The Jose Flash Review
Operation Chromite
[인천상륙작전]

Perang Korea boleh jadi cukup penting dalam sejarah dunia, mengingat sampai sekarang pihak yang berseteru, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara masih saling bergejolak. Namun rupanya bagi Amerika Serikat, yang mana sebenarnya punya andil yang cukup besar dalam Perang Korea, lebih memilih untuk nyaris melupakannya. Bandingkan dengan Perang Vietnam yang lebih sering dibahas. Padahal di Perang Korea sendiri, Amerika Serikat mengerahkan sekitar 2 juga prajurit. Terhitung Amerika Serikat baru sekali mengangkat tema ini ke layar lebar, yaitu lewat Inchon (1981) yang disutradarai Terence Young dengan Laurence Olivier sebagai Jendral Douglas MacArthur. Sayangnya, film ini pun dianggap terlalu absurd untuk dikenang. Baru ketika sinema Korea Selatan melesat, ada inisiatif untuk kembali mengangkatnya ke layar lebar. Taewon Entertainment selaku studio menunjuk John H. Lee alias Lee Jae-han (The Run Cuts Deep, A Moment to Remember, Sayonara Itsuka, dan 71 Into the Fire) sebagai sutradara dan naskah yang dibantu oleh Lee Man-hee yang mana ini merupakan kerjasama kali ketiga dengan Lee Jae-han. Selain memasang aktor/model Lee Jung-jae (Il Mare dan TheThieves), project bertitel Operation Chromite (OC) ini juga menggaet aktor Hollywood, Liam Neeson untuk mengisi peran Jendral Douglas MacArthur sekaligus tentu saja, daya tarik tersendiri untuk pasar internasional.

Tahun 1950, Korea Utara mendapatkan dukungan militer dari Rusia sementara Cina sudah keluar dari Korea Selatan. Sekutu yang berbasis di Tokyo di bawah pimipinan Jendral Douglas MacArthur memutuskan untuk membantu Korea Selatan dengan menyerang kota Incheon yang merupakan kota pelabuhan. Misi bernama Chromite ini tergolong sulit dengan tingkat keberhasilan 1:5.000. Salah satunya faktor medan yang begitu sempit. Untuk memuluskan misi ini, MacArthur mengutus delapan orang mata-mata asal Korea Selatan untuk menyusupi tubuh militer Korea Utara yang dikomandani oleh Lim Gye-jin. Dipimpin oleh Kapten Jang Hak-soo yang pernah mendapatkan pelatihan militer Soviet, tugas dari operasi bernama X-ray ini mencari tahu letak pertahanan Korea Utara serta taktik perang mereka. Rencana MacArthur yang tergolong nekad ini menjadi pertanyaan tersendiri dari kolega-koleganya. Mulai dugaan ingin mendapatkan Normandia-nya sendiri sampai mengincar kursi kepresidenan. Tak peduli dengan berbagai kecurigaan, MacArthur terus melaju dengan rencanannya sendiri. Tentu misi berbahaya ini sangat beresiko, baik bagi pasukan Sekutu maupun para mata-mata yang bersentuhan langsung dengan subjek. Apalagi Lim Gye-jin dikenal komandan yang bengis dan tak segan-segan menghabisi siapa saja, termasuk anak buahnya sendiri, jika tidak puas dengan hasil kerja mereka.

Sebagai sebuah film sejarah, OC rupanya lebih tertarik untuk mengangkat sisi-sisi menghibur ketimbang runtutan plot. Bahkan karakter-karakter utama yang dipasang pun hanya diperkenalkan seperlunya. Ia tak merasa punya cukup waktu untuk berinvestasi terlalu dalam lewat perkembangan karakter. Maka yang Anda dapatkan adalah cukup tahu karakter-karakternya termasuk kubu yang mana dan satu-dua adegan sentimental sekedar untuk menyentuh emosional penonton, simply karena faktor humanism semata. OC lebih memilih menginvestasikan durasinya untuk mengaduk-aduk adrenalin (sekaligus sesekali emosi) penonton lewat penyajian adegan-adegan espionage thriller-nya yang begitu gripping. Ditata dengan komposisi yang pas untuk membangun ketegangan serta klimaks-klimaks yang sadis dan ‘menggila’, suguhan thriller yang mendebarkan bisa dibilang digeber sejak adegan pembuka hingga penyelesaiannya. Apalagi adegan-adegan aksi OC ditata dengan sangat baik sehingga impact-nya ke penonton pun terasa semakin maksimal. Begitu pula adegan-adegan humanis menyentuh yang sengaja diselipkan di sela-sela adegan thriller yang meski bersifat generik di mana-mana, tapi tetap saja berhasil menguras emosi penonton sehingga setidaknya bikin berkaca-kaca.

Perhatian utama penonton tentu tertuju pada performance Lee Jung-Jae sebagai Jang Hak-soo. Jung-jae memberikan kharisma yang lebih dari layak untuk karakter utama, meski tak punya kedalaman lebih selain yang terlihat jelas di layar. Mengisi peran antagonis utama, Lim Gye-jin, Lee Beom-soo pun tampil memikat. Aura kebengisan tanpa ampun begitu terpancar kuat berkat performance-nya. Liam Neeson sebagai Jendral Douglas MacArthur mungkin terkesan sekedar menjadi bintang tamu semata. Lebih banyak berfungsi untuk menyampaikan quote-quote mutiara patriotik, setidaknya fungsi ‘menarik perhatian’ sudah cukup berhasil. Terakhir, Jin Se-yeon sebagai Han Chae-seon juga cukup menarik. Meski transformasi karakter dan kisah asmaranya tidak ditulis dengan detail yang cukup meyakinkan, tapi cukup mampu direpresentasikan lewat aktingnya.

Untuk tema perang, Park Jang-hyuck menyajikan sinematografi yang bergerak dinamis dan agak shaky. Di banyak kesempatan ini jelas punya efek thrill yang lebih mencekam dan brutality menjadi terkesan semakin membabi buta. Editing dari Steve M. Choe dan Kim Woo-hyun pun mendukung momen-momen mencekam dengan momentum yang pas. Membangun nuansa 50’an