3.5/5
Based on Book
Box Office
disease
Drama
health issue
Hollywood
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
self-discovery
Socio-cultural
Summer Movie
The Jose Flash Review
Young Adult
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Me Before You
Drama romantis dengan elemen
pasien penyakit tertentu (yang seringkali mematikan) sudah menjadi bahan
tearjerker di banyak sekali film. Mulai yang sekelas FTV sampai yang timeless
seperti Dying Young, The Notebook, atau yang modern classic
macam The Fault in Our Stars. Tentu saja masing-masing dengan variasi
sub-plot atau treatment agar tidak jatuh menjadi ‘just another tearjerker
romance’. Salah satu novel tearjerker romance era 2000-an yang cukup dikenal
adalah Me Before You (MBY - 2012)
karya novelis Inggris, Jojo Moyes. Moyes sendiri menjadi salah satu dari
sedikit novelis roman yang menerima penghargaan Romantic Novel of the Year
Award dari Romantic Novelists’ Association dua kali, yaitu untuk Foreign Fruit (2004) dan The Last Letter From Your Lover (2011).
Meski mendapatkan review positif dari media, MBY sempat menuai protes dari
kalangan advokasi disability karena dianggap mempromosikan posisi pasien
disability sebagai beban masyarakat di sekitarnya dan euthanasia. Namun ini tak
menggoyahkan MGM dan New Line Cinema untuk mengadaptasinya ke layar lebar.
Nama-nama di belakangnya termasuk ‘baru’, seperti Moyes sendiri yang menulis
naskah film panjang untuk pertama kali dan sutradara Thea Sharrock yang juga
merupakan debut pertamanya di layar lebar. Daya tariknya mungkin terletak pada
aktor-aktris, seperti Emilia Clarke, Charles Dance, dan Samantha Spiro yang
populer lewat serial fenomenal Game of
Thrones, serta Sam Claflin yang sebelumnya kita kenal sebagai Finnick Odair
dari franchise The Hunger Games dan
William di franchise The Huntsman.
Berkali-kali mengalami penundaan jadwal rilis tak menyurutkan penggemar drama
romantis hingga berhasil mengumpulkan US$ 196.2 juta (and still counting) di
seluruh dunia.
Enam tahun sudah Louisa Clark bekerja di sebuah café. Ketika café terpaksa tutup, Louisa pun dirumahkan. Tanpa latar belakang pendidikan dan pengalaman yang mumpuni, padahal harus menjadi tulang punggung keluarga karena sang ayah dan ibu sudah tak lagi bekerja, sementara sang adik menjadi single mother, membuat Louisa mau tak mau menerima pekerjaan apa saja. Pilihannya hanya menjadi perawat bagi seorang pasien lumpuh dari keluarga Traynor yang dikenal kaya raya di wilayahnya. Alih-alih menjadi perawat atau fisioterapis, Louisa ternyata lebih diharapkan untuk menjadi teman William, putra mereka yang baru berusia 30 tahunan tapi harus lumpuh dari dada ke bawah setelah mengalami kecelakaan. Semenjak itu, William yang sebelumnya hidup dalam rangkaian petualangan merasa tak berguna lagi. Kekasih, sahabat, bahkan kedua orang tuanya sudah angkat tangan bagaimana lagi harus menolong Will.
Kedatangan Louisa awalnya juga
ditanggapi dengan sinis oleh Will. Namun perlahan Will menemukan sesuatu yang
menarik pada kepribadian Louisa serta potensi yang luar biasa. Along with the
time, Louisa pun tergerak untuk membuat Will kembali live bold seperti sebelum
kecelakaan dan membatalkan niatan untuk euthanasia. Sebaliknya melihat nasib
Louisa yang passion-nya seperti terbelenggu oleh keterpaksaan kondisi, Will
berniat mengajarkan ‘live bold’ kepada Louisa.
