The Jose Flash Review
Sully

Januari 2009 lalu, dunia penerbangan digegerkan oleh peristiwa pendaratan darurat pesawat US Airways 1549 di atas Sungai Hudson, New York. Tak hanya pendaratan mukjizat yang mana semua nyawa penumpangnya berhasil diselamatkan, tapi juga kontroversi keputusan yang dibuat oleh sang pilot, Captain Chesley Sullenberger atau yang akrab dipanggil Sully. Kisah mukjizat ini menarik perhatian Clint Eastwood untuk diangkat ke layar lebar. Sebagai sutradara yang piawai menggarap kisah-kisah kepahlawanan kemanusiaan menjadi sosok yang begitu simpatik di mata penonton, seperti yang terakhir, American Sniper  (2014), Eastwoodmemang sutradara yang pas untuk mengangkat kisah ini. Didasarkan pada buku Highest Duty: My Search for What Really Matters yang ditulis oleh Chesley Sullenberger sendiri bersama mendiang jurnalis Jeffrey Zaslow, naskahnya disusun oleh Todd Komarnicki (Resistence – 2003 dan Perfect Stranger – 2007). Sebagai sosok Sully, dipilihlah aktor sekaliber Tom Hanks, bersama Aaron Eckhart dan Laura Linney. Daya tarik lainnya adalah keputusan untuk menggunakan kamera ALEXA 65 mm IMAX untuk hampir keseluruhan adegan.

Meski baru saja berhasil menyelesaikan misi penyelamatan atas pesawat yang didaratkan darurat di atas Sungai Hudson, Sully tak bisa tenang. Pasalnya, pihak Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (National Transportation Safety Board – NTSB) mendakwa dirinya membuat pilihan yang sangat beresiko bagi keselamatan dibandingkan opsi-opsi lebih baik yang setelah dilakukan simulasi bisa berhasil dilakukan dan mampu meminimalisir dampak terhadap penumpang. Sully dengan didukung oleh co-pilot Jeff Skiles, istrinya, Lorraine, seluruh penumpang, serta orang-orang yang telah menganggapnya sebagai pahlawan, bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah pilihan terbaik. Namun di sisi lain, Sully secara pribadi mulai gamang atas detail-detail sebelum kejadian. Bisa saja ia secara tak sadar dan refleks mengabaikan opsi-opsi lebih baik tersebut. Karirnya sebagai pilot selama 40 tahun seketika dipertaruhkan hanya dalam hitungan hari.

Menilik dari fokus cerita yang dipilih oleh Eastwood, mau tak mau saya langsung teringat pada Flight (2012) karya Robert Zemeckis yang dibintangi oleh Denzel Washington. Bedanya, jika Flight adalah murni cerita fiktif, Sully berdasarkan kisah nyata. Keuntungan bagi Flight, ia bisa secara jauh dan mendalam mengeksplor (baca: mempertajam) ranah abu-abu dari karakter sang pilot yang meski membuat pilihan terbaik dalam menghadapi bencana, tetapi harus menjadi sosok negatif karena terbukti menggunakan narkoba. Tak salah jika kemudian naskah dan aktor utama mereka diganjar nominasi Oscar. Sementara Sully masih punya pakem asli yang harus diperhatikan sebagai sebuah biopic, apalagi untuk menghindari kontroversi-kontroversi yang mungkin terjadi ketika dirilis.

