4/5
Adventure
animal
Based on Book
Comedy
dog
Drama
Family
Friendship
Hollywood
Kid
pet
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
A Dog's Purpose
Dari antara hewan-hewan peliharaan, bisa jadi anjing adalah
yang paling sering diangkat menjadi plot utama sebuah film. Ada banyak alasan
sih. Selain salah satu binatang peliharaan paling populer yang paling banyak
diadopsi manusia, yang artinya punya kedekatan emosional secara kumulatif
paling tinggi, anjing juga punya karakteristik yang menarik untuk diangkat ke
dalam cerita untuk disampaikan. Seiring dengan waktu dan bergesernya trend,
film bertemakan anjing yang benar-benar digarap serius sebagai sajian layar
lebar sudah semakin jarang ada. Eksplorasi dan perkembangan yang tergolong
stuck di ranah itu-itu saja membuatnya lebih banyak bergeser untuk produksi
film TV atau serial (atau animasi). Jika di era saya sempat populer franchise Air Bud, terakhir mungkin hanya Hachiko:
A Dog’s Story (HADS – 2009), remake dari film Jepang Hachi-ko (1987), yang bisa dengan mudah diingat oleh penonton.
Melihat peluang tersebut, DreamWorks membeli hak atas novel A Dog’s
Purpose (ADP - 2010) karya penulis humor Amerika Serikat, W. Bruce Cameron,
yang menjadi New York Times bestseller selama 49 minggu dan menuai pujian di
mana-mana. Amblin Entertainment kemudian mulai memproduksinya bersama Walden
Media, Reliance Entertainment, Original Pictures, dan Pariah Entertainment
Group. Cameron diajak untuk mengadaptasi naskahnya bersama dengan Cathryn
Michon, Audrey Wells (The Truth About
Cats & Dogs, George of the Jungle,
The Kid, Under the Tuscan Sun, Shall
We Dance), Maya Forbes (Monsters vs
Aliens dan Diary of a Wimpy Kid: Dog
Days), dan Wally Wolodarsky. Sementara Lasse Hallström yang pernah sukses
menggarap HADS dan tiga kali meraih nominasi Oscar, yaitu untuk Mitt liv som hund dan The Cider House Rules, dipercaya untuk
duduk di bangku penyutradaraan. Portfolio mengesankan, mulai What’s Eating Gilbert Grape, Chocolat, Dear John, Salmon Fishing in
the Yemen, Safe Haven, sampai The Hundred-Foot Journey, tentu tak bisa
diremehkan begitu saja. Aktor yang dipasang pun ada Dennis Quaid, Britt
Robertson, K.J. Apa (yang sedang naik daun semenjak bermain di serial Riverdale), dan Josh Gad (pengisi suara
Olaf di Frozen) yang menyuarakan
karakter si anjing, Bailey.
Sempat santer skandal video rekaman syuting yang memuat
penganiayaan terhadap seekor anjing hingga berbuntut boikot dari PETA, pihak
distributor membuktikan bahwa video tersebut diedit sedemikian rupa sehingga
terkesan ada penganiayaan. Padahal aslinya menurut pengakuan studio, pihak
produser sangat ketat memantau proses syuting untuk memastikan talent-talent
anjing ini mendapatkan perlakuan yang istimewa. Acara premiere pun dibatalkan,
tapi the show must go on. ADP siap dirilis di seluruh dunia, tak terkecuali
Indonesia yang sudah bisa menikmatinya di layar lebar jaringan non-XXI mulai 3
Februari 2017.
Kisah ADP bergulir dari narasi Bailey, seekor anjing yang
mempertanyakan tujuan hidupnya. Apakah sekedar bersenang-senang, lari-larian ke
sana kemari mengejar bola, atau membuat manusia bahagia, atau ada sesuatu yang
lebih besar lagi. Ia melalui berbagai siklus kehidupan sebagai anjing dengan
jenis, jenis kelamin, serta latar belakang yang berbeda-beda. Namun yang paling
berkesan adalah kehidupannya sebagai seekor Retriever dan diselamatkan oleh
seorang anak bernama Ethan ketika berada terkunci di dalam pengap dan panasnya
mobil. Ethan yang anak tunggal langsung jatuh cinta dan berusaha meyakinkan
kedua orang tuanya untuk mengadopsi anjing yang diberi nama Bailey ini. Seiring
dengan waktu, Ethan pun berkembang dewasa dan kondisi keluarganya tak lagi
seharmonis dulu. Kondisi kesehatan Bailey pun menurun hingga akhirnya menemui
ajal. Bailey kemudian menerima takdir bereinkarnasi menjadi anjing jenis-jenis
lain dengan jalan hidup yang berbeda-beda, mulai sebagai seekor German Shepherd
K9 betina hingga Corgi. Dengan memori dari kehidupan-kehidupan sebelumnya yang
masih terjaga, Bailey terus menganalisis dan mencari tahu tujuan hidupnya
selama ini.
