4/5
Action
Adventure
Artistic
Based on Book
Family
Fantasy
Franchise
Friendship
Hollywood
Kid
Magic
pirate
prequel
quotebanner
the beginning
The Jose Flash Review
tribal
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pan
Sejak pertama kali muncul di
novel dewasa The Little White Bird
karya J. M. Barrie tahun 1902, karakter Peter Pan sudah menarik perhatian
banyak pihak. Hingga kahirnya J. M. Barrie sendiri menuliskan novel sendiri
berjudul Peter and Wendy tahun 1911
dan sampai sekarang sudah menjelma menjadi puluhan versi, termasuk yang paling
populer, animasi klasik Disney tahun 1953. Bahkan seorang Steven Spielberg
tahun 1991 pernah menggarap Hook yang
bisa dianggap sebagai sekuel cerita Peter Pan yang selama ini kita kenal dengan
bintang Robin Williams. Terakhir, Universal Pictures bekerja sama dengan
Columbia Pictures mencoba mengdaptasi sebuah live action tahun 2003, yang meski
rata-rata mendapatkan review positif, namun hasil box office-nya tak terlalu
menggembirakan. Kini giliran Warner Bros. yang mencoba peruntungan dengan
konsep ‘the beginning’ seperti yang pernah dilakukan beberapa franchise dengan
hasil beragam. Menggandeng Jason Fuchs (Ice
Age: Continental Drift) sebagai penulis naskah dan sutradara Joe Wright yang
sebenarnya populer di scene tipikal film festival macam Pride & Prejudice, Atonement,
The Soloist, Hanna, dan Anna Karenina,
proyek Pan sebenarnya menarik untuk
disimak.
Tinggal di sebuah panti asuhan milik
biarawati sejak bayi membuat Peter berharap akan hidup yang lebih baik. Ketika
Perang Dunia II meletus dan keadaan memburuk, Peter mendapati anak-anak di
panti asuhannya satu per satu hilang tiap malam. Ketika menyelidiki, Peter dan
sahabatnya, Nibs, malah menemukan rahasia sang suster biara, Mother Barnabas,
termasuk surat terakhir yang ditinggalkan ibu Peter untuknya. Hingga akhirnya
Peter sendiri menjadi ‘korban’ penculikan yang ternyata membawa anak-anak panti
asuhan ke Neverland, sebuah negeri antah berantah yang gersang. Dengan
iming-iming kehidupan yang lebih baik daripada menjadi anak yatim piatu,
anak-anak ini dipekerjakan untuk menggali tiap jengkal tanah di Neverland untuk
menemukan serbuk peri oleh Kapten Blackbeard. Karena sifat rebel-nya, Peter
mencoba melawan. Tidak sendiri, upaya melarikan diri Peter dibantu oleh seorang
rebel lainnya, Hook, dan salah satu karyawan Blackbeard, Mr. Smee. Tak sengaja
mereka menemukan suku pribumi, Pan, dengan seorang putrinya, Tigerlily, yang menyebut
Peter sebagai messiah mereka. Tapi Peter harus membuktikan diri dulu bahwa
memang benar ia lah yang diramalkan akan datang menjadi penyelamat suku dari
Blackbeard. Krisis kepercayaan diri sekaligus dikejar-kejar kaki tangan
Blackbeard, menjadi highlight petualangan mereka.
Mengisi peran utama menjadi beban
tersendiri bagi Levi Miller yang selama ini hanya mengisi peran pendukung
dengan screentime terbatas. Untungnya, Levi Miller mampu menghidupkan karakter
Peter dengan begitu hidup. Tiap perkembangan karakternya terasa kuat, meski tak
se-memorable Jeremy Sumpter misalnya. Namun bisa jadi ini bukan kesalahannya,
karena harus berbagi layar dengan aktor sekuat Hugh Jackman sebagai Blackbeard
dan terutama sekali, Garrett Hedlund. Jackman memang terlihat dan terasa berbeda
dibandingkan sosok yang kita kenal selama ini, bahkan suaranya pun nyaris
terasa asing bagi saya. Namun penulisan karakternya belum terlalu membuat
karakter Blackbeard menjadi villain yang memorable ataupun signatural.
