3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Comedy
creature
Family
Franchise
Hollywood
Kid
Monster
Pop-Corn Movie
Teen
The Jose Flash Review
Werewolf
Young Adult
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Goosebumps
Siapapun yang pernah mencicipi
era 90-an pasti mengenal seri novel anak dan remaja Goosebumps. Pada eranya, seri novel karya R.L. Stine ini memang
mencetak banyak sjearah. Dari 62 judul dan beberapa seri lepas yang sudah
beredar dan diterjemahkan ke dalam 32 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia,
berhasil terjual sebanyak 350 juta eksemplar di seluruh dunia. Tentu bukan
angka yang main-main, hingga akhirnya menjadi franchise yang termasuk besar.
Mulai serial TV yang berjalan selama 4 season, audiobook, games, komik,
berbagai merchandise, sampai wahana taman bermain.
Rencana pembuatan versi layar
lebarnya sendiri sudah terdengar sejak tahun 90-an, mulai dari George A. Romero
yang bahkan sudah sampai merampungkan naskah, sampai Tim Burton yang kabarnya
juga akan memproduksi di tahun 1998 bersama Fox. Semuanya batal hingga Sony
Pictures mengambil alih haknya tahun 2008 dengan produser Neal H. Moritz (yang
dikenal lewat franchise Fast &
Furious dan xXx) dan Deborah
Forte dari versi serialnya. Darren Lemke (Shrek
Forever After, Jack the Giant Slayer,
dan Turbo) ditunjuk untuk menuliskan
naskahnya, sedangkan bangku sutradara diisi oleh Rob Letterman yang sebelumnya
pernah mengarahkan Jack Black di Gulliver’s
Travels. Tak mau sekedar mengadaptasi versi novelnya, Goosebumps versi layar lebar mencoba untuk menyatukan semua
karakter signaturalnya ke dalam satu layar. Genre horor pun diubah menjadi
petualangan bak Jumanji atau Zathura.
Zach Cooper harus pindah ke
sebuah kota kecil bernama Madison, Georgia, karena sang ibu, Gale, memangku
jabatan baru sebagai wakil kepala sekolah di SMA setempat. Tak sengaja Zach
mengenal tetangga sebayanya, Hannah yang tampak ramah dan menyenangkan, tapi
dikekang oleh sang ayah. Kecurigaan membawa Zach dan temannya, Champ, untuk
menyelinap masuk ke rumah Hannah. Siapa sangka ternyata ayah Hannah adalah sang
penulis novel horor anak fenomenal, R.L. Stine. Dan Mr. Stine menutup diri dari
lingkungan bukan tanpa alasan. Tak sengaja mereka membawa semua monster dan
makhluk gaib ciptaan Stine lewat novel Goosebumps
yang tak sengaja keluar ke dunia nyata. Kota Madison pun terancam sebelum
mereka menemukan solusi untuk membawa semua makhluk itu kembali ke dalam buku.
Meski menggabungkan kesemua
karakter signatural ala Cabin in the
Woods bukan ide yang benar-benar baru, termasuk premise ala Jumanji, Zathura, atau Inkheart, Goosebumps versi layar lebar tetap
terdengar menarik. Apalagi kehadiran karakter R.L. Stine yang membuat filmya
bak biopic yang di-twist menyatu dengan cerita di dalam novelnya. Saya rasa tak
ada yang keberatan dengan perubahan genre dari horor ke adventure, mengingat
sumbernya adalah horor untuk target audience yang jelas susah untuk menarik
range penonton lebih luas. Toh bagi penggemar novelnya, melihat
karakter-karakter yang selama ini hanya ada dalam imajinasi benar-benar hidup
dan dijadikan dalam 1 layar, sudah menjadi sebuah treat tersendiri.
Ekspektasi yang tak terlalu
tinggi selain sekedar tontonan petualangan seru yang menghibur, ternyata
membuat saya merasakan sesuatu yang lebih dari Goosebumps. Saya benar-benar tak menyangka Lemke dan Letterman
memasukkan unsur-unsur esensi cerita, terutama tentang imajinasi dan move on
yang cukup bold, relevan, dan divisualisasikan dengan begitu terasa. Ada
beberapa adegan sederhana namun berhasil membuat saya sekedar tersenyum karena
heart factor yang cukup besar dihadirkan di sini.