Sully sebenarnya memasukkan setup-setup menarik untuk mendukung plot utama. Misalnya tuduhan atas NTSB yang terkesan mencari-cari kesalahan Sully karena faktor asuransi dan kerugian maskapai semata. Apalagi kondisi ekonomi Amerika pasca resesi. Belum lagi ketegasan Sully bahwa kejadian yang baru dialaminya adalah sebuah misi penyelamatan, bukan kecelakaan. Sejak awal NTSB seolah-olah diletakkan pada posisi antagonis, sementara Kapten Sully sebagai sosok yang mulia. Treatment flashback a la American Sniper pun awalnya terkesan hanya sebagai penjelasan kejadian dan diulang-ulang. Jika di American Sniper flashback digunakan untuk membuat penonton memahami psikologis karakter Chris Kyle secara keseluruhan, di sini digunakan Eastwood untuk memberikan penjelasan kepingan demi kepingan ingatan Sully atas kejadian yang sebenarnya. Ini menandakan karakter Sully sempat mengalami kekhawatiran akan ingatan-ingatan dirinya terhadap detail kejadian. Menarik, tapi tidak ada momen dimana kekhawatiran Sully benar-benar memuncak dan membuat penonton bisa berubah meragukan sosok Sully. Ini membuat penonton secara lurus memihak kepada Sully hingga adegan klimaks ketika pengadilan. Penonton diarahkan untuk tetap setia mendukung Sully, deg-degan bersama Sully, dan pada akhirnya ikut lega ketika Sully berhasil. Tak ada dilema moral atau ranah abu-abu yang kuat seperti yang dilakukan di Flight. Tak ada yang salah sebenarnya, apalagi dengan materi kisah nyata yang memang tak bisa bebas diutak-atik seperti kisah fiktif. Namun sebagai sebuah paket cerita yang berniat mempertanyakan mana yang lebih penting dalam keselamatan transportasi (khususnya penerbangan), Sully tidak secara kritis mengajak penontonnya berpikir dari berbagai sudut, terutama sudut NTSB yang sebenarnya juga punya concern utama terhadap perlindungan penumpang. Yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah ‘mukjizat’ yang berhasil dilakukan oleh Sully, tapi di atas segalanya; antisipasi dan pilihan yang jauh lebih aman yang bisa dijadikan pelajaran bagi pilot-pilot serta penerbangan-penerbangan berikutnya. Kegamangan Sully atas dirinya menjadi tanpa ‘rasa’ apa-apa yang mungkin bisa mempengaruhi pandangan penonton terhadap sosoknya. All’s in straightly and a very safe-mode storytelling. Alhasil mungkin penonton memang berhasil dibuat bersimpati penuh terhadap sosok Sully, serta juga pengetahuan-pengetahuan baru tentang betapa detail dan hati-hatinya semua pihak pada bidang transportasi penerbangan soal keselamatan, tapi secara keseluruhan tidak punya ‘lonjakan-lonjakan’ cerita yang benar-benar bisa membekas untuk jangka waktu yang lama.

Tom Hanks, seperti biasa tak perlu diragukan lagi kharisma aktingnya dalam memerankan sosok karakter utama, Chelsey Sullenberger. Ketegasan sekaligus keragu-raguan terhadap diri sendiri mampu ditunjukkan dengan sangat jelas dan tetap sama-sama mengundang simpati penonton. Aaron Eckhart sebagai co-pilot Jeff Skiles sebenarnya tak punya banyak porsi maupun peran menarik selain sama seperti penonton yang 100% yakin terhadap keputusan Sully. Begitu pula Laura Linney sebagai istri Sully, Lorraine, yang tak lebih dari sekedar mempertajam kekhawatiran sekaligus dukungan penonton terhadap sosok Sully. Kendati demikian, baik Eckhart maupun Linney sama-sama telah menghidupkan peran masing-masing sesuai kebutuhan.

Penggunaan kamera ALEXA IMAX 65 mm untuk hampir keseluruhan adegan tentu membuat banyak adegan terasa lebih maksimal, terutama adegan detik-detik kejadian yang meski semua penonton tahu akan berakhir seperti apa, tetap saja memberikan ketegangan yang lebih dari cukup. Tentu ini tak lepas dari sinematografi Tom Stern yang mampu memaksimalkan penggunaan kamera ALEXA IMAX. Editing Blu Murray pun membuat tiap momen terasa begitu pas dalam penyusunan adegan maupun membangun emosi penonton secukupnya. Scoring gubahan Christian Jacob dan alunan Tierney Sutton Band turut pula membuat keseluruhan Sully terasa hangat, suportif, sekaligus was-was pada porsi yang cukup. Track Flying Home dari Tierney Sutton Band yang mengiringi credit, ditambah footage-footage sosok-sosok asli dari kisah penyelamatan Sungai Hudson, semakin melengkapi perasaan lega dan kagum terhadap sosok Sully dari penonton.

Sebagai sebuah film berdasarkan kisah nyata, Sully memang berhasil membuat penonton yang paling awam soal penerbangan pun memahami permasalahan. Pun juga ia memberikan cukup banyak knowledge tentang betapa ketat, detail, dan tak main-mainnya bidang penerbangan. Sayangnya, dalam menghadirkan dilema moral, Sully terasa berusaha berjalan lurus dan pada storytelling dengan safe-mode. Mungkin begitu film berakhir ia akan memberikan impresi dan after-taste yang cukup memuaskan, tapi sulit untuk benar-benar mengingatnya secara bold untuk jangka waktu yang lama. Bagi saya pribadi, Flight masih memberikan dampak moral dilemma yang jauh lebih kuat sampai saat. Namun jika tanpa membandingkan keduanya, Sully masih menarik dan cukup penting untuk ditonton di layar lebar. Even better in IMAX, as it was intended for.

Lihat data film ini di IMDb.

The 89th Academy Awards Nominees for:

  • Sound Editing - Alan Robert Murray and Bub Asman

Diberdayakan oleh Blogger.