4/5
Action
Drama
dystopian
Fantasy
Friendship
Indonesia
Politic
Pop-Corn Movie
religious
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
3 - Alif Lam Mim
Berhasil menjadi salah satu
penguasa sinetron di layar TV tidak membuat Multivision Plus (MVP) berpuas
diri. Meski sudah cukup lama merambah layar lebar, tahun 2015 ini bisa menjadi
penanda perbaikan kualitas film-film yang diproduksinya (atau setidaknya, sekedar
mendukung produksi). Meski masih belum membuahkan hasil box office, namun tahun
ini sudah melahirkan karya-karya yang termasuk bermutu. Mulai dari Ayat-Ayat Adinda, Mencari Hilal, dan Love You
Love You Not, hingga yang akan kita bahas, yaitu 3. Setelah itu sampai akhir tahun, masih mengantri Aach… Aku Jatuh Cinta, sebuah drama
romantis bergaya retro garapan Garin Nugroho, dan 3 Srikandi, biopic 3 atlet pemanah wanita yang mengharumkan
Indonesia di Olimpiade 1988 di Seoul. 3 adalah proyek yang unik, tak hanya bagi MVP, tapi juga dalam
ranah perfilman Indonesia. Berangkat dari sang mastermind yang sedang high
demand, Anggy Umbara, 3 dengan berani
memvisualisasikan Indonesia dystopian.
Tahun 2036, Indonesia berubah
menjadi negara liberal dimana agama menjadi kegiatan terlarang yang dianggap
hanya menyebabkan kekacauan. Aparat keamanan juga dilarang menggunakan peluru
tajam dan hanya boleh menggunakan peluru karet yang hanya akan melumpuhkan
sementara. Kendati demikian masih ada kelompok-kelompok agama yang menjalankan
kegiatan secara tertutup. Adalah Pondok Pesantren Al-Ikhlash yang mendadak
disorot dan dituduh sebagai sarang militan yang menyebarkan teror setelah kasus
peledakan di sebuah kafe. Alif, salah satu anggota aparat keamanan dengan skill
bela diri di atas rata-rata dan punya idealisme yang tinggi, tertarik
menyelidiki kasus ini. Lam adalah wartawan media besar yang menjunjung tinggi
kebenaran meski media sering disetir oleh pemerintah. Alif dan Lam bekerja sama
untuk mengusut kasus yang melibatkan pondok pesantren tempat mereka dibesarkan
dulu. Apalagi salah satu sahabat mereka sejak dulu, Mim, masih menjadi bagian
dari pondok pesantren itu. Latar belakang yang pernah menyatukan mereka bertiga
menjadi tantangan tersendiri untuk memandang kasus ini dengan jelas dan adil.
Jika Anda mendalami agama Islam,
mungkin tak akan asing dengan nama karakter Alif, Lam, dan Mim. Ketiganya
dikenal sebagai salah satu 3 huruf kombinasi misterius atau Muqatta’at yang
memulai 29 sura Al-Qur’an. Meski sebenarnya sampai sekarang punya makna yang
misterius, beberapa Sufi mengatakan bahwa ketiganya adalah representasi dari
Allah, Jibril, dan Nabi Muhammad. Well, I’m not an expert at it, tapi dari
penggunaan Alif-Lam-Mim sebagai nama karakter, jelas bahwa Anggy punya misi
tersendiri lewat 3. Dakwah agama
Islam memang bukan hal baru dari Anggy. Kalau Anda cukup jeli, maka akan selalu
menemukan sisi ‘dakwah’-nya. Tentu saja, Anggy membungkusnya se-pop mungkin
agar menarik, dan yang paling penting, bisa dipahami dengan mudah oleh siapa
saja. Itulah keunikan (dan bagi saya, termasuk juga sebuah kehebatan) dari seorang
Anggy.
Jika membaca sinopsisnya atau menonton
separuh awal film, mungkin Anda akan merasa film ini sebenarnya menawarkan tema
yang sangat kontroversial, bahkan mungkin insulting. Namun melihatnya secara
keseluruhan, Anggy tetaplah ‘berdakwah’ dengan cara-cara yang sangat cerdas.