Faktor menarik lain dari Goosebumps adalah selipan-selipan jokes
yang mungkin memang terkesan silly, campy, dan slapstick, namun most of them
really worked. Jauh dari kesan ‘mengganggu’. Secara cerdas pula, trivia dan
humor bereferensi pada pop culture, seperti tentang Stephen King dan The Shinning, Gulliver’s Travels yang merupakan kolaborasi Jack Black dan Rob
Letterman sebelumnya, bahkan karakter figuran yang mengingatkan kita akan seri
novel R.L. Stine lainnya, Fear Street.
Tentu humor-humor ini yang memperkaya petualangan seru ala Goosebumps. Tak lupa pula cameo R.L. Stine himself di penghujung
film yang if you blink, you’ll miss.
Sayangnya Goosebumps memvisualisasikan alur petualangannya dengan pace yang
terlalu cepat. Memang masih ada beberapa momen yang bikin breathtaking, namun
dengan pace yang serba dinamis membuat penonton tak merasakan excitement yang
begitu maksimal. Well dengan kemasan komedi yang lebih mendominasi (dan
berhasil), untungnya tak sampai menjadikan Goosebumps
sebuah petualangan yang hambar dan flat.
Tak semua orang bisa memahami dan
cocok dengan style kelakar Jack Black, namun kali ini ia lebih banyak bermain
sesuai dengan naskahnya ketimbang ‘menjadi diri sendiri’ dengan joke-joke
tipikalnya. Alhasil karakter R.L. Stine yang ia perankan pun berhasil menjadi
karakter yang unik dan masih mampu memancing tawa lewat karakteristiknya, tanpa
harus menjadi terlalu ‘Jack Black-ish’. Termasuk juga ketika mengisi suara
Slappy dari Boneka Hidup Beraksi (Night of the Living Dummy) dan the
Invisible dari Manusia Siluman (My Best Friend is Invisible) yang
creepily funny. Dylan Minnette yang sebenarnya terlihat all-american-boy
ternyata cukup mampu menarik perhatian. Ryan Lee sebagai Champ yang sebenarnya
terkesan menjengkelkan di mata saya ternyata masih bisa menjadi sumber joke
yang menghibur. Begitu juga Jillian Bell sebagai Aunt Lorraine, Amy Ryan
sebagai Gale, serta Timothy Simons dan Amanda Lund sebagai sepasang polisi yang
tingkahnya tak kalah menggelitik. Terakhir, tentu saja Odeya Rush sebagai
Hannah yang jelas mencuri perhatian sejak awal kemunculannya hingga ending yang
membuatnya begitu loveable. Odeya menunjukkan aura yang menjanjikannya karir cemerlang
ke depan.
Petualangan yang terasa begitu
fun dan mengasyikkan berasal dari sinematografi Javier Aguirresarobe (The Others, The Twilight Saga, dan Warm
Bodies). Begitu juga desain produksi yang cukup istimewa, terutama desain
FunHouse. Tak ketinggalan tata suara yang cukup sering memanfaatkan fasilitas
surround untuk menghidupkan atmosfer banyak adegan. Sayangnya beberapa suara
dialog masih terdengar tenggelam, terutama dialog Jack Black. But overall masih
tidak terlalu mengganggu atau membuat dialognya menjadi tidak jelas terdengar.
Aspek juara lainnya tentu saja
score dari Danny Elfman yang memang sudah maestro untuk film bertemakan
sejenis. Playful dan creepily fun, tanpa kehilangan kemegahannya.
Sebagai sebuah sajian pure
hiburan, Goosebumps memang
menyuguhkan petualangan yang seru dan humor yang berhasil memancing tawa, pun
juga blended dengan sangat baik. Aman untuk ditonton seluruh anggota keluarga, dilengkapi dengan naskah, karakteristik yang
cukup kuat dan menarik meski tak cukup banyak dikembangkan, penyebaran trivia
yang dijadikan joke, serta tentu saja hati yang cukup besar, Goosebumps berhasil melebihi ekspektasi
saya yang memang sudah dekat dengan novelnya ketika pertama kali rilis di
Indonesia. Review yang rata-rata positif, hasil box office yang termasuk
tinggi, dan open ending, siap-siap Sony Pictures merencanakan sekuelnya. Semoga
saja dengan naskah dan semua aspek yang setidaknya sama kuat seperti
installment yang ini.
Lihat data film ini di IMDb.