Karya-karya sineas Guillermo del
Toro sering dituding style over substance. Ini wajar, melihat film-film yang
ditulis dan disutradarai (bahkan juga termasuk yang ia produseri), jelas del
Toro punya signatural visual yang cukup kuat. Tak hanya itu, del Toro juga
dikenal sebagai salah satu sineas visioner yang ‘peduli’ untuk bercerita
melalui karya-karyanya. Tak heran jika film-filmnya yang kebanyakan memang
adalah produk horor, sering menjadi semacam cult meski secara komersial tak
selalu menggembirakan. Bukan berarti del Toro menghindari film komersial.
Buktinya dia juga menggarap duologi Hellboy,
Blade II, dan yang paling ambisius, Pacific Rim. Kembali ke jalurnya di
horor dengan signatural khasnya setelah Cronos,
Mimic, The Devil’s Backbone, dan Pan’s
Labyrinth, del Toro menggarap Crimson
Peak (CP). Menggandeng Matthew Robbins yang pernah bekerja sama dengannya
lewat Mimic dan Don’t be Afraid of the Dark, CP mencampur adukkan genre horor
dengan drama romance berbumbu intrik manipulatif.
Kemunculan Thomas Sharpe di
Amerika Serikat yang misterius membuat industrialis, Carter Cushing, menolak
proposal investasi pembuatan mesin penambang ultisol (semacam lumpur merah)
yang menenggelamkan kastil milik keluarganya di Allerdale Hall, Inggris. Siapa
sangka Thomas jatuh cinta pada putri Carter, Edith dan berbalas pula. Mendapati
latar belakang keluarga Sharpe, Carter semakin menghindarkan Thomas dan Edith
dengan mengancam agar Thomas dan kakak perempuannya, Lucille, kembali pulang ke
negaranya. Merasa terancam, Thomas dan Lucille memutuskan pulang ke Allerdale
Hall. Di saat yang nyaris bersamaan, Carter ditemukan tewas di kamar mandi
dengan kondisi yang mengenaskan. Tak punya pilihan lain, Edith memutuskan untuk
menikahi Thomas dan pindah ke Allerdale Hall. Horor pun dimulai ketika Edith
menemukan semakin banyak rahasia mengerikan terjadi di kastil yang dijuluki
Crimson Peak itu.
Percampuran genre horor dan
romance drama membuat CP terasa sedikit berbeda, terutama bagi penggemar pure
horror. Alih-alih intens menghadirkan nuansa creepy atau jumpscare, del Toro
tetap konsisten dengan kepeduliannya untuk bercerita. Maka jangan kaget jika CP
menggunakan 45 menit pertamanya untuk membangun cerita yang melatari kepindahan
Edith ke kastil Crimson Peak. Namun tetap saja ada satu-dua elemen horor yang
diselipkan di paruh ini, sekedar untuk membuat penonton penasaran.
Ketika masuk ke paruh berikutnya,
cerita berjalan semakin jelas untuk sedikit demi sedikit membuka rahasia
cerita, seiring dengan “penampakan” yang semakin intens terjadi. Bagi
penonton yang sering menonton film dengan tema serupa, agaknya tidak akan
kesulitan untuk sekedar menebak rahasia film ini. Namun tetap saja CP membuat
saya, setidaknya, menantikan konfirmasi dari dugaan-dugaan saya sendiri di
klimaksnya. In short, CP berhasil membuat faktor misteri tetap menarik untuk
disimak perkembangannya. Hingga ketika semua sudah terkuak dan saya berpikir
tidak ada lagi yang menarik, CP men-treat penonton dengan bloody final showdown
yang seru dan menegangkan.
Namun bukan berarti CP tanpa
celah. Bukan, bukan faktor alur ceritanya yang seperti menggabungkan berbagai
elemen dari Bram Stoker’s Dracula, Cruel Intentions, dan Jane Eyre, tapi penggunaan karakter
untuk menggerakkan cerita. Penonton diletakkan pada sudut pandang Edith untuk
menguak misterinya. Sayangnya, karakter Edith sendiri tidak dibuat lebih
menarik ketimbang, let’s say, Thomas dan Lucille Sharpe. Karakter Edith yang
kelewat naif membuat penonton sulit untuk benar-benar bersimpati kepadanya.