Jauh lebih cerdas dibandingkan upaya-upayanya selama ini. Tak hanya itu, Anggy pun menuliskan naskah
3 bersama Bounty dan Fajar Umbara
dengan sangat-sangat rapi. Diawali dengan perkenalan karakter-karakter
utamanya, seiring dengan perkenalan terhadap konflik. Agak panjang, namun tidak
lantas menjadi membosankan berkat editing yang tergolong dinamis. Tensi mulai
dibangun di paruh kedua ketika cerita berkembang menjadi investigasi yang
menarik dan bikin penasaran. Sekali lagi saya harus memberikan acungan jempol
karena menghadirkan alur investigasi yang sangat menegangkan, ditambah twist di
sana-sini yang dihadirkan di saat yang tepat dan sangat relevan dengan
keseluruhan alur cerita. Porsi tiap karakter yang ditampilkan, meski tergolong
banyak, terjaga dengan pas, sehingga tiap karakter menjadi memorable dan
berhasil mengundang simpati penonton.
Tak hanya naskah, Anggy juga
menunjukkan penyutradaraan yang begitu prima di sini. Tak heran jika tiap
aktornya benar-benar berhasil tampil all-out. Termasuk juga memanfaatkan
koreografi yang ditata oleh Cecep Arif Rahman (masih ingat duelnya dengan Iko
Uwais di The Raid 2: Berandal?). Trio
pemeran utamanya, Cornelio Sunny, Abimana Aryasatya, dan Agus Kuncoro jelas
memberikan performa yang maksimal, baik dari segi akting maupun kemampuan
beladiri. Namun jangan lupakan pemeran-pemeran pendukung yang sama kuatnya di
kedua aspek. Mulai Prisia Nasution, Tika Bravani, Donny Alamsyah, Verdi
Solaiman, dan Piet Pagau. Namun yang paling mencuri perhatian tentu saja si
cilik Bima Azriel (masih ingat Troy di segmen terakhir Princess, Bajak Laut, dan Alien, atau anak Teuku Rifnu Wikana di Di Balik 98?) yang begitu cemerlang. Tak
lupa juga Tanta Ginting yang memerankan karakter eksentrik dengan luar biasa
bikin tercengang, meski screentime-nya tergolong sedikit.
Jika Anda familiar dengan gaya
visual film-film Anggy sebelumnya, maka Anda akan menemukan hal-hal yang tak
jauh berbeda. Masih dihiasi shot-shot megah dengan editing dinamis yang jadi
sudah jadi Anggy’s stylish signature. Slow-mo dan fast-mo di hampir semua
adegan fight-nya memang lama-lama terasa berlebihan, namun untung tak sampai
jadi melelahkan dan mengganggu keseluruhan film. Kali ini Anggy juga menggunakan
colortone yang lebih nyaman di mata, tak lagi bermain-main di warna vibrant
surealis. Menghadirkan Indonesia di masa depan tentu membutuhkan visual effect
dan CGI yang tak main-main. Meski tak sepenuhnya rapi, namun secara keseluruhan
termasuk di atas rata-rata produksi film Indonesia. Apalagi ternyata kesemua
visual effect-nya dikerjakan oleh anak bangsa sendiri. Lihat saja tampilan
layar tembus pandang pada gadget dan monitor komputer. Begitu juga CGI
gedung-gedung fiktif di masa depan yang tergolong rapi. Bagi saya, hanya visual
effect adegan-adegan ledakannya saja yang masih terlihat kasar. Selebihnya, I
have to say a very good effort with worth results. Tata suara tak mengalami
kendala. Sangat berhasil menghidupkan adegan-adegan yang dinamis dan dahsyat,
meski pembagian kanal untuk menampilkan efek surround tak banyak terasa.
Secara keseluruhan, saya berani
mengakui bahwa 3 adalah karya terbaik
Anggy Umbara so far. Dengan mengangkat isu kebebasan dan kebenaran yang bold serta relevan
dengan keadaan negara manapun, disusun dalam sebuah film cerita yang menarik
untuk diikuti, dihiasi adegan-adegan fight yang memanjakan mata, serta
dialog-dialog yang padat namun tetap mudah dipahami, 3 jelas sebuah upaya yang berani, malah mungkin paling berani di
ranah film Indonesia, dan sangat berhasil.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.