3/5
Adventure
Artistic
Comedy
Drama
Indonesia
Investigation
Rivalry
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Wedding & Bebek Betutu
Siapapun yang pernah melewati
tahun 2004-2009 di Indonesia, pasti pernah mengenal sebuah acara sketsa komedi
ala Saturday Night Live bertajuk Extravaganza. Atau bukan tidak mungkin,
Anda menjadi salah satu penggemar yang tak mau ketinggalan satu episode pun.
Well, Extravaganza memang sempat
menjadi acara TV paling top di Indonesia ketika disiarkan yang sekaligus
melambungkan aktor-aktrisnya, seperti Tora Sudiro, Indra Birowo, Amink, Ronal
Surapradja, Rony Dozer, Virnie Ismail, Sogi Indra Dhuaja, Omesh, Tike
Priatnakusumah, Edric Tjandra, Mieke Amalia, dan TJ. Setelah melewati beberapa
generasi dan rotasi aktor dan aktris, bahkan beberapa spin-off show, maka tak
ada salahnya menghadirkan kembali Extravaganza
ke layar lebar. Dengan akumulasi fans masing-masing aktor dan demand penonton
Indonesia saat ini yang sepertinya sedang membutuhkan (baca: menggemari) film
komedi (lihat saja, tahun ini sudah ada Comic
8: Casino Kings yang sudah sukses melewati angka sakral 1 juta penonton, Komedi Moderen Gokil dengan niat membawa
kembali film komedi ala Warkop yang sampai sekarang sudah ditonton sebanyak
282.000 penonton, dan 3 Dara yang
juga sudah melewati angka 348.000 penonton dan masih terus bertambah), jelas
reuni para pendukung Extravaganza
terdengar seperti proyek yang menjanjikan kesuksesan.
Tora dan Mieke yang duduk di
bangku produser lantas menggandeng Hilman Mutasi, yang sempat menjabat head
writer untuk program Extravaganza.
Sebagai penulis skenario, Hilman sendiri punya filmografi yang cukup panjang
dan variatif, baik dari segi genre maupun kualitas. Misalnya duologi The Tarix Jabrix, 5 cm, Coboy Junior the Movie,
Mama Cake, Potong Bebek Angsa, Sehidup
(Tak) Semati, KM 97, Check in Bangkok, Air & Api, dan terakhir awal tahun ini, Kacaunya Dunia Persilatan yang merupakan parodi film-film kolosal
Indonesia. Tentu saja berbeda dengan Komedi
Moderen Gokil yang konsepnya memang ala Warkop dan tak perlu storyline yang solid, The Wedding & Bebek Betutu
(WeBek) menawarkan sebuah film dengan naskah yang sama pentingnya dengan
jokes-nya.
WeBek menyorot kehidupan di
sebuah hotel mewah yang dimanajeri oleh Angga. Reputasi dan karirnya
dipertaruhkan ketika hotel itu didaulat untuk mengurus semua persiapan
pernikahan Lana, putri sang owner, Rama Sastranegara. Tingtong dengan wedding
organizer Double Rose yang ternama, ditunjuk untuk mengatur semuanya. Namun
pernikahan Lana dan Bagas, yang merupakan putra ningrat Jawa, Edo Wicaksono,
terancam batal setelah masing-masing di-blackmail. Lana dengan foto-foto
mesranya dengan mantan pacarnya, Alex, dan Bagas dengan rekaman video bachelor
party bersama sexy dancers. Keadaan menjadi semakin genting ketika Edo meminta
dimasakkan Bebek Betutu terbaik di Bandung. Pasalnya, sang chef hotel, Janu,
punya trauma dengan bebek. Maka Angga mengutus The Crew supaya pernikahan tetap
berjalan lancar. Tim yang pertama, seorang housekeeping bernama Kokom dan
tukang reparasi, Buluk, bertugas menyelidiki siapa yang mem-blackmail Lana dan
Rama. Sedangkan Janu, ditemani petugas concierge, Mayo, dan bellboy, Noby,
bertugas mencari juru masak Bebek Betutu terbaik se-Bandung.
