2/5
Based on Book
Culinary
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Chocolate Chance
Menggabungkan tema kuliner dengan drama romantis mungkin bukan
barang baru, tapi tergolong jarang. Itulah sebabnya perpaduan keduanya yang
dipersatukan lewat sebuah filosofis menarik selalu menarik untuk disimak. Jika
Hollywood (produksi bersama Perancis) punya Chocolat
(2000), Indonesia mecatat Brownies
(2004), Cintapuccino (2007), Saus Kacang (2008), dan Filosofi Kopi (2015). Awal 2017 ini
DariHati Films yang tahun 2015 lalu memproduksi Catatan Akhir Kuliah (CAK) mencoba menghadirkan tema serupa yang
diangkat dari novel roman remaja berjudul sama karya Yoana Dianika (2013), The Chocolate Chance (TCC). Jay Sukmo
yang pernah dipercaya menggarap CAK kembali duduk di bangku sutradara,
sementara naskah adaptasinya disusun oleh Johansyah Jumberan yang sekaligus menjabat
sebagai produser, seperti layaknya di CAK. Bintang muda yang sedang sering
muncul di layar lebar, Pamela Bowie dipasang di lini terdepan bersama degnan
Ricky Harun (yang juga sedang high demand. Baru saja muncul di Demi Cinta pekan sebelumnya, pekan ini
ada dua filmnya sekaligus yang dirilis bersamaan. Satunya adalah From London to Bali), Miqdad Addausy
(Lupus di Bangun Lagi Dong Lupus -
2013), Sheila Dara Aisha yang pernah dipasangkan dengan Deva Mahenra di Sabtu bersama Bapak, didukung Ferry Salim,
Karina Suwandi, Donna Harun, Joshua Pandelaki, Ronny P. Tjandra, Roweina Umboh,
Muhadkly Acho, dan Abdur Arsyad.
Film dibuka dengan suasana kafe cokelat bernama Fedde Velten
Café dengan salah satu staf pembuat minuman cokelat bernama Orvala Theobroma. Suatu
hari kafe didatangi oleh sosok pemuda yang membongkar kenangan-kenangan Orvala.
Ia ternyata adalah Juno Aswanda, teman semasa SMA Orvala yang dulu sempat
hampir jadian dengannya. Sayang saat itu
Juno harus lebih dulu berangkat kuliah ke luar negeri tanpa sempat saling
mengutarakan perasaan masing-masing. Kini Orvala sudah menjalin hubungan serius
dengan pria bernama Aruna Handrian. Bahkan Aruna lah yang membantu Orvala
membuka kafe impiannya itu. Kedatangan Juno kembali membuat Orvala bimbang
siapa sosok yang layak mendapatkan tempat di hatinya.
Dari permukaan terluar, TCC memang terdengar just another
triangle teenage romance. Namun sebenarnya sama sekali tak jadi masalah selama
ia punya pembangunan plot yang tersusun baik, logis, dan yang tak kalah penting,
disertai elemen-elemen yang bisa jadi daya tarik tersendiri. Gimmick cokelat
bisa jadi salah satu elemen yang dipakai sebagai daya tarik. Sayangnya TCC
melewatkan potensi ini sehingga pada akhirnya elemen ‘cokelat’ terkesan hanya
menjadi tempelan semata. Ada sih filosofi cokelat yang sempat disampaikan lewat
dialog, tapi lebih terkesan asal sekedar ada, tanpa punya korelasi yang cukup
kuat dengan plot utama.
Parahnya lagi, laju plot TCC pun terasa begitu melelahkan.
Satu jam pertama dihabiskan khusus untuk flashback lima tahun lalu dengan
detail yang tak perlu (saya meminjam istilah majas pleonasme, yang berarti
penggunaan kata yang tak perlu untuk memperjelas makna yang sebenarnya sudah
jelas) saya rasa tak punya urgensi apa-apa. Struktur cerita seperti ini
mengingatkan saya akan film-film roman Hindi yang berniat memperkuat chemistry
pasangan dalam benak penonton sebelum masuk ke konflik utama di paruh kedua.
