Di tengah gempuran franchise, sekuel,
prekuel, spin-off, dan adaptasi buku komik, John
Wick (JW – 2014) menawarkan sebuah sosok ‘jagoan’ orisinil yang sebenarnya
tergolong formulaic. Seorang assassin yang berniat menuntut balas setelah ada
sesama assassin yang menghabisi anjing peninggalan almarhumah sang istri dan
mencuri mobil antik-nya. Terdengar konyol memang, tapi siapa sangka premise
dasar ini ternyata terinspirasi dari kisah nyata seorang pria mantan Navy SEAL,
Marcus Luttrell yang mengejar pembunuh anjing kesayangannya sepanjang empat
county dengan sebuah truk. Tak ada yang menyangka pula proyek berbudget US$ 20
juta ini berhasil menarik perhatian penggemar action-thriller dengan sub-genre
gun-fu (istilah plesetan untuk aksi bela diri menggunakan senjata api)
sekaligus arthouse enthusiast berkat simbolisme-simbolisme, bangunan universe,
dan style neo-noir-nya. Tak pelak penulis naskah Derek Kolstad dan sutradara
Chad Stahelski (yang sebelumnya berlatar belakang stunt double, termasuk di
film Keanu Reeves yang legendaris, The
Matrix) kemudian mengembangkan kemungkinan menjadi sebuah franchise baru.
Tak tanggung-tanggung, petualangan John Wick dibangun untuk sebuah trilogy.
Bahkan sebelum John Wick: Chapter 2
(JWC2) rilis tahun 2017, Chapter 3 sudah langsung dipersiapkan.
Melanjutkan langsung dari ending installment
pertama, John Wick menuntaskan dendamnya kepada pelaku pencurian mobil
Mustangnya sekaligus pembunuhan Daisy, anjing peninggalan sang istri. Baru saja
pulang dan mengubur senjata-senjatanya, ia kedatangan tamu tak diundang; bos
mafia bernama Santino D’Antonio. Ia menugaskan John untuk menghabisi adik
kandungnya, Gianna, yang diangkat menjadi ketua dewan bos-bos mafia tingkat
tinggi berjuluk ‘High Table’. Meski sudah pensiun, John mau tak mau harus
menjalankan misi tersebut karena kesepakatan masa lalu yang pernah dibuatnya
dengan D’Antonio. Ketika misi berhasil diselesaikan, ternyata John Wick masih
harus berhadapan dengan semua anggota mafia di New York karena sesuai kode
etik, D’Antonio mengeluarkan sayembara berhadiah US$ 7 juta bagi siapa saja
yang berhasil membunuhnya.
Plot yang ditawarkan di installment kedua ini
mungkin terdengar biasa saja. Namun jika pernah terpukau oleh treatment aksi
installment pertama, tentu Anda bisa membayangkan bakal seperti apa
keseruannya. Benar saja, JWC 2 menawarkan aksi dinamis dan brutal secara nyaris
non-stop. Chad Stahelski lagi-lagi memamerkan kepiawaiannya dalam menggarap
koreografi gun-fu dan bela diri menggunakan senjata tajam lainnya di nyaris
sepanjang film. Malahan bisa dibilang kadarnya berlipat-lipat dibandingkan di
installment pertama. Dengan highlight headshot dan tabrakan bertubi-tubi, JWC2
bisa dibilang the ultimate definition of ‘headshot’ dan ‘die hard’.
Namun sama seperti installment pertama, JWC2
was deeper than it looked from the surface. Ia memang tidak mengutamakan
jalinan plot yang boleh dibilang formulaic di genrenya sebagai daya tarik
utama. Namun adalah bangunan universe yang makin ditunjukkan dengan jelas dan
solid di sini. Jika di installment pertama kita hanya ditunjukkan mata uang
khusus dan hotel khusus kaum kriminal bawah tanah, maka di sini ada lebih
banyak lagi keunikan-keunikan universe yang dijadikan latar. Tak hanya
ekspansi, tapi juga bangunan universe yang masih punya koneksi kuat dengan yang
ditunjukkan di installment pertama. Contoh yang terpenting adalah adanya
hierarki kepemimpinan dunia kriminal bawah tanah yang dijuluki ‘High Table’ dan
kode-kode etik yang membuat plot di JWC2 ini menjadi begitu thoughtful.
Bagaimana sebuah pilihan aksi memicu konsekuensi tak terduga secara beruntun.
