The Jose Flash Review
Don't Knock Twice


Setelah dititipkan di asrama selama beberapa tahun, Chloe tiba-tiba dijemput oleh sang ibu kandung, Jess. Chloe menolak karena menganggap Jess selama ini tak peduli dan menelantarkannya. Namun ketika salah satu sahabatnya, Danny, menghilang setelah iseng mengetuk pintu rumah Mary Aminov dua kali, sesuai urban legend, Chloe memutuskan untuk tinggal sementara bersama Jess. Sementara penyelidikan terhadap hilangnya Danny terus dilakukan oleh Detektif Boardman yang mantan staf di asrama Chloe ketika masih kecil. Chloe menyebutkan urban legend tentang sosok Mary Aminov yang dituduh seorang penyihir dan menculik salah satu sahabat mereka, Michael dulu. Ia juga berpikir bahwa dirinya adalah sasaran korban berikutnya setelah Danny. Boardman dan Jess tak begitu saja percaya atas tuduhan Chloe sehingga menyebabkan hubungan Jess dan Chloe kembali merenggang. Benar saja, teror Mary Aminov tak hanya kembali menyerang Chloe, tapi juga Jess. Sambil terus berusaha berdamai dengan Chloe, Jess turut menyelidiki siapa pelaku penculikan-penculikan ini dan siapa sosok Mary Aminov sebenarnya.

Tema urban legend akhir-akhir ini memang sudah tergolong jarang setelah sempat menjadi trend di genre horor sekitar era 90-awal 2000-an. Beberapa waktu lalu sempat ada The Bye Bye Man yang sempat mencoba kembal mengangkat tema ini dengan materi baru yang digarap cukup baik meski masih bisa lebih seram dan mengerikan lagi. Begitu juga Don’t Knock Twice (DKT) yang diarahkan oleh sutradara Inggris, Caradog W. James (The Machine, Little White Lies) dari naskah yang disusun Mark Huckerby dan Nick Ostler (dua-duanya dikenal sebagai penulis naskah serial-serial animasi seperti Peter Rabbit dan Thomas & Friends). Tak ada yang benar-benar baru dari urban legend yang mereka ciptakan. Sangat formulaic dan tentu dapat dengan mudah ditebak arahnya oleh pecinta genre horor.
Kesempatan lainnya berada pada tema hubungan ibu-anak yang mencoba saling berekonsiliasi. Meski juga bukan story-device yang baru sebagai setup horor, tapi bisa tetap menarik jika digarap dengan koneksi yang rasional dan solid. Sayangnya DKT bukan termasuk salah satunya. Tak ada upaya untuk mengkoneksikan kedua elemen ini menjadi satu kesatuan yang solid. Keduanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada satu kesatuan arah yang berhasil menyentuh pula. Sebagai horor ringan yang sekedar menghibur pun DKT tak bisa dikatakan berhasil. Ia masih mengandalkan jumpscare usang yang tak banyak menggerakan plot cerita. Tanpa inovasi jumpscare yang menarik, tanpa skill directing yang layak. In short, tak ada jumpscare maupun thrilling moment yang berhasil membuat saya sekedar terpaku. Well, mungkin juga faktor character investment yang jauh dari kesan layak untuk membuat saya peduli dengan apa yang terjadi pada karakter-karakternya. In the end DKT bak punya modal premise yang cukup potensial, tapi terasa sekali sejak dari naskah saja tidak tahu mau dibawa ke arah mana dan tak tahu pula mau dibuat dengan treatment sepreti apa agar setidaknya terkesan lebih menarik.
Lucy Boynton (masih ingat Raphina dari Sing Street?) sebagai Chloe dan Katee Sackhoff (Captain Kara dari serial Battlestar Galactica dan Marie Russell di Oculus) sebenarnya terlihat berupaya menampilan performa yang baik, pun juga chemistry ibu dan anak yang terasa convincing. Sayang naskah tak memberikan banyak kesempatan untuk melakukan character investment lebih mendalam. Nick Moran sebagai Detektif Boardman, Jordan Bolger sebagai Danny, dan bahkan Javiel Botet (pemeran sosok-sosok hantu di film-film horor James Wan) sebagai Ben pun terasa seperti potensi yang disia-siakan karena porsi yang tak memberikan sumbangsih berarti pada cerita. Yang sedikit menarik bagi saya adalah Pooneh Hajimohammadi sebagai Tira dan sosok Mary Aminov, Ania Marson.
Teknis DKT tak ada yang istimewa, bahkan sekedar dalam upaya membangun atmosfer horor maupun menghadirkan thriller moment dengan timing yang. Mulai sinematografi Adam Frisch, editing Matt Platts-Mills, hingga desain produksi Richard Campling. Sedikit menarik mungkin ada pada music score James Edward Barker dan Steve Moore yang menghadirkan sound-sound khas horor klasik 70-80an, kendati tak begitu punya pengaruh terhadap bangunan atmosfer film secara keseluruhan.
Senang sebenarnya tema urban legend kembali dilirik di ranah genre horor. Apalagi seteleh The Bye Bye Man yang ternyata tampil menarik. Namun kehadiran DKT kembali memadamkan antusiasme saya. Tak hanya biasa saja, ia mungkin lebih layak mendapatkan predikat buruk. Ia bak manusia yang punya ide menarik, tapi tak tahu mau dibuat ke arah mana dan tak tahu bagaimana merealisasikannya agar yang lain bisa memahami letak daya tarik dari ide tersebut. Well, better try again next time! I still crave for more urban legend-based horror with much more decent treatment and development.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.