Bedanya, TCC hanya berdurasi 98 menit. Jadi porsi yang digunakan untuk
membangun chemistry keduanya ke dalam benak penonton jelas terlalu lama dan
bertele-tele. Apalagi ternyata pondasi yang dibangunnya ternyata sekedar
menjelaskan kronologis hubungan antara Juno dan Orvala, bukan menanamkan
pertalian emosi dengan penonton. Ketika masuk ke konflik utama, laju plot TCC
beralih menjadi terlalu tergesa-gesa. Lengkap dengan kelokan-kelokan tak
penting yang sekedar mempermulus jalan kedua karakter utama menuju tujuan akhir
cerita. Secara keseluruhan porsi serta laju plot TCC terasa jauh dari kesan seimbang.
Bagi saya, ketidak-seimbangan ini jadi punya pengaruh pada kenyamanan mengikuti
laju ceritanya. In short, melelahkan.
Pamela Bowie sebenarnya adalah salah satu aktris muda yang
punya cukup potensi dan kharisma. Sayang selama ini ia masih terjebak pada
peran-peran tipikal yang kurang menantang bakat aktingnya. Peran Orvala yang
dibawakan masih mengingatkan saya akan peran yang dilakoninya sebagai Laura di Melbourne Rewind, apalagi dengan rentang
waktun antar film yang tak terlalu lama. Tak buruk, tapi juga tak ada yang
istimewa. Ada upaya-upaya mengasah akting, terutama di momen-momen emosional
yang lebih terlihat natural, tapi ia butuh tingkat kesulitan lebih untuk ‘naik
kelas’. Penampilan Ricky Harun di genre drama setelah selama ini lebih lekat dengan
image komedi pun tak buruk, tapi tak juga istimewa. Malah jujur, saya lebih
bisa menemukan daya tarik seorang Ricky Harun dari peran-peran komedik (dengan
gimmick guyonan yang tepat, tentu saja) ketimbang peran drama yang terasa
terlampau biasa saja. Sementara aktor-aktris pendukung lain, mulai Miqdad
Addausy, Sheila Dara Aisha, Ferry Salim, Karina Suwandi, Donna Harun, Joshua
Pandelaki, Ronny P. Tjandra, Roweina Umboh, Muhadkly Acho. Abdur Arsyad, hingga
Aditya Suryo Saputro dan Rahmet Ababil, lebih terasa sebagai penyemarak semata,
tanpa porsi lebih untuk mencuri perhatian penonton.
Teknis TCC tergarap cukup rapi kendati (lagi-lagi) taka da
yang benar-benar istimewa. Sinematografi Martua Raymond GT masih bisa
menghindarkan film dari kesan ‘terlalu FTV’ dengan pergerakan kamera yang
smooth dan cukup eksploratif. Editing Ryan Purwoko mungkin bukan faktor
penyebab bertele-telenya laju maupun keseimbangan plot TCC, tapi upayanya untuk
sekedar membuat cerita berjalan lancar dan nyaman diikuti masih belum cukup
berhasil. Musik dari Andhika Triyadi masih ‘bermain aman’ di genrenya. Tak
sampai terlalu sinetron maupun FTV, tapi juga masih belum cukup sinematis.
Dengan potensi-potensi yang ada, sangat disayangkan sebenarnya
atas pilihan fokus cerita yang mengakibatkannya tak seimbang dan
kelokan-kelokan tanpa tujuan jelas selain sekedar memuluskan jalan menuju
final. Alhasil, TCC harus menjadi just another teenage romance, tanpa makna
maupun filosofis lebih, tanpa ada kesan tersendiri pula. Dibandingkan CAK, TCC seperti sebuah kemunduran bagi DariHati Films dalam hal penceritaan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.