3.5/5
Action
Arthouse
Crime
Drama
Hollywood
Investigation
Mafia
Oscar 2016
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Sicario
Perbatasan Amerika
Serikat-Meksiko yang rentan kasus penyelundupan imigran dan narkoba sudah
menginspirasi banyak film, seperti Crossing
Over dan Traffic. Denis
Villeneuve, sutradara asal Kanada yang pernah dinominasikan di Academy Awards
2011 untuk kategori film asing terbaik lewat Incendies, dan pernah membuat penonton tercekat lewat thriller Prisoners, menawarkan thriller
terbarunya, Sicario. Secara
etimologi, istilah Sicario yang berasal dari bahasa Latin, “Sicarius” yang
artinya pria belati, atau lebih umumnya, “pembunuh bayaran”. Istilah ini mulai
muncul sejak jaman Kerajaan Romawi dimana di Provinsi Yudea muncul pembunuh
misterius yang berasal dari kaum Zelot. Istilah sicario hingga saat ini
digunakan untuk menyebut pembunuh bayaran di Bahasa Spanyol dan Portugis.
Berawal dari misi penggerebekan
rumah di Arizona yang diduga menjadi sarang kartel Meksiko, Kate Macer,
salah satu agen FBI, direkomendasikan untuk terlibat dalam penyelidikan lebih lanjut. Namun misinya kali ini ia
tak lagi bekerja sama dengan tim FBI yang biasanya. Ia harus bekerja sama
dengan seorang yang mengaku sebagai penasehat Departemen Pertahanan, Matt
Graver, dan partnernya yang misterius, Alejandro Gillick. Sasaran utama mereka
adalah seorang bos kartel besar, Manuel Diaz. Kate yang seolah clueless dengan
misi ini hanya bisa mengamati dari dekat cara kerja mereka. Menyadari ada yang
tidak benar dengan cara kerja mereka dan mendapati diri terjebak di dalamnya,
Kate mau tak mau harus menyelesaikan misi yang jauh dari prosedur yang benar
ini.
Dari premise demikian, dan juga
trailernya yang terkesan sangat badass bin seru, ternyata hasil akhir Sicario agak
menipu. Oh yes, adegan-adegan seru dan menegangkan di trailer memang ada di
dalam film dan memang worked really good sebagai momen-momen paling mendebarkan
sepanjang film, terutama adegan pembuka dan di jalan tol, but that’s all you’ve
got. Sisanya, penonton akan lebih banyak disuguhi adegan-adegan yang super
lambat untuk menyampaikan ceritanya. Misalnya setelah adegan pembuka yang sudah
memompa adrenalin, penonton diajak untuk menjadi Kate yang clueless tentang
misi apa yang ada di hadapannya. Detail adegan yang disuguhkan terkesan
sangat-sangat lambat and I know a lot of scene details that I didn’t really
care. Misalnya long shot panjang perjalanan mobil yang membawa Kate dan timnya. Did
I really care about that? Gaya penceritaan seperti ini mengingatkan saya akan Zero Dark Thirty. Bedanya, jika ZDT
punya adegan-adegan penting yang harus ditunjukkan ke penonton, Sicario tidak. It’s such a waste of
time. Saya sebenarnya tak ada masalah dengan pace yang lambat atau dialog-driven
jika memang substansial bagi cerita. Namun yang dilakukan Villeneuve di sini, di
mata saya tidak punya esensi apa-apa, selain sekedar gaya-gayaan ala arthouse. Seandainya saja ia memvisualisasikannya
dengan lebih dinamis, cut to cut, dan atau to the point, mungkin Sicario berpotensi menjadi action
thriller yang jauh lebih seru untuk diikuti bak karya-karya almarhum Tony
Scott, misalnya.
