2.5/5
Chinese
Franchise
Horror
Indonesia
occultism ritual
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Cai Lan Gong
Jelangkung adalah sleeper hit indie tahun 2001 yang tak terduga
sebelumnya. Film ‘kecil’ namun memberi efek besar terhadap film Indonesia saat
itu langsung melambungkan hampir semua yang terlibat. Mulai Winky Wiryawan
sebagai aktor, Rony Dozer, Harry Panca, Jose Purnomo, dan juga PH Rexinema.
Berangkat dari latar belakang itu, Rexinema yang sudah cukup lama vacuum
(terakhir Jakarta Undercover tahun
2007), mencoba untuk menggali lagi fenomena Jelangkung, setelah dua sekuel yang
belum bisa mengulang kesuksesan versi orisinilnya. David Poernomo yang di Jelangkung bertindak sebagai penata
suara dan musik, kali ini mengambil alih bangku sutradara sekaligus penulisan
naskah yang dibantu Ilya Sigma dan timnya; Priesnanda Dwisatria dan Dewi Piay.
David sendiri setelah Jelangkung sudah
berpengalaman menggarap beberapa film seperti Pocong vs Kuntilanak, Kutukan
Suster Ngesot, dan Glitch: Tersesat
dalam Waktu.
Cai Lan Gong (CLG) mengeksplorasi legenda Jelangkung jauh ke
belakang, yaitu di daratan Cina beratus-ratus tahun lalu. Seorang pria bernama
Chen Jun secara ajaib mengalami apa yang dialami oleh Benjamin Button: tubuhnya
semakin menyusut hingga akhirnya harus hidup dengan bantuan sebuah keranjang
buah agar bisa bermigrasi dengan mudah. Sejak itu keranjang buah tersebut
dipercaya punya kekuatan magis. Cerita beralih ke An Yi, seorang wanita yang
tetap cantik dan muda di usianya yang sudah menginjak 60 tahun. Ia dituduh
sebagai penyihir karena anugerahnya ini. Penduduk desa yang khawatir memutuskan
untuk membakar An Yi. Seorang shifu bernama Xian Min memanfaatkan roh An Yi
yang penasaran ke dalam keranjang buah Chen Jun. Secara turun temurun keranjang
buah ber-roh itu dijaga oleh Xian Min hingga bermigrasi ke Indonesia.
Setting beralih lagi ke masa kini
di mana keranjang roh itu dijaga oleh A Kung. Tepat tanggal 15 bulan 8 menurut
penanggalan Cina, A Kung berniat mewariskan keranjang ini kepada cucunya,
Aileen lewat sebuah ritual yang diklaim berbahaya. Untuk itu, A Kung dibantu
oleh anak buahnya, Chandra. Aileen pun mengajak Mary dan Rama, teman yang baru
dikenalnya karena tertarik dengan ritual-ritual Konghucu. Namun ritual tidak
berjalan mulus karena tentu selalu saja ada yang berniat memperebutkan hak
warisan keranjang buah ber-roh tersebut.
Jujur, CLG membuka film dengan
tampilan yang begitu menarik. Lewat visualisasi lukisan Cina jaman dulu, cerita
sejarahnya benar-benar terkesan menarik dan masuk akal. Nuansa etnis Tionghoa
dan bahasa Mandarin menjadi sesuatu yang masih jarang di sinema kita. Namun
ternyata rasa ketertarikan saya harus sampai di titik itu saja. Ketika memasuki
babak masa kini, CLG berubah menjadi tak lebih dari sekedar film amatir buatan
anak sekolahan. Saya tidak akan terlebih dulu membahas teknis yang menggaungkan
‘film layar lebar Indonesia pertama yang dishot dengan smartphone beresolusi
4K’. Mulai dari penulisan dialog dengan koherensi dan kontinuiti yang kacau
balau serta ngaco sengaco-ngaconya, sampai visualisasi yang masih jauh dari
kata sinematis. Kalau ada teman saya yang mengucapkan dialog-dialog
seperti di sini, pasti sudah saya tampar. Agak aneh juga melihat hasilnya seperti ini, secara tim penulis naskahnya (terutama Ilya Sigma) punya reputasi yang termasuk baik (salah satu yang terbaik di bidangnya, malah).
