3/5
Action
Adventure
Fantasy
Hollywood
immortal
Monster
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
witch
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Last Witch Hunter
Jika tema penyihir sudah cukup
sering diangkat di layar lebar, termasuk yang paling populer, Harry Potter, maka peran witch hunter
atau pemburu penyihir baru populer beberapa dekade terakhir ini sebagai
modifikasi dari peran pemburu vampire yang sudah lebih lama ada, seperti Van Helsing dan Buffy the Vampire Slayer. Tahun 2013 lalu dongeng klasik Hansel
& Gretel ‘dipelintir’ sedemikian rupa menjadi Hansel & Gretel: Witch Hunters dan tahun 2014 lalu ada pula Seventh Son. Sayangnya tak banyak
penonton menyukai ide ini, selain karena memang hanya sekedar modifikasi dari
template pemburu vampire. Jatuhnya malah menjadi film action adventure bercita
rasa kelas B. Apalagi dengan desain produksi yang cenderung itu-itu saja. The Last Witch Hunter (TLWH) adalah
upaya terbaru untuk memberikan nafas lebih kepada genre witch hunter. Meski
ditulis oleh tiga orang penulis yang berpengalaman menulis naskah bertema tema
serupa namun hasilnya tergolong mediocre; Cory Goodman (Priest), Matt Sazama dan Burk Sharpless (Dracula Untold), TLWH mencoba peruntungan dengan menggandeng Vin
Diesel dan sutradara Breck Eisner (Sahara
dan The Crazies yang tergolong
menarik). Sayang sutradara bervisi unik, Timur Bekmambetov (Night Watch, Wanted, Abraham Lincoln: Vampire Hunter) batal
menyutradarai. Padahal bisa dibayangkan betapa kerennya TLWH could have been di
tangan dinginnya. But it’s okay, let’s give Eisner a shot.
Kaulder adalah salah seorang
pemburu penyihir yang dikutuk hidup abadi oleh Sang Ratu Penyihir ketika hendak
memusnahkannya. Dengan bantuan perkumpulan Gereja bernama Kapak dan Salib,
Kaulder punya kaki tangan setia dari generasi ke generasi bernama Dolan. Di
dunia modern keadaan sudah berubah. Para penyihir punya dewan sendiri yang
mengatur kehidupan para penyihir sehingga bisa hidup berdampingan dengan manusia
biasa. Ancaman muncul pasca upacara serah jabatan Dolan ke-36 kepada Dolan
ke-37. Dolan ke-36 ditemukan tewas. Dari penyelidikan Kaulder, kematiannya
tidak alami. Benar saja, dalang di balik pembunuhan itu adalah seorang penyihir
bernama Ellic. Ditangkapnya Ellic ternyata merupakan awal dari rencana besar
yang mengancam keberadaan umat manusia.
Dengan template dari film bertema
serupa, TLWH memang tak menawarkan sesuatu yang baru. Begitu pula dengan
elemen-elemen berkaitan dengan penyihir yang mungkin masih bisa menarik bagi
beberapa penonton. Namun untungnya Breck Eisner mampu menerjemahkan naskah
Goodman-Sazama-Sharpless yang biasa-biasa saja menjadi sebuah tontonan yang
masih enjoyable. Terutama berkat pace yang tergolong efektif dan fantasi
penonton tentang apa yang mungkin bisa terjadi selanjutnya, yang bisa membuat
penonton terus tertarik untuk mengikuti alurnya. Meski rasa penasaran cukup
terasa kuat di 1st act namun menurun di act-act berikutnya,
setidaknya TLWH menawarkan visual yang menghibur dan jauh dari kesan kelas B.
Sayangnya yang cukup mengganggu
dari alur cerita TLWH adalah cukup seringnya terjadi elemen-elemen cerita yang
tiba-tiba terselip di sana-sini tanpa setup yang cukup kuat. Alhasil, alih-alih
narasi cerita terkesan rapi, saya seringkali secara spontan berujar, “lah, kok
jadi gini sih? Kok gitu sih?”. Contoh yang paling mudah dirasakan adalah ketika
Kaulder bertarung di klimaks, tiba-tiba di-cut ke adegan serangan serangga.
Saya jadi bertanya-tanya apakah itu pertanda baik atau buruk. Baru kemudia
disambung lagi ke adegan pertarungan Kaulder. Atau ketika klimaksnya, bukannya
Kaulder mengalahkan musuh utama dengan senjata andalan, justru menggunakan
sesuatu yang tak terduga di awal film. Penonton butuh waktu sekian detik untuk
mengingat-ingat sebelum memahami benda apa yang digunakan Kaulder itu. Meski
pada akhirnya penonton dibuat paham juga korelasinya, namun tetap saja ada
momen di mana seringkali terjadi lompatan-lompatan adegan yang terasa tidak rapi
dan tidak runtut. Other than that, TLWH was still quite entertaining.
Sebenarnya Vin Diesel tampil
kharismatik di sini. Tapi saya tidak bisa bohong, ada beberapa momen yang
membuat saya tertawa padahal adegannya cukup serius. Misalnya tiap kali Kaulder
dari era 800 tahun lalu atau ketika Kaulder memeluk Chloe. It just looked
awkward. Sorry, maybe because of Diesel’s tough image all this time that just
didn’t fit with such scenes. Elijah Wood pada act pertama cukup banyak diberi
porsi, lantas harus puas dengan porsi terpinggirkan di act-act berikutnya,
hingga sebuah twist yang meruntuhkan penokohannya menjadi berkeping-keping.
Sayang penulisan karakternya yang tidak konsisten harus membuatnya kehilangan
simpati penonton. Rose Leslie boleh sedikit lebih berbangga karena karakternya
diberi porsi lebih. Meski tak sampai memorable, namun karakter Chloe yang
diperankannya cukup kuat di benak penonton setidaknya sampai film berakhir.
Sementara aktor pendukung yang karakternya terasa paling kuat dan memorable, meski
porsinya lebih banyak di awal dan akhir, tentu saja Michael Caine.
Meski tak ada yang terlalu
istimewa dari desain produksinya, namun beberapa desain harus diakui terlihat
indah. Misalnya bar Chloe dan ruang dewan penyihir. Tak ketinggalan CGI yang
ternyata sangat memuaskan, memanjakan mata, dan jauh dari kesan murahan. Sinematografi
Dean Semler cukup baik meng-capture kesemuanya, meski ada satu-dua shot close
up sekian detik untuk adegan pertarungan yang terlalu dekat sehingga terlihat
tidak begitu jelas. Sebaliknya, tata suara berperan maksimal dalam mendukung
semua elemen ceritanya. Crisp dan full of detail. Termasuk juga fasilitas 7.1 surround
yang dimanfaatkan dengan sangat maksimal di tiap kanalnya. Scoring Steve
Jablonsky cukup mendukung nuansa adventure, walau tak sampai jadi memorable.
Tak ketinggalan, Ciara yang menyumbangkan recycle hit milik The Rolling Stones,
Paint It, Black, yang sangat sesuai
dengan filmnya.
Dengan elemen-elemen yang
familiar dan tak ada yang benar-benar baru dari sub-genre sejenis, TLWH
ternyata mampu menjadi sajian yang setidaknya menghibur. Sedikit di atas
rata-rata tipikal film sejenis and overall, still
quite enjoyable. Open ending membuatnya
memungkinkan untuk menjadi sebuah franchise baru. Namun tentu saja kita harus
melihat hasil box office dari film berbudget US$ 90 juta ini nanti untuk
memastikannya.
Lihat data film ini di IMDb.