memutuskan untuk merampok bank tempat sang ayah bekerja dulu. Selain demi uang, juga sebagai bentuk balas dendam terhadap perlakuan mereka terhadap sang ayah. Namun sebagai pemuda yang tak berpengalaman, perampokan berakhir tragedi yang mengubah keadaan keluarga Musa.
Meski premise-nya (lagi-lagi) tak benar-benar orisinil (sedikit banyak mengingatkan saya akan Four Brothers – 2005), sebenarnya tema yang diusung Pertaruhan termasuk menarik. Film pun dibuka dengan perkenalan karakter berenergi a la rock n’ roll seperti halnya film-film khas Upi. Seiring dengan alur, terasa pula tema parenting yang cukup thought-provoking, terutama di keluarga Timur, khususnya Indonesia, yang dari luar menjunjung tinggi nilai-nilai tertentu tapi gagal memberikan teladan yang nyata. Padahal teladan langsung adalah bentuk pendidikan yang efektif.
Sayangnya ketika cerita berkembang lebih jauh, naskah semakin kehilangan logika. Mari abaikan logika setting dengan asumsi ‘alternate Indonesia’ yang bercampur aduk antara masa kini dan masa lalu (uang kertasnya saja sudah jelas-jelas dibuat sama sekali berbeda dengan yang pernah beredar di Indonesia), mengingat kecenderungan visual style Upi selama ini. Abaikan juga logika gaya berbusana karakter-karakter utama yang tak sejalan dengan kondisi perekonomian yang digambarkan. Namun saya tak bisa mengabaikan begitu saja logika cara perampokan yang dilakukan Ibra dan adik-adiknya. Sangat menggelikan jika tidak mau dikatakan terlalu bodoh. Perampokan dibuat sebegitu mudahnya dengan sistem keamanan yang seolah tak punya fungsi sama sekali. Kemudian saling menyebut nama asli di depan para saksi mata yang begitu banyak? Lalu berlelet-lelet drama ria terlebih dulu, tanpa mempertimbangkan kemungkinan polisi akan segera datang? Oh, kenyataannya polisi memang juga lelet dalam bertindak sehingga pelaku masih sempat melakukan banyak hal. Dan puncaknya, bagaimana Anda bisa bertahan hidup seharian dan sempat melakukan banyak hal dengan luka tembak menganga, tanpa penanganan sementara sedikit pun? Well, speaking of sluggishness, style penyutradaraan Krishto sudah berubah drastis menjadi super-sluggish pasca perkenalan yang rock n’ roll. Entah mungkin ingin menghadirkan nuansa melankoli nan depresif, tapi seharusnya masih bisa tanpa se-sluggish itu. Apalagi cukup banyak perpindahan adegan yang terasa terpisah dalam segmen-segmen. Sempat sedikit terangkat menjadi action thriller yang cukup gripping, tapi tak lama kemudian kembali sluggish seiring dengan drama penyelesaian dan konklusinya, yang akhirnya semakin menciderai logika pada puncaknya. ‘Pesan moral’ yang terlalu kentara pada konklusi memperjelas segmen utama mana yang ingin dituju. Well, I didn’t mind with that, tapi saya yakin bahkan penonton dari segmen utamanya saja memahami bahwa ada banyak logika yang menggelikan di sini.
Untungnya Pertaruhan didukung oleh aktor-aktor yang masih layak diapresiasi. Terutama sekali Tyo Pakusadewo sebagai sang ayah, Musa. Masih pada koridor tipikal peran yang ia bawakan, tapi seperti biasa pula, ia memberikan penampilan yang maksimal. Dilema dan kontemplasi yang ditunjukkan lewat karakternya terlihat dengan jelas tanpa disampaikan secara terang-terangan. Bahkan temanya menjadi thoughtful bagi saya karena penampilan gemilangnya. Adipati Dolken terasa pas memerankan si sulung Ibra, seiring dengan upayanya meninggalkan peran-peran tipikal. Meski tak sampai secara mendalam menunjukkan beban-beban yang dipikul, setidaknya ia masih terlihat cukup layak menghidupkan karakternya pada permukaan terluar. Jefri Nichol masih belum diberi porsi yang cukup untuk menunjukkan bakat akting yang sebenarnya, tapi kharismanya sudah mulai terlihat (let’s see his next performance as a leading role in Dear Nathan). Aliando Syarief tampil semakin luwes dalam berakting dan terasa pas pula mengisi peran Amar yang slengean tapi terlihat punya hati yang baik. Sementara surprise justru datang dari pendatang baru, Giulio Parengkuan, yang mampu menghidupkan perannya yang cukup kompleks dengan keseimbangan yang tergolong pas untuk ukuran breakthrough performance. Widika Sidmore sebagai Jamila pun tampak menarik, punya keunikan kharisma tersendiri. Semoga saja karirnya bisa terus berkembang dengan bekal breakthrough performance yang mencuri perhatian di sini. Di lini pendukung berikutnya, Tarsan, Silvia Anggraeni, Ence Bagus, Ronny P. Tjandra, dan Fauzi Baadila tampil cukup noticeable.
Dengan Upi sebagai konsultan kreatif, visual menjadi salah satu alasan kuat untuk menonton Pertaruhan. Seperti biasa, artistik Antonius Boedi S. mampu menyulap kekumuhan dan kesederhanaan menjadi lebih cantik. Lihat saja bar, bilyard, dan ring tinju kelas bawah yang terlihat lebih artistik berkat permainan cahaya dan color tone. Tata kostum Andhika Dharmapermana mungkin terasa kurang logis dengan kondisi perekonomian karakter-karakternya, tapi sekali lagi, atas nama artistik, masih bisa saya abaikan. Tak ada yang benar-benar istimewa dari sinematografi Muhammad Firdaus selain aerial shot perpisahan karakter Musa dan Ical yang berulang untuk menyampaikan laju cerita di balik rutinitas. Sisanya, sekedar mampu bercerita secara cukup efektif dan keselarasan pergerakan kamera untuk adegan pertandingan tinju sehingga terkesan seru. Editing Sahadati Adjie SP tak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki pace yang lebih karena pergerakan para aktornya. Namun setidaknya ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga laju cerita. Scoring music dari Tony Dwi Setiaji, Bemby Gusti, dan Aghi Narottama sekali ini tak begitu istimewa. Tak ada yang benar-benar melekat pada memori. Sekedar mengiringi adegan sesuai dengan kebutuhan emosi tapi tak sampai terlalu mendalam. In matter of fact, lebih banyak silent moment, entah sudah menjadi konsep dari sutradara atau faktor lain. Sound mixing pun tak memberikan detail lebih selain pada permukaan terluar saja.
Dengan premise yang menarik dan tema yang cukup thought-provoking, sangat sayang sebenarnya Pertaruhan tak memaksimalkan potensi-potensinya. Terutama sekali soal logika yang kelewat menggelikan dan sluggish, ditambah treatment yang lebih sering terlalu lambat ketimbang energi rock n’ roll. Nevertheless, penampilan para aktor, termasuk pendatang-pendatang baru, masih menarik untuk disimak, dan masih punya beberapa momen emosional. Begitu juga visual style khas Upi yang jarang terlihat di sinema kita (kendati sebenarnya tak banyak berubah dari film ke film). Semoga saja nama-nama populer di lini terdepan memang mampu menarik fanbase masing-masing. Pun juga penampilan pendatang-pendatang baru di sini bisa menjadi batu loncatan yang efektif bagi karir masing-masing ke depannya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.