Dengan demikian jalinan plot yang ditawarkan JWC2 (dan juga sudah cukup jelas
terlihat untuk installment ketiga sekaligus konklusi) terkesan tak asal ada,
tapi merupakan bagian dari grand design universe yang kokoh.
Keanu Reeves mungkin salah satu aktor dengan
ekspresi paling dingin. Ada yang menyebutnya selalu tampil kaku dalam
berakting. Namun jika karakter demikian menjadi ciri khas dengan kekuatan
misterius sekaligus mengintimidasi, kenapa tidak dimanfaatkan? Karakter John
Wick bisa menjadi begitu iconic berkat personifikasi dari Keanu Reeves sendiri.
Di sini pun ia mampu menjaga konsistensi dari film pertama, pun juga
menunjukkan kekhawatiran yang terasa begitu jelas dan mengundang simpati tanpa
harus ditampilkan secara eksplisit. Kharisma villanous Riccardo Scamarcio
sebagai Santino D’Antonio dan Ian McShane sebagai Winston tak kalah kuatnya
mengimbangi sosok John Wick. Ruby Rose yang menandai penampilan ketiga di tahun
2017 setelah berturut-turut di xXx:
Return of the Xander Cage dan Resident
Evil: The Final Chapter semakin menunjukkan bakatnya yang luar biasa di
genre aksi lewat karakter Ares. Di tangan Common, karakter Cassian menjadi tak
sekedar just another henchman. Ada kharisma lebih yang membuat karakternya
lebih berkesan. Penampilan kembali John Leguizamo sebagai Aurelio dan Lance
Reddick sebagai Charon menjadi penyambung yang masih noticeable kendati
porsinya tergolong sangat terbatas. Claudia Gerini sebagai Gianna pun meninggalkan
kesan yang cukup mendalam di balik penampilannya yang juga tergolong singkat.
Terakhir, tak boleh ketinggalan menyebutkan nama Laurence Fishburne yang
menandai reuni dengan Keanu setelah franchise The Matrix sebagai The Bowery King dan pemilihan legenda spaghetti
Western, Franco Nero sebagai sosok yang
sangat layak dan terhormat, Julius.
Simbol-simbol melalui warna lighting yang
ditampilkan di installment pertama pun masih dipertahankan di sini, bahkan
menjadi sebuah signature yang wajib ada. Begitu juga permainan camera work yang
ternyata merepresentasi kondisi karakter utama. I know it sounded overthink,
but wasn’t it interesting? Selebihnya, sinematografi Dan Laustsen membuktikan
bahwa sebuah film aksi tetap bisa terasa seru dan menegangkan dengan camera
work yang mulus dan tidak shaky seperti yang menjadi trend akhir-akhir ini.
Editing Evan Schiff pun membuat flow JWC2 begitu mulus tanpa mengorbankan efek
adrenaline rush yang tetap maksimal. Music score dari Tyler Bates dan Joel J.
Richard beserta pemilihan soundtrack JWC2 masih menyuntikkan energi lebih untuk
membuat adegan-adegan aksi beserta thriller-nya terasa lebih maksimal, meski
menurut saya tak se-signatural score dan soundtrack-soundtrack dari installment
pertama. Sound mixing menjadi salah satu kekuatan JWC2 sebagai film aksi.
Keseimbangan semua elemen suara begitu terjaga, sementara sound effect-nya
terdengar begitu bombastis tanpa terkesan terlalu berisik. Pembagian kanal
surround-pun tertata dengan sangat detail dan presisi meski hanya sampai 7.1,
tidak sampai Auro 11.1 atau Dolby Atmos seperti halnya installment pertama.
So yes, tak salah jika JW dianggap sebagai
franchise orisinil action baru terbaik. Tak banyak yang mampu menarik perhatian
penggila aksi blockbuster non-stop gila-gilaan sekaligus pengantusias film
artistik. JW seolah berhasil memukau kedua kubu tersebut dan JWC2 semakin
mengejahwantahkan diri sebagai salah satu sekuel terbaik sepanjang masa yang
berhasil melampaui installment sebelumnya dari berbagai segi. Kini tinggal
menunggu John Wick Chapter 3 yang
sebenarnya sudah cukup jelas terbaca dari ending JWC2 tapi justru membuat saya
semakin tak sabar, tata aksi dan detail-detail universe apa lagi yang akan
dihadirkannya. Tak ketinggalan, konklusi dari perjalanan sosok John Wick yang
layak menyandang gelar salah satu karakter assassin paling ikonik sepanjang
masa.
Lihat data film ini di IMDb.