3/5
courtroom
Drama
feminism
Friendship
Hindi
Law
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pink
Ada alasan mengapa tak banyak
court drama atau drama berlatarkan ruang persidangan dibuat. Selain menyangkut
keahlian profesi khusus yang artinya harus dibuat dengan detail yang tidak
main-main, court drama juga tak mampu menjangkau range penonton yang terlalu
luas karena memang tak banyak yang tertarik dengan intrik-intrik perkara hukum
dan ruang persidangan. Padahal mau tak mau sebagai warga negara, tentu semua
orang seharusnya paham dengan hukum yang berlaku di wilayah tinggalnya.
Beberapa film memilih menggabungkannya dengan sub-genre lain sehingga terasa
lebih accessible. Most of them are family-themed karena memang lebih mudah
untuk menarik simpati sekaligus menggerakkan emosi penonton karena faktor
kedekatan (well, siapa sih yang tak relate dengan isu-isu keluarga?). Contoh
yang paling mudah diingat karena tergolong paling baru dirilis adalah The Judge (2014) yang dibintangi oleh
Robert Downey, Jr. dan Robert Duvall. Sinema Hindi pun tak mau kalah mencoba
menggabungkan genre court drama dengan isu-isu sosial. Pink yang disutradarai dan ditulis naskahnya oleh sineas Bengali,
Aniruddha Roy Chowdhury, dibantu oleh Ritesh Shah (Kahaani, D-Day, Airlift, dan Te3n) ini mengangkat tema feminisme di balik kasus perkosaan yang
sempat marak di tanah Hindustan. Dengan dukungan aktor sekaliber Amitabh
Bachchan dan model/aktris berbahasa Telugu dan Telugu yang makin populer
setelah tampil di film Hindi, Baby
(2015) lalu, Taapsee Pannu, Pink dengan
segera menjadi buah bibir para kritikus serta meraih sukses komersil di
negaranya.
Film dibuka dengan tiga gadis muda; Minal, Falak, dan Andrea yang tinggal di sebuah rumah sewaan di kawasan perumahan pinggir kota. Hidup mereka yang semula tentram mendadak menjadi penuh teror, termasuk sang induk semang yang sering mendapatkan telepon gelap untuk mengusir mereka bertiga dengan tuduhan bukan gadis baik-baik. Ketika melaporkan ke polisi, mereka bertiga justru harus menghadapi tuntutan hukum dari keponakan seorang politisi berpengaruh di kawasan India Selatan, Rajveer. Barulah terkuak kejadian yang melibatkan ketiga gadis ini dengan Rajveer dan teman-temannya. Sayang keadilan tak berpihak kepada Minal dan kawan-kawan. Hanya seorang pengacara yang sudah pensiun, yang kebetulan tetangga mereka bertiga yang percaya dan peduli dengan nasib mereka, Deepak Sehgal. Ia sendiri punya masalah pribadi yang tak kalah serius. Mulai bipolar hingga sang istri yang sedang sakit keras. Tidak hanya nasib mereka bertiga, pengadilan ini juga menentukan definisi kesetaraan wanita dalam masyarakat (India) secara luas.
Tema sosial tentang feminisme di
tengah isu pemerkosaan yang marak di India tentu menjadi daya tarik tersendiri
bagi Pink selain sekedar court-drama
biasa. Apalagi ternyata ia punya naskah yang cerdas dalam membalikkan pola
pikir tentang keadilan persepsi terhadap kaum wanita dalam masyarakat lewat argument-argumen
yang disampaikan oleh Deepak Sehgal. Kritis, tajam, cerdas, dan relevan.