Sementara Hedlund harus saya akui, terasa yang paling menonjol dari jajaran
cast lainnya. Faktor penulisan karakter yang menurut saya, paling kuat, faktor
kontinuiti karakteristik di cerita utama aslinya, dan ternyata berhasil
dibawakan dengan sangat baik oleh Hedlund, membuat karakter Hook yang paling
menarik sepanjang film.
Tapi tunggu dulu, Adeel Akhtar
sebagai Smiegel layak menjadi scene stealer yang cukup menarik selain Hook.
Tiger Lily yang secara kontroversial diperankan oleh Rooney Mara (mengingat
karakter aslinya adalah native American atau suku Indian, namun diperankan oleh
Mara yang American Caucasian) ternyata juga berhasil mempesona dan mencuri hati
saya. Karakternya yang cerdas dan pemberani menjadi begitu loveable oleh Mara.
Sementara di jajaran figuran, Cara Delevigne sebagai putri duyung (tak hanya
satu tapi banyak!) dan Amanda Seyfried yang secara fisik juga tidak saya kenali
sebagai ibu Peter, Mary.
Selain mashup cerita yang solid, Pan juga tak main-main dengan teknisnya.
Terutama sekali desain produksi yang meski sedikit berbeda dengan nuansa Peter
Pan yang selama ini kita kenal, namun masih dengan color palette yang
warna-warni dan cerah. Lihat saja desain setting suku pribumi dengan
kostum-kostumnya yang begitu memanjakan mata, atau adegan klimaks menuju sarang
peri yang membuat mata saya terbelalak. Kesemuanya terekam dengan sempurna
lewat sinematografi John Mathieson dan Seamus McGarvey. Koreografi beberapa
adegan pertarungan, terutama Hook vs Kwahu, yang terlihat indah dan keren, juga
patut mendapatkan kredit lebih. Dukungan tata suara turut membuat tiap adegan
serunya terasa lebih nyata dan hidup. Sayang saya tidak menikmatinya di studio
Dolby Atmos yang bisa saya bayangkan, bakal punya banyak gimmick-gimmick yang
lebih menarik lagi.
Score gubahan John Powell sekaligus
mendukung petualangan Pan menjadi
lebih seru, megah, dan berkelas. Mencampur adukkan nuansa wild west, tribal,
epic battle ala Star Wars dan Pirates of the Caribbean, playful ala
animasi Disney, sampai children choir yang luar biasa mengaduk-aduk emosi, bahkan
juga penggunaan Smells Like Teen Spirit
dari Nirvana yang digunakan sebagai chant hingga membuat saya bersorak, score Pan boleh jadi salah satu yang terbaik
tahun ini. Lily Allen yang menyumbangkan Little
Soldier juga menjadi theme song representatif, baik secara lirik maupun
nuansa secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, sebenarnya Pan adalah suguhan cerita ‘the
beginning’ yang cukup solid, meski merupakan hasil mashup dari berbagai elemen
yang sudah pernah kenal sebelumnya. Dukungan teknis yang serba menonjol dan
beberapa justru menurut saya, termasuk terbaik tahun ini, Pan jelas sayang untuk dilewatkan di layar lebar. I know resepsi
secara internasional tergolong flop. Salah satu penyebabnya adalah review yang
rata-rata negatif. Memang, ada beberapa part yang membuat Pan terasa terlalu gelap dan serius untuk penonton anak-anak, namun
selain dari itu, Pan masih merupakan pengalaman
berkualitas yang sangat menghibur serta pastinya, memanjakan panca penglihatan
dan pendengaran. Apalagi jika Anda termasuk yang pernah terpukau oleh cerita
Peter Pan lewat pesona innocence magic-nya, setidaknya Pan akan membawa Anda ke memori-memori indah itu beserta cerita prekuel
yang sangat relate dengan cerita aslinya. Fuck what most reviewers said, you
deserve to experience it yourself!
Lihat data film ini di IMDb.