Sebaliknya, Thomas dan lebih lagi, Lucille, menampilkan performa yang begitu
kuat untuk mencuri perhatian penonton. Sayangnya, Lucille tak diberi porsi yang
lebih banyak untuk mendominasi cerita dan membuat feel keseluruhan film terasa
lebih menarik. Meski screen presence-nya di sini sebenarnya sudah cukup untuk
mencuri perhatian penonton. Konklusi yang disampaikan lewat epilog Edith di
ending pun di telinga saya terdengar ‘ngaco’. I mean, after all what happened
on screen, that’s your conclusion? Sorry to say, but it’s really laughable,
even more it’s coming out from del Toro’s movie. Untung saja visualisasinya
ketika epilog itu masih bisa menyelamatkan ending CP dari kekonyolan.
Mia Wasikowska tampak begitu
cocok memerankan karakter Edith yang naif, namun masih punya cukup daya untuk
menemukan kebenaran. Karakternya agak tipikal, terutama dengan karakter yang ia
mainkan di Jane Eyre atau Stoker. Tak buruk, namun juga jelas
bukan presentasti terbaiknya. Bukan kesalahannya, tapi lebih ke penulisan
karakter yang tak membuatnya jadi lebih menarik. Sebaliknya, Jessica Chastain
justru menunjukkan salah satu performa terbaiknya sebagai Lucille. Sayang
screen presence-nya kurang, kendati lebih dari cukup untuk menjadi penarik
perhatian terkuat sepanjang film. Tom Hiddleston memberikan penampilan yang
moderate dengan kapasitas yang pas untuk perannya. Sedangkan Charlie Hunnam
sebenarnya memainkan karakter Dr. Alan McMichael yang menarik untuk digali
lebih dalam (setidaknya lewat adegan-adegan investigasi yang lebih banyak dan
mendalam, misalnya). Sayang peran karakternya sangat minim sehingga terkesan
sekedar untuk save the day.
Satu kekuatan terbesar CP adalah
visualnya. Terutama sekali desain produksi yang begitu detail dan remarkable.
Tak heran, del Toro memang sangat teliti dan peduli untuk urusan desain. Lihat
saja desain set kastil Crimson Peak yang luar biasa detail. Sayang pasca
syuting, set yang dibangun dari nol ini harus dirubuhkan karena kendala space
di studio. Del Toro sendiri mengakui bahwa set untuk CP adalah yang terbaik
yang pernah ia buat, and I have to agree to that. Tentu saja costume design
oleh Kate Hawley serta visual effect hantu-hanti yang semakin melengkapi detail
dan keindahan setnya. Sinematografi Dan Laustsen yang pernah bekerja sama
dengan del Toro di Mimic, turut
membingkai tiap detail desain dengan sempurna, berikut menyampaikan ceritanya
dengan efektif.
Tata suara tergolong cukup
memuaskan, terutama karena penggunaan fasilitas surround untuk memberi kesan
dimensi dan tentu saja kesan semakin hidup. Dengarkan saja misalnya ketika
adegan Edith melemparkan bola untuk ditangkap anjingnya, Papillon atau ketika
lolongan hantu-hantu. Terakhir, score oleh Fernando Velázquez jelas berpadu
dengan semua desain dan nuansa yang ingin dibangun oleh del Toro.
Meski mungkin agak di luar
ekspektasi terutama bagi penggemar pure horror dan cerita yang terkesan hanya ‘campur-campur’,
namun kepedulian del Toro untuk bercerita dan kepiawaiannya mempertahankan
excitement dari misteri yang ia bangun, membuat CP layak untuk disimak. Memang
bukan del Toro’s best piece (setidaknya dari segi storytelling. Sebaliknya dari
segi desain, mungkin malah jadi yang terbaik), tapi bagi penggemar yang sudah
sangat cocok dengan seleranya, CP jelas tak boleh dilewatkan.
Lihat data IMDb.