Anak terlantar, human trafficking, dan adopsi adalah kasus
yang akrab ditemui terutama di negara dunia ketiga. Speaking of these kinds of
cases, nalar kita seringkali dibawa pada what’s the worst that could’ve
happened to them, the victims. Sangat jarang kita dibuat berandai-andai,
bagaimana jika adopsi justru membuat perubahan positif bagi seorang anak. Well,
di dunia yang sangat kejam ini tentu masih bisa kita temukan kebaikan-kebaikan
yang membuat kemanusiaan kita sebenarnya masih punya harapan. Saroo, pemuda
asal India yang diadopsi keluarga Australia membuktikannya lewat sebuah memoir
nyata berjudul A Long Way Home yang
dipublikasikan pertama kali tahun 2013. Memoir yang menceritakan perjalanannya
menemukan ibu kandung dan keluarga aslinya setelah terpisah tanpa kabar selama
25 tahun ini diangkat ke layar lebar dengan naskah adaptasi yang dikerjakan
oleh Luke Davies (Life – 2015, salah
satu versi biopic James Dean) dan disutradarai Gareth Davis dimana ini menandai
debutnya di layar lebar setelah selama ini dikenal sebagai sutradara serial TV
dan iklan komersial di negaranya, Australia. Jajaran cast-nya tergolong
ambisius dengan menggandeng Dev Patel (Slumdog
Millionaires), Nicole Kidman, Rooney Mara, David Wenham, dan bahkan aktor
Bollywood, Nawazuddin Siddiqui (The
Lunchbox, Gangs of Wasseypur, Raees). Upayanya tak sia-sia karena
terbukti berjaya di berbagai ajang penghargaan bergengsi internasional.
Puncaknya, 6 nominasi Oscar 2017, termasuk untuk kategori Best Motion Picture
of the Year.
Dibesarkan oleh seorang ibu tunggal yang bekerja sebagai kuli
batu, Saroo yang masih berusia lima tahun kerap ikut sang kakak, Guddu, untuk
mencari uang dengan caranya sendiri. Suatu ketika Saroo bersikeras ikut Guddu
bekerja di tempat yang lebih jauh dari biasanya. Naasnya, Saroo tertinggal di
dalam gerbong kereta api dan membawanya ke Calcutta. Di tengah kebingungan
karena ia sendiri tidak tahu nama kota asalnya dan siapa nama lengkap sang ibu,
petualangan Saroo pun dimulai dari satu tempat ke tempat lain. Sempat ditolong
oleh seorang wanita bernama Noor yang ternyata berniat menjualnya. Lagi-lagi
Saroo kabur dan berhasil diamankan oleh pihak kepolisian. Berita tentang sosok
Saroo pun tersebar ke seluruh penjuru negeri tapi tak ada satu pun yang
merespon, kecuali pasangan asal Australia yang berminat untuk mengadopsinya.
Tak punya pilihan, Saroo pun menyetujui. Setelah menjalani pelatihan agar
memahami tata krama ala Barat, Saroo pun berangkat ke Tasmania, Australia untuk
bertemu orang tua angkatnya, John dan Sue. Keduanya merawat dan mendidik Saroo
bersama anak adopsi asal India kedua, Mantosh dengan penuh kasih sayang bak
anak sendiri. Sayang resepsi Mantosh berbeda. Itulah yang membuat Saroo tak
akrab dengan Mantosh.
Dua puluh tahun kemudian, Saroo mengambil program studi
manajemen hotel dan bertemu mahasiswa-mahasiswi berdarah India yang
mengingatkannya akan jati diri sebelum diadopsi oleh John-Sue. Dengan dukungan
sang kekasih, Lucy, sahabat-sahabat berdarah India lainnya, dan bantuan Google
Earth, Saroo mengumpulkan kepingan demi kepingan memori yang tersisa tentang
kampung halamannya dan memprediksi nama kota asal yang sebenarnya. Saroo
merahasiakan upayanya ini dari orang tua angkatnya karena takut akan membuat
mereka sedih dan kecewa. Dugaan Saroo salah. Ternyata ada alasan yang berbeda
dari asumsi dirinya sendiri mengapa mereka memilih mengadopsi dirinya.
Ada alasan mengapa judul versi film dipilih adalah Lion, bukannya judul asli versi buku. Ia
sadar betul bahwa fokus yang ingin dititik beratkan di sini bukanlah semata-mata
perjalanan Saroo menemukan keluarga kandungnya, seperti yang terepresentasi
lewat judul A Long Way Home. Ini
adalah penggalan kisah terpenting dari sosok Saroo. Lebih dari sekedar
perjalanan mencari asal, Lion justru
merupakan perjalanan menemukan jati diri secara utuh. Istilah Lion yang dipilih untuk
merepresentasikan berbagai ‘salah duga’ yang terjadi selama perjalanan
pencarian jati diri tersebut. Salah duga atas alasan keluarga John-Sue memilih
untuk mengadopsi anak-anak dari India. Salah duga atas persepsi umum tentang
adopsi dan keluarga tiri. Ada beberapa persepsi umum yang ingin
diputar-balikkan sesuai kenyataan berkaitan dengan isu adopsi. Lion memaparkan bukti nyata yang
mengubah konsepsi umum yang cenderung ke arah negatif dengan hati yang begitu
besar.
