2/5
Based on an Urban Legend
England
Europe
Horror
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Don't Knock Twice
Setelah dititipkan di asrama selama beberapa tahun, Chloe
tiba-tiba dijemput oleh sang ibu kandung, Jess. Chloe menolak karena menganggap
Jess selama ini tak peduli dan menelantarkannya. Namun ketika salah satu
sahabatnya, Danny, menghilang setelah iseng mengetuk pintu rumah Mary Aminov
dua kali, sesuai urban legend, Chloe memutuskan untuk tinggal sementara bersama
Jess. Sementara penyelidikan terhadap hilangnya Danny terus dilakukan oleh
Detektif Boardman yang mantan staf di asrama Chloe ketika masih kecil. Chloe
menyebutkan urban legend tentang sosok Mary Aminov yang dituduh seorang
penyihir dan menculik salah satu sahabat mereka, Michael dulu. Ia juga berpikir
bahwa dirinya adalah sasaran korban berikutnya setelah Danny. Boardman dan Jess
tak begitu saja percaya atas tuduhan Chloe sehingga menyebabkan hubungan Jess
dan Chloe kembali merenggang. Benar saja, teror Mary Aminov tak hanya kembali
menyerang Chloe, tapi juga Jess. Sambil terus berusaha berdamai dengan Chloe,
Jess turut menyelidiki siapa pelaku penculikan-penculikan ini dan siapa sosok
Mary Aminov sebenarnya.
Tema urban legend akhir-akhir ini memang sudah tergolong
jarang setelah sempat menjadi trend di genre horor sekitar era 90-awal 2000-an.
Beberapa waktu lalu sempat ada The Bye
Bye Man yang sempat mencoba kembal mengangkat tema ini dengan materi baru
yang digarap cukup baik meski masih bisa lebih seram dan mengerikan lagi.
Begitu juga Don’t Knock Twice (DKT)
yang diarahkan oleh sutradara Inggris, Caradog W. James (The Machine, Little White
Lies) dari naskah yang disusun Mark Huckerby dan Nick Ostler (dua-duanya
dikenal sebagai penulis naskah serial-serial animasi seperti Peter Rabbit dan Thomas & Friends). Tak ada yang benar-benar baru dari urban
legend yang mereka ciptakan. Sangat formulaic dan tentu dapat dengan mudah
ditebak arahnya oleh pecinta genre horor.
Kesempatan lainnya berada pada tema hubungan ibu-anak yang
mencoba saling berekonsiliasi. Meski juga bukan story-device yang baru sebagai
setup horor, tapi bisa tetap menarik jika digarap dengan koneksi yang rasional
dan solid. Sayangnya DKT bukan termasuk salah satunya. Tak ada upaya untuk
mengkoneksikan kedua elemen ini menjadi satu kesatuan yang solid. Keduanya
berjalan sendiri-sendiri tanpa ada satu kesatuan arah yang berhasil menyentuh pula.
Sebagai horor ringan yang sekedar menghibur pun DKT tak bisa dikatakan
berhasil. Ia masih mengandalkan jumpscare usang yang tak banyak menggerakan
plot cerita. Tanpa inovasi jumpscare yang menarik, tanpa skill directing yang
layak. In short, tak ada jumpscare maupun thrilling moment yang berhasil
membuat saya sekedar terpaku. Well, mungkin juga faktor character investment
yang jauh dari kesan layak untuk membuat saya peduli dengan apa yang terjadi
pada karakter-karakternya. In the end DKT bak punya modal premise yang cukup
potensial, tapi terasa sekali sejak dari naskah saja tidak tahu mau dibawa ke
arah mana dan tak tahu pula mau dibuat dengan treatment sepreti apa agar
setidaknya terkesan lebih menarik.
Lucy Boynton (masih ingat Raphina dari Sing Street?) sebagai Chloe dan Katee Sackhoff (Captain Kara dari
serial Battlestar Galactica dan Marie
Russell di Oculus) sebenarnya
terlihat berupaya menampilan performa yang baik, pun juga chemistry ibu dan
anak yang terasa convincing. Sayang naskah tak memberikan banyak kesempatan
untuk melakukan character investment lebih mendalam. Nick Moran sebagai
Detektif Boardman, Jordan Bolger sebagai Danny, dan bahkan Javiel Botet
(pemeran sosok-sosok hantu di film-film horor James Wan) sebagai Ben pun terasa
seperti potensi yang disia-siakan karena porsi yang tak memberikan sumbangsih
berarti pada cerita. Yang sedikit menarik bagi saya adalah Pooneh Hajimohammadi
sebagai Tira dan sosok Mary Aminov, Ania Marson.
Teknis DKT tak ada yang istimewa, bahkan sekedar dalam upaya
membangun atmosfer horor maupun menghadirkan thriller moment dengan timing
yang. Mulai sinematografi Adam Frisch, editing Matt Platts-Mills, hingga desain
produksi Richard Campling. Sedikit menarik mungkin ada pada music score James
Edward Barker dan Steve Moore yang menghadirkan sound-sound khas horor klasik
70-80an, kendati tak begitu punya pengaruh terhadap bangunan atmosfer film
secara keseluruhan.
Senang sebenarnya tema urban legend kembali dilirik di ranah
genre horor. Apalagi seteleh The Bye Bye
Man yang ternyata tampil menarik. Namun kehadiran DKT kembali memadamkan
antusiasme saya. Tak hanya biasa saja, ia mungkin lebih layak mendapatkan
predikat buruk. Ia bak manusia yang punya ide menarik, tapi tak tahu mau dibuat
ke arah mana dan tak tahu bagaimana merealisasikannya agar yang lain bisa
memahami letak daya tarik dari ide tersebut. Well, better try again next time!
I still crave for more urban legend-based horror with much more decent
treatment and development.
Lihat data film ini di IMDb.