Tema mencari tujuan hidup bisa dibawa dengan dua tipe
treatment yang berbeda. Mau dibuat filosofis dan berat, atau ringan dan
menyenangkan tanpa melupakan aspek-aspek filosofis-nya. ADP justru menawarkan
tema pencarian tujuan hidup dari sudut pandang (dan pola pikir polos) dari
seekor anjing. Ini tentu sudah menjadi komoditas yang sangat menarik dari ADP.
Benar saja, berpijak pada konsep unik bin menarik ini, plot ADP mengalir lancar
lewat kejadian-kejadian sehari-hari yang mungkin membuat kita sebagai manusia
penasaran, apa sih yang sebenarnya ada di benak para anjing. Lewat narasi dari
Josh Gad yang berfungsi lebih sebagai suara hati, penonton diajak untuk
menemukan pola-pola pikir sederhana dan naïf dari para anjing. Menariknya,
kesemua pola pikir ini terasa sangat logis dengan perilaku anjing pada umumnya,
dan yang tak kalah penting, menggelitik. In short, at one point ADP bak sebuah
guidance bagi manusia untuk memahami perilaku anjing. It seems like it had quite
a long and deep research on this matter and it deserved certain recognition.
ADP pun tak mau membawa tema mencari tujuan hidup ke arah yang
berat dan kelewat filosofis. Ia menyelipkannya lewat pola formulaic di genre
pet-human friendship. Sederhana namun tiap elemen yang dimasukkan terasa sekali
konsisten menuju pada satu tujuan yang jelas dan solid. Yang tak kalah
mengagumkannya, ada elemen-elemen cerita yang terlihat melalui riset yang tak
kalah mendalam. Misalnya karakteristik tiap jenis anjing yang disesuaikan
dengan kepribadian karakter manusianya. Ini jelas detail yang tak asal dan
main-main.
Kembali ke permukaan terluarnya yang menurut saya paling
menentukan dampaknya bagi penonton, Hallström terbukti sekali lagi mampu
merangkai konsep unik dengan detail-detail mengagumkan tersebut dengan tangan
dingin (atau lebih tepat, tangan ‘hangat’?)-nya sehingga membuat nuansa ADP
begitu feel-good, manis, hangat, dan kendati punya momen-momen menyentuh (dan
berhasil), tak sampai terjerumus ke dalam sorrow yang berlebihan. Nuansa
feel-good berhasil dipertahankan secara konsisten di balik emotion
roller-coaster-nya, bahkan meninggalkan after-taste yang tetap manis dan hangat
untuk jangka waktu yang lama. Tak banyak film drama yang bisa mencapai titik
ini, dan seperti kebanyakan film-film Hallström sebelumnya, ADP pun berhasil
termasuk di dalamnya.
Dari jajaran cast yang mungkin hanya Dennis Quaid yang
benar-benar populer, ADP sebenarnya memang terasa sebagai low budget
production. Namun bukan berarti cast-nya tampil asal-asalan. K. J. Apa sebagai
Ethan Montgomery remaja yang mendominasi durasi terbukti cukup layak mengisi
peran lead dengan kharisma yang cukup kentara sebagai pendatang baru. Dennis
Quaid sendiri sebagai Ethan dewasa mungkin tak punya banyak porsi untuk menanam
simpati penonton, tapi ia memanfaatkan porsi yang ada dengan kharisma-nya yang
seperti biasa, kuat. Britt Robertson mengisi peran Hannah remaja dengan pesona
yang lebih dari cukup di porsinya. John Ortis sebagai Carlos dan Kirby
Howell-Baptiste sebagai Maya pun memberikan performa yang cukup layak dalam
mengisi porsi peran masing-masing. Above all, tentu saja bakat Josh Gad yang
mengisi suara Bailey (atau Buddy, Tino, Ellie) dengan begitu santai,
effortless, polos, sekaligus menggelitik.
Teknis ADP memang tak ada yang benar-benar istimewa. Malah
jika mau jujur, ia masih mengikuti style film-film bertemakan sejenis yang
sempat booming di era 80-90’an. Seperti sinematografi Terry Stacey dan editing
Robert Leighton yang masih mampu membuat plotnya mengalir lancar, melewati
kehidupan-kehidupan yang berbeda. Desain produksi Michael Carlin dan costume
design Shay Cunliffe memberikan informasi rentang era dengan cukup jelas (art
defining time). Pemilihan soundtrack dan scoring dari Rachel Portman menyatu
sekaligus memberi warna lebih, sesuai dengan era sekaligus nuansa yang ingin
dihadirkan.
Di tengah semakin jarangnya tema persahabatan manusia dan
hewan peliharaan, khususnya anjing, apalagi dengan treatment layar lebar yang
layak dan dengan sudut pandang unik, ADP bak oase yang memberikan kesegaran
tersendiri. Feel-good, manis, hangat, informatif jika Anda tertarik memahami
pola pikir dan perilaku anjing, sekaligus menyuguhkan perjalanan kontemplatif
(meski dari sudut pandang anjing, tapi saya rasa masih sangat relevan
diaplikasikan pada manusia) tentang tujuan hidup yang santai tanpa melupakan
makna. Apalagi jika Anda mengaku pecinta hewan peliharaan, khususnya anjing,
ADP pantang untuk dilewatkan.
Lihat data film ini di IMDb.