Sayangnya, hanya sampai di situ saja keunggulan Pink. Selebihnya, ia lebih banyak didominasi oleh minus-minus yang
membuat alurnya berjalan kurang lancar. Sebelum memasuki babak persidangannya, Pink dibuka dengan setup thriller yang
terlalu bertele-tele, dengan pace yang kurang efektif sebagai sebuah thriller
yang gripping. Tujuan utama untuk membuat penonton penasaran dengan apa yang
terjadi yang menjadi titik mula kasus sudah terlanjur menguap duluan sebelum
mencapai klimaksnya. Apalagi ini semua disampaikan dalam durasi yang cukup
panjang, yaitu satu jam pertama. Baru ketika masuk ke babak persidangan, Pink menjadi lebih menarik untuk
disimak, apalagi argumen-argumen dari Deepak Sehgal yang membuat saya
menebak-nebak ke mana arah pertanyaan-pertanyaannya akan berujung. Tak semuanya
terkesan terlalu intriguing dan cerdas, tapi berjalan pada koridor yang masih
relevan. Kelemahan berikutnya terletak pada sub-plot tentang pribadi Deepak
Sehgal. Mengidap bipolar dan kondisi istri yang sedang sakit keras terasa hanya
sekedar gimmick tambahan untuk menambah unsur dramatis (yang ternyata juga tak
terlalu berefek, eventually), tanpa punya relevansi terhadap perkembangan
karakter Deepak, apalagi terhadap kasus Minal.
Tak perlu mempertanyakan performa
seorang Amitabh Bachchan yang seperti biasa, tampil penuh kharisma. Apalagi
menjadi seorang yang lebih banyak diam, mengeluarkan suara hanya seperlunya,
dan cenderung misterius, Bachchan tampak mengancam sekaligus murah hati. Aura
terkuat film terletak pada karakter Deepak yang dibawakannya. Tapsee Pannu
sebagai Minal pun menampilkan performa seorang gadis berkarakter kuat dan
berani, tapi juga bisa rapuh dengan cukup convincing. Begitu juga Kirti Kulhari
sebagai Falak Ali dan Andrea Tariang sebagai Andrea yang mendukung dengan
kapasitas sesuai dengan porsi masing-masing. Pun juga chemistry persahabatan
ketiganya yang berhasil dijalin dengan kuat. Di lini berikutnya ada Piyush
Mishra sebagai Prashant Mehra (pengacara Rajveer), Angad Bedi sebagai Rajveer
Singh, dan Mamta Malik sebagai Sarla Premchand (polisi Haryanvi) turut
memberikan performa yang tak kalah mencuri perhatian penonton dengan porsi
masing-masing.
Sinematografi Abhik Mukhopadhyay
termasuk efektif dalam bercerita dan menambahkan dramatisasi yang pas di
beberapa bagian yang perlu. Sayang editing Bodhaditya Banerjee belum sepenuhnya
berhasil di tiap momen. Di babak court drama, ia mampu membuat suasana menjadi
menegangkan, asyik untuk diikuti, dan cukup klimaks. Namun sebaliknya, masih
gagal mengeksekusi adegan-adegan thriller yang dijadikan sebagai setup cerita
sehingga kurang terasa gripping. Belum lagi transisi adegan yang juga jauh dari
kesan dinamis. Musik dari Shantanu Moitra, Faiza Mujahid, dan Anupam Roy cukup
dalam membangun nuansa lirih dan ketegangan yang dihadirkan, tapi belum ada
yang sampai tahap memorable dalam benak untung jangka waktu yang panjang.
Lewat isu yang disuarakan dengan
berani, kritis, dan cukup cerdas, utamanya dalam mengubah keadilan persepsi
terhadap wanita di tengah kondisi sosial India beberapa tahun belakangan, wajar
jika Pink menarik perhatian, bahkan
pujian tak henti-hentinya ditujukan kepadanya. Namun saya harus jujur pula
bahwa ia tak sepenuhnya sempurna. Intensi yang baik jika dieksekusi dengan
kurang tepat hasilnya tentu juga tak maksimal. Terutama babak setup sebagai
sebuah thriller yang terlalu lama dan bertele-tele, dan sub-plot yang coba
dihadirkan tapi tak terlalu terasa relevan dengan plot utama sehingga terasa
sia-sia. Nevertheless, Pink masih
menjadi salah satu film penting tahun ini. Apalagi jika Anda merindukan court
drama yang berbobot dan semakin jarang dibuat, Pink rasanya sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.