Ya, dari segi premise memang MBY
tak menawarkan sesuatu yang baru. Bagi saya pribadi, MBY bak Dying Young dengan karakter-karakter
berkepribadian lebih muda (baca: segar) dan lebih banyak momen manis ketimbang
penguras air mata. Memang ada momen dimana mau tak mau membuat penonton
tersentuh, bahkan meneterskan air mata, tapi untungnya Sharrock tak mau MBY
tenggelam dalam suasana duka yang berlebihan. Plotnya yang lebih banyak
bertutur ala novelish ketimbang filmis, sempat membuat beberapa bagian film
terasa draggy. Untungnya Sharrock menggarap tiap adegan MBY dengan manis dan
berhasil membuat saya terus-terusan tersenyum. Baik karena tingkah, pilihan
fashion, maupun celetukan-celetukan Louisa, atau pun interaksi antara Louisa dan
William yang kadang sinis, witty, namun juga manis di bagian yang lain. Tak ada
konflik karakter lain yang berarti selain antara Louisa dan William mampu
menjaga fokus penonton untuk menaruh simpati kepada keduanya.
Hal lain yang menurut saya
menarik adalah kondisi sosial keluarga Clark yang membuat Louisa terpaksa
mengalah menjadi sumber penghasilan keluarga ketimbang mengembangkan potensi
diri, menjadi semacam simbol sosial yang terjadi di negara mana saja, apalagi
di negara dunia ketiga. For that matter, MBY menawarkan semacam ‘fairytale’
yang meski belum tentu terjadi pada tiap orang, tapi setidaknya bisa menjadi
pengingat untuk memikirkan perkembangan diri juga.
Mendominasi porsi membuat Emilia
Clarke sebagai Louisa jadi daya tarik utama. Untungnya ia memang mampu menarik
perhatian penonton secara penuh. Karakter Louisa yang ceria, agak polos, tacky,
namun tulus berhasil dimainkan dengan mulus oleh Emilia. She’s definitely
adorable and lovable. Chemistry yang dibangunnya bersama Sam Claflin sebagai Will
pun termasuk kuat dan convincing, dengan perkembangan yang wajar serta masuk
akal. Sam Claflin sendiri memerankan William dengan kharisma yang pas. Meski
karakter maupun ekspresi wajahnya tak sampai membuat saya berderai air mata,
tapi dengan mudah saya bersimpati pada tiap sikap dan keputusan yang
diambilnya. Matthew Lewis sebagai Patrick menjadi supporting comedic character yang cukup menghibur.
Janet McTeer-Charles Dance sebagai Camilla-Steven Traynor, orang tua Will,
tampil menghangatkan suasana kekeluargaan, along with Brendan Coyle dan Jenna
Coleman sebagai Bernard-Katrina Clark, orang tua Louisa.
Sinematografi Remi Adefarasin dan
editing John Wilson mungkin tak ada yang benar-benar menarik ataupun baru, tapi
lebih dari cukup untuk melantunkan plotnya yang berjalan lembut dan cantik
tanpa menambah kesan draggy. Desain produksi, termasuk desain kostum punya
andil yang cukup besar dalam membuat visual MBY bernilai lebih. Above all,
tentu saja scoring Craig Armstrong yang mengalun seiring dengan flow cerita.
Lembut, cantik, dan menghanyutkan emosi di banyak kesempatan. Pilihan lagu-lagu
populer yang ditempatkan pada momen tepat sebagai soundtrack juga patut
mendapat kredit tersendiri. Tak hanya Ed Sheeran yang menyumbangkan Thinking Out Loud dan Photograph, tapi juga The Sound dari The 1975, Not Today dari Imagine Dragons, dan
banyak lagi.
MBY mungkin punya segudang cliché
dari genre romance dengan elemen pasien penyakit, tapi Moyes dan Sharrock masih
berhasil membawa MBY ke nuansa serba manis tanpa terkesan cheesy, tearjerker
yang pas tanpa kesan mendayu-dayu berlebihan, serta tentu saja konsep ‘live
bold’ yang menjadi semacam underlined reminder bagi target audience utamanya,
penonton muda.
Lihat data film ini di IMDb.