Membaca premise dan menonton
trailernya, mungkin Anda melihat pengaruh The
Grand Budapest Hotel (TGBH) karya Wes Anderson di WeBek. Harus diakui,
inspirasi dari TGBH terasa begitu kental di sini, baik dari segi desain
produksi, sinematografi, penulisan karakter-karakter, bahkan sampai
formula-formula storytelling-nya. Namun untungnya tak sampai pada
storyline-nya. Di awal, Hilman memperkenalkan satu per satu karakter serta
konfliknya dengan begitu menarik dan asyik untuk diikuti. Namun sayang, ketika
cerita bergerak mendekati klimaks, excitement-nya sedikit menurun. Begitu juga
dengan kadar jokes yang semakin jarang muncul, dan itu pun tak semuanya
berhasil memancing tawa. Sampai pada satu titik, naskah mulai ‘ngaco’ dan
kehilangan energi, terutama ketika adegan Janu-Mayo-Noby bertemu si nenek
misterius yang seperti bingung mau dibawa ke mana. Potensi komedi dan
‘fantasi’-nya ada, tapi sayang tak dimanfaatkan.
Naskah mengalami kedodoran terbesarnya
ketika menampilkan resolusi utamanya terlebih dahulu sebelum revealing the main
case. Selain melangkahi excitement timing-nya, logika cerita pun menjadi
timpang. I mean, sebenarnya cerita bisa selesai ketika Lana dan Bagas menyadari
hal terpenting dalam hubungan mereka, maka sebenarnya menemukan siapa dalang
blackmail tentu tidak menjadi hal yang penting lagi. Sayang, penonton tetap
harus di-treat dengan revealing yang layak, setelah mengikuti perjalanan
investigasi yang cukup lama (meski dengan logika yang sebenarnya main-main)
bukan? Maka Lana-Bagas dibuat berkonflik lagi demi bisa diselamatkan (lagi)
oleh penemuan siapa sebenarnya dalang di balik blackmail. Agak memusingkan?
Well, that’s what happened in WeBek.
Namun yang membuat WeBek masih
layak untuk disimak, tentu saja adalah penampilan para cast yang sudah dekat
dengan penonton. Di sini saya patut menyebut nama TJ – Mieke Amalia sebagai
pasangan yang menghadirkan konflik paling menarik dan paling lucu sepanjang
film. Di urutan berikutnya, saya menyukai salah satu adegan paling lucu
sepanjang durasi, yang dibawakan oleh Indra Birowo-Ronal Surapradja. Sementara
tim Tora Sudiro-Edric Tjandra-Ibob Tarigan dan Tike Priatnakusumah-Ence Bagus,
menurut saya masih gagal untuk memberikan comedic moment yang berkesan maupun
sekedar memancing tawa. Selebihnya, Aming dan Rony Dozer, seperti biasa, tetap
berhasil menjadi karakter signatural (diri sendiri) yang sudah lucu dari
sananya.
Banyak terinspirasi dari TGBH,
desain produksi WeBek memang patut diacungi jempol. Terutama sekali tiap sudut
GH Universal Hotel yang memang luar biasa indah dan megahnya. Sinematografi
Yunus Pasolang lagi-lagi mem-framing tiap adegan dan keindahan settingnya
dengan maksimal. Tak hanya hotel, tapi juga desa tempat trio Janu-Mayo-Noby
mencari si nenek misterius dan jalanan Kota Bandung. Pergerakan kamera ala Wes
Anderson pun diadopsi dengan cukup rapih. Sementara tata suara tak begitu
istimewa dan dialognya masih terdengar kurang clear & crisp, scoring Emil
Husein terdengar begitu pas dengan nuansa komedik yang dihadirkan WeBek.
Meski masih sedikit kedodoran di
naskah (apalagi dengan durasi 110 menit yang tergolong panjang untuk genre
komedi) dan persebaran joke yang kurang merata dan masih banyak yang belum
berhasil memancing tawa, secara keseluruhan WeBek masih lebih dari layak untuk
disimak sebagai tontonan komedi yang segar, menyenangkan, dan menghibur.
Apalagi jika Anda termasuk penggemar atau pernah menyukai program Extravaganza, pantang untuk
melewatkannya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.