Ada sih reviewer dan penonton
yang mengatakan Sicario membangun
tensinya melalui silent. I didn’t really get it either. Menurut saya, sebuah
thriller bisa berhasil jika penonton dibuat berfantasi tentang the worst thing
that could has happened pada adegan-adegan mencekamnya. In this case, misalnya
bisa dengan memberikan gambaran betapa brutalnya sang sasaran, Manuel Diaz. Namun
karena sosok Manuel Diaz baru dimunculkan di klimaks, maka saya tidak bisa
merasa terancam sama sekali dengan sosoknya. Jadi bagaimana saya bisa merasakan
tensinya? Jika tujuannya untuk menghadirkan tensi lewat sosok misterius
Alejandro yang memang menjadi rujukan judulnya, maka tak relevan juga. Dengan
penceritaan yang berasal dari sudut pandang Kate, maka tak mungkin jika
Alejandro bakal menyakiti Kate yang notabene berada pada pihak yang sama.
Ketegangan antara keduanya baru bisa terasa relevan pasca adegan klimaks, yang
berarti tak sampai berdurasi 10 menit. Terus, apa dong yang menjadi fokus
penceritaan utama Villeneuve di Sicario,
selain gaya penceritaan yang (sok) elegan?
Well, di balik gaya penceritaan
yang menurut saya ‘mengganggu’, Villeneuve sebenarnya menghadirkan metafora
daerah ‘perbatasan’ Amerika Serikat-Meksiko dengan batasan sejauh mana yang
boleh dilakukan untuk membekuk kriminal, yang cukup menarik. But
that’s all I found interesting in Sicario.
Sorry to say, but I didn’t find something substantial from Villeneuve’s
storytelling style here. Very boring.
Bisa jadi gaya Villeneuve yang
seperti itu sebenarnya mengandalkan penampilan aktor-aktrisnya dalam bercerita.
Untung saja kesemuanya, terutama pengisi tiga peran utama yang mampu memberikan penampilan terbaik
sehingga setidaknya mampu bercerita tentang karakter masing-masing dengan jelas
tanpa dialog maupun adegan-adegan background yang berlebihan. Emily Blunt
sebagai karakter utama sebenarnya masih memerankan karakter yang tak terlalu
beda dengan karakter action hero sebelumnya, seperti Rita di Edge of Tomorrow, namun dengan kualitas
pendalaman yang jauh lebih bold dan kuat. Begitu juga dengan Benicio Del Toro
yang masih mengingatkan saya dengan karakter yang ia mainkan di Traffic maupun The Hunted. Misterius sekaligus mengancam dalam keheningan. Sementara Josh Brolin yang tenang dan
seringkali melontarkan guyonan, terkesan sama misteriusnya dengan Alejandro.
Membuat penonton penasaran di pihak manakah karakter Matt di cerita yang serba
abu-abu ini.
Salah satu yang menjadi kekuatan
utama Sicario adalah sinematografi
Roger Deakins yang berhasil
menampilkan momen-momen menegangkan (yang sangat minim itu) menjadi terasa
begitu mencekam. Tak ketinggalan sinematografer yang berpengalaman dalam film
bergaya sejenis (seperti No Country for
Old Men, dan juga Prisoners
bersama Villeneuve) ini menyumbangkan cukup banyak perfect shot yang memanjakan
mata. Well, mungkin salah satu tujuan shot-shot panjang dengan detail yang tak
begitu substansial itu memang untuk ‘pamer’ shot-shot cantik ini. Who knows?
Tak ada yang istimewa dengan tata
suaranya karena memang tak banyak hingar-bingar yang dihadirkan. Meski
demikian, pada saat yang tepat, ia menghadirkan kualitas tata suara yang tepat
pula. Termasuk score dari Jóhann Jóhannsson yang minim namun pada saat-saat
yang tepat hadir semencekam scoring Sinister.
In the end, gaya penceritaan Sicario jelas not for everyone. Jika
Anda dibikin penasaran oleh trailernya dan mengharapkan gaya yang sama, maka
Anda harus siap mental dulu. Setidaknya jangan nonton dalam kondisi mengantuk.
Sisanya, terserah Anda bisa menikmati gaya Villeneuve atau tidak. Yang jelas,
saya tidak.
Lihat data film ini di IMDb.
The 88th Annual Academy Awards nominees for:
- Best Achievement in Cinematography - Roger Deakins
- Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score - Jóhann Jóhannsson
- Best Achievement in Sound Editing - Alan Robert Murray