3.5/5
Based on a True Event
Based on Book
Biography
courtroom
Drama
Hollywood
Humanity
IMAX
Oscar 2017
Survival
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Sully
Januari 2009 lalu, dunia
penerbangan digegerkan oleh peristiwa pendaratan darurat pesawat US Airways
1549 di atas Sungai Hudson, New York. Tak hanya pendaratan mukjizat yang mana
semua nyawa penumpangnya berhasil diselamatkan, tapi juga kontroversi keputusan
yang dibuat oleh sang pilot, Captain Chesley Sullenberger atau yang akrab
dipanggil Sully. Kisah mukjizat ini menarik perhatian Clint Eastwood untuk
diangkat ke layar lebar. Sebagai sutradara yang piawai menggarap kisah-kisah
kepahlawanan kemanusiaan menjadi sosok yang begitu simpatik di mata penonton,
seperti yang terakhir, American Sniper (2014), Eastwoodmemang sutradara yang pas untuk mengangkat kisah ini. Didasarkan pada buku Highest
Duty: My Search for What Really Matters yang ditulis oleh Chesley Sullenberger
sendiri bersama mendiang jurnalis Jeffrey Zaslow, naskahnya disusun oleh Todd
Komarnicki (Resistence – 2003 dan Perfect Stranger – 2007). Sebagai sosok
Sully, dipilihlah aktor sekaliber Tom Hanks, bersama Aaron Eckhart dan Laura
Linney. Daya tarik lainnya adalah keputusan untuk menggunakan kamera ALEXA 65
mm IMAX untuk hampir keseluruhan adegan.
Meski baru saja berhasil menyelesaikan misi penyelamatan atas pesawat yang didaratkan darurat di atas Sungai Hudson, Sully tak bisa tenang. Pasalnya, pihak Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (National Transportation Safety Board – NTSB) mendakwa dirinya membuat pilihan yang sangat beresiko bagi keselamatan dibandingkan opsi-opsi lebih baik yang setelah dilakukan simulasi bisa berhasil dilakukan dan mampu meminimalisir dampak terhadap penumpang. Sully dengan didukung oleh co-pilot Jeff Skiles, istrinya, Lorraine, seluruh penumpang, serta orang-orang yang telah menganggapnya sebagai pahlawan, bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah pilihan terbaik. Namun di sisi lain, Sully secara pribadi mulai gamang atas detail-detail sebelum kejadian. Bisa saja ia secara tak sadar dan refleks mengabaikan opsi-opsi lebih baik tersebut. Karirnya sebagai pilot selama 40 tahun seketika dipertaruhkan hanya dalam hitungan hari.
Menilik dari fokus cerita
yang dipilih oleh Eastwood, mau tak mau saya langsung teringat pada Flight (2012) karya Robert Zemeckis yang dibintangi oleh
Denzel Washington. Bedanya, jika Flight
adalah murni cerita fiktif, Sully
berdasarkan kisah nyata. Keuntungan bagi Flight, ia bisa secara jauh dan mendalam mengeksplor (baca: mempertajam)
ranah abu-abu dari karakter sang pilot yang meski membuat pilihan terbaik dalam
menghadapi bencana, tetapi harus menjadi sosok negatif karena terbukti
menggunakan narkoba. Tak salah jika kemudian naskah dan aktor utama mereka
diganjar nominasi Oscar. Sementara Sully
masih punya pakem asli yang harus diperhatikan sebagai sebuah biopic, apalagi
untuk menghindari kontroversi-kontroversi yang mungkin terjadi ketika dirilis.
Sully sebenarnya memasukkan
setup-setup menarik untuk mendukung plot utama. Misalnya tuduhan atas NTSB yang
terkesan mencari-cari kesalahan Sully karena faktor asuransi dan kerugian
maskapai semata. Apalagi kondisi ekonomi Amerika pasca resesi. Belum lagi
ketegasan Sully bahwa kejadian yang baru dialaminya adalah sebuah misi
penyelamatan, bukan kecelakaan. Sejak awal NTSB seolah-olah diletakkan pada
posisi antagonis, sementara Kapten Sully sebagai sosok yang mulia. Treatment
flashback a la American Sniper pun
awalnya terkesan hanya sebagai penjelasan kejadian dan diulang-ulang. Jika di American
Sniper flashback digunakan untuk membuat
penonton memahami psikologis karakter Chris Kyle secara keseluruhan, di sini
digunakan Eastwood untuk memberikan penjelasan kepingan demi kepingan ingatan Sully
atas kejadian yang sebenarnya. Ini menandakan karakter Sully sempat mengalami
kekhawatiran akan ingatan-ingatan dirinya terhadap detail kejadian. Menarik, tapi
tidak ada momen dimana kekhawatiran Sully benar-benar memuncak dan membuat
penonton bisa berubah meragukan sosok Sully. Ini membuat penonton secara lurus
memihak kepada Sully hingga adegan klimaks ketika pengadilan. Penonton
diarahkan untuk tetap setia mendukung Sully, deg-degan bersama Sully, dan pada
akhirnya ikut lega ketika Sully berhasil. Tak ada dilema moral atau ranah
abu-abu yang kuat seperti yang dilakukan di Flight. Tak ada yang salah
sebenarnya, apalagi dengan materi kisah nyata yang memang tak bisa bebas
diutak-atik seperti kisah fiktif. Namun sebagai sebuah paket cerita yang berniat
mempertanyakan mana yang lebih penting dalam keselamatan transportasi
(khususnya penerbangan), Sully tidak
secara kritis mengajak penontonnya berpikir dari berbagai sudut, terutama sudut
NTSB yang sebenarnya juga punya concern utama terhadap perlindungan penumpang.
Yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah ‘mukjizat’ yang berhasil dilakukan
oleh Sully, tapi di atas segalanya; antisipasi dan pilihan yang jauh lebih aman
yang bisa dijadikan pelajaran bagi pilot-pilot serta penerbangan-penerbangan
berikutnya. Kegamangan Sully atas dirinya menjadi tanpa ‘rasa’ apa-apa yang
mungkin bisa mempengaruhi pandangan penonton terhadap sosoknya. All’s in
straightly and a very safe-mode storytelling. Alhasil mungkin penonton memang
berhasil dibuat bersimpati penuh terhadap sosok Sully, serta juga
pengetahuan-pengetahuan baru tentang betapa detail dan hati-hatinya semua pihak
pada bidang transportasi penerbangan soal keselamatan, tapi secara keseluruhan tidak
punya ‘lonjakan-lonjakan’ cerita yang benar-benar bisa membekas untuk jangka
waktu yang lama.
Tom Hanks, seperti biasa tak
perlu diragukan lagi kharisma aktingnya dalam memerankan sosok karakter utama, Chelsey
Sullenberger. Ketegasan sekaligus keragu-raguan terhadap diri sendiri mampu
ditunjukkan dengan sangat jelas dan tetap sama-sama mengundang simpati
penonton. Aaron Eckhart sebagai co-pilot Jeff Skiles sebenarnya tak punya
banyak porsi maupun peran menarik selain sama seperti penonton yang 100% yakin
terhadap keputusan Sully. Begitu pula Laura Linney sebagai istri Sully,
Lorraine, yang tak lebih dari sekedar mempertajam kekhawatiran sekaligus
dukungan penonton terhadap sosok Sully. Kendati demikian, baik Eckhart maupun
Linney sama-sama telah menghidupkan peran masing-masing sesuai kebutuhan.
Penggunaan kamera ALEXA IMAX
65 mm untuk hampir keseluruhan adegan tentu membuat banyak adegan terasa lebih
maksimal, terutama adegan detik-detik kejadian yang meski semua penonton tahu
akan berakhir seperti apa, tetap saja memberikan ketegangan yang lebih dari
cukup. Tentu ini tak lepas dari sinematografi Tom Stern yang mampu
memaksimalkan penggunaan kamera ALEXA IMAX. Editing Blu Murray pun membuat tiap
momen terasa begitu pas dalam penyusunan adegan maupun membangun emosi penonton
secukupnya. Scoring gubahan Christian Jacob dan alunan Tierney Sutton Band turut
pula membuat keseluruhan Sully terasa
hangat, suportif, sekaligus was-was pada porsi yang cukup. Track Flying
Home dari Tierney Sutton Band yang mengiringi
credit, ditambah footage-footage sosok-sosok asli dari kisah penyelamatan
Sungai Hudson, semakin melengkapi perasaan lega dan kagum terhadap sosok Sully
dari penonton.
Sebagai sebuah film
berdasarkan kisah nyata, Sully memang
berhasil membuat penonton yang paling awam soal penerbangan pun memahami
permasalahan. Pun juga ia memberikan cukup banyak knowledge tentang betapa
ketat, detail, dan tak main-mainnya bidang penerbangan. Sayangnya, dalam
menghadirkan dilema moral, Sully terasa
berusaha berjalan lurus dan pada storytelling dengan safe-mode. Mungkin begitu
film berakhir ia akan memberikan impresi dan after-taste yang cukup memuaskan,
tapi sulit untuk benar-benar mengingatnya secara bold untuk jangka waktu yang
lama. Bagi saya pribadi, Flight masih
memberikan dampak moral dilemma yang jauh lebih kuat sampai saat. Namun jika
tanpa membandingkan keduanya, Sully
masih menarik dan cukup penting untuk ditonton di layar lebar. Even better in
IMAX, as it was intended for.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Sound Editing - Alan Robert Murray and Bub Asman