Banyak shot detail adegan yang terkesan tidak penting, selain hanya akan menghambat pace cerita menjadi terkesan lebih dinamis. Belum lagi subtitle yang menjelaskan istilah-istilah bahasa Mandarin yang jujur saya, mengganggu dan tidak efektif. Ketika menikmati sebuah film, penonton hanya akan membaca subtitle sebagai terjemahan langsung dari dialog. Maka subtitle yang sekedar memberikan arti satu kata menjadi tidak efektif dan terkesan menganggap penonton bodoh. Padahal istilah-istilah bahasa Mandarin dalam film ini sudah disebut beberapa kali, tak perlu juga untuk memberikan subtitle penjelasan tiap kali kata itu disebutkan.
Banyak shot detail adegan yang terkesan tidak penting, selain hanya akan menghambat pace cerita menjadi terkesan lebih dinamis. Belum lagi subtitle yang menjelaskan istilah-istilah bahasa Mandarin yang jujur saya, mengganggu dan tidak efektif. Ketika menikmati sebuah film, penonton hanya akan membaca subtitle sebagai terjemahan langsung dari dialog. Maka subtitle yang sekedar memberikan arti satu kata menjadi tidak efektif dan terkesan menganggap penonton bodoh. Padahal istilah-istilah bahasa Mandarin dalam film ini sudah disebut beberapa kali, tak perlu juga untuk memberikan subtitle penjelasan tiap kali kata itu disebutkan.
Secara horor, sebenarnya CLG
masih tergolong lumayan. Masih bermain di jump scare yang menjadi favorit
penonton Indonesia, tapi setidaknya masih ditempatkan dengan baik. Ada pula
horor yang dibangun secara atmosferik, namun tidak tergali maksimal gara-gara
timing dan sinematografi yang kurang pas. Ini juga terjadi pada adegan klimaks
yang harus kehilangan energi thrill-nya gara-gara cukup banyak jeda beberapa
detik di momen-momen gentingnya. Belum lagi ditambah logika cerita di part ini
yang seolah-olah semakin kehabisan ide.
Dari jajaran cast yang rata-rata
tergolong pendatang baru (kecuali, tentu saja Ronny P. Tjandra), sebenarnya tak
buruk-buruk amat. Memang masih banyak awkward moment dan kekakuan di sana-sini,
serta kharisma akting yang masing sangat lemah, namun masih bisa ditolerir.
Misalnya Anthony Xie sebagai Chandra, Ineke Valentina sebagai Aileen, Rezca
Syam sebagai Rama, dan Putri Ariani sebagai Mary. Sementara Ronny P. Tjandra
sendiri terkesan begitu laid-back dalam membawakan peran A Kung. Bukan peran
terbaiknya (saya masih akan menyebutkan 3Sum
– Rawa Kucing sebagai peran terbaiknya so far), namun dari jajaran cast
lainnya, Ronny jelas menunjukkan performa yang terbaik.
Saya tidak akan banyak protes
dengan kualitas gambar yang dihasilkan dari smartphone beresolusi 4K. Meski
menghasilkan gambar yang lebih ke smooth ketimbang sharp, warna-warni yang jauh
dari kesan sinematik, dan fokus jadi kacau pada wide shot dan kondisi gelap,
overall tidak jadi masalah yang begitu krusial bagi saya. Untuk shot-shot
menggunakan drone ternyata bisa menghasilkan gambar yang cukup tajam meski ada
beberapa bagian yang di-slowmo sehingga terkesan sedikit mengganggu. Tata suara
terdengar sangat mantap dan memanfaatkan fasilitas surround dengan cukup
maksimal, terutama dalam pembagian tiap kanal. Sayangnya, scoring masih banyak
yang amburadul. Mulai sound yang pecah, sampai yang paling mengganggu adalah
peletakan dan pemenggalan scoring yang ala-ala FTV. Terutama untuk scoring yang
sifatnya ceria. Norak dan pemenggalannya tidak pas momen jika tak mau disebut
kasar. Sebaliknya, scoring horror dan thrilling moment masih tergolong aman.
Dengan storytelling dan
visualisasi yang seperti ini, CLG terasa seperti proyek yang mubazir. Padahal
menurut saya, sebenarnya CLG punya konsep cerita (terutama part sejarah) yang
sangat menarik dan berpotensi menjadi horor yang tak hanya menegangkan, tapi
juga punya materi cerita yang bagus. Sayang sekali dengan eksekusi seperti ini,
CLG harus jatuh menjadi just another cheap Indonesian horror, meski tanpa
adegan esek-esek atau nudity.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.