Sebenarnya treatment storytelling dan visual yang digunakan
Gareth Davis tak ada yang benar-benar istimewa. Kesemuanya ia sampaikan lewat
penuturan narasi sesuai kronologis dengan cukup selektif memilih momen-momen
terpenting untuk merepresentasikan tiap elemen dalam karakter Saroo sehingga
plot berjalan dengan mulus tanpa kesan strecthed. Paruh pertama ia manfaatkan
untuk character investment yang cukup mendalam lewat karakter Saroo cilik.
Sebuah ‘petualangan’ yang dengan mudah membuat penonton was-was, iba,
tersentuh, sekaligus kagum. Paruh berikutnya ketika Saroo sudah menjalani hidup
bersama orang tua angkatnya di Australia, dengan lembut dilema-dilema yang
muncul secara natural dalam kasus adopsi dimasukkan. Satu per satu prasangka mulai
mendapatkan rekonsiliasinya dengan kadar emosi yang pas. Tidak terlalu
berlebihan, tapi tetap mampu dirasakan dengan mendalam oleh penonton, sekaligus
thought-provoking. Proses pencarian pun disampaikan dengan dinamis tanpa detail
yang bertele-tele, menyadari penonton modern pada umumnya sudah paham bagaimana
menggunakan teknologi untuk melakukan pencarian. Mencari tanpa nama kota yang
pasti adalah sebuah tantangan yang membuatnya menarik. Ia pun menampilkan garis
besar-garis besar cara pencarian yang rasional saja, sisanya penonton dibiarkan
menyimpulkan sendiri. Pilihan visual yang duration-wise tapi efektif.
Bagian terbaik dari Lion
terletak pada konklusi yang berhasil menyentuh emosi saya yang terdalam.
Bahagia sekaligus heart-broken. I don’t know how it managed to do it, mengingat
treatment dan visualisasinya biasa-biasa saja. Tak ada dramatisasi yang
berlebih. Mungkin character investment yang berhasil dilakukan secara tak
disadari oleh saya. Saya rasa benar. Lion
diam-diam telah melakukan proses dengan impact yang luar biasa melalui
treatment yang biasa-biasa saja.
Lion merupakan film
yang salah satu kekuatan terbesarnya bertumpu pada penampilan para aktor.
Beruntung ia punya jajaran cast yang berkelas. Dev Patel sebagai Saroo dewasa
memberikan performa emosi yang mendalam tanpa dramatisasi berlebihan.
Dilema-dilema yang dipanggulnya terlihat dan terasa begitu jelas lewat ekspresi
wajah dan gesture. Pada klimaks ia pun menunjukkan performa puncaknya untuk
menarik simpati penonton. Lagi-lagi dengan kadar emosi yang pas, tanpa
dramatisasi berlebihan. Nicole Kidman sebagai Sue pun menunjukkan kualitas
akting dengan kedalaman emosi setara Patel. Karakter Lucy yang dipercayakan
kepada Rooney Mara sebenarnya tak punya porsi kepentingan yang begitu penting bagi
plot utama, tapi ia berhasil mencuri perhatian lewat kharisma dan pesona aura
tersendiri yang terpancar di antara jajaran cast. Karakter John Brierley yang
dibawakan oleh David Wenham dan Mantosh
yang dibawakan oleh Divian Ladwa tak diberi porsi yang cukup berarti untuk
mampu menarik perhatian penonton. Above all, favorit saya di antara semua cast
adalah Sunny Pawar sebagagi Saroo cilik yang dengan kepolosannya mampu
menerjemahkan berbagai emosi yang cukup mendalam.
Seperti yang sempat saya sampaikan sebelumnya, tak ada
treatment yang istimewa dari Lion.
Semua ditangani dengan biasa-biasa saja dan tergolong sekedar ‘aman’ sesuai
kebutuhan plot. Seperti pada sinematografi Greig Fraser yang tak saya temukan
angle-angle maupun camerawork yang memorable. Semuanya sekedar mampu
menyampaikan plot cerita dengan jelas dan mentransfer emosi cast kepada
penonton dengan efektif. Begitu juga editing Alexandre de Franceschi yang
sekedar membuat plotnya mengalir dengan pace yang tergolong tepat dan pas.
Music score Hauschka dan Dustin O’ Halloran tergolong sangat sederhana dan
minimalis dalam mengiringi momen-momen emosional, bahkan lebih banyak silent
moment tanpa iringan musik apapun. Theme song Never Give Up yang ditulis dan dibawakan oleh Sia di credit title
mampu memberikan impact after-taste yang uplifting.
Sebagai sebuah drama bertemakan adopsi dan menemukan keluarga
asli yang hilang kontak selama puluhan tahun, Lion mungkin memang tak menawarkan sesuatu yang baru, bahkan lewat
treatment yang minim inovasi jika tak mau disebut biasa saja. Namun ia
menyodorkan emosi-emosi yang timbul dari isu terkait, yang mungkin berbeda dari
konsepsi umum selama ini. Bagi saya ini adalah pilihan storytelling yang menarik
dan terbukti berhasil memberikan impact lebih ketika sampai pada bagian
konklusi. Membuat saya merasa bahagia sekaligus heart-broken. Maka tak heran
jika Lion mampu mengaum lantang di
berbagai ajang penghargaan bergengsi dunia, tak terkecuali Oscar.
Lihat data film ini di IMDb.The 89th Academy Awards Nominees for:
- Best Motion Picture of the Year
- Best Performance by an Actor in a Supporting Role – Dev Patel
- Best Performance by an Actress in a Supporting Role – Nicole Kidman
- Best Writing, Adapted Screenplay – Luke Davies
- Best Achievement in Cinematography – Greg Fraser
- Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score – Dustin O’Halloran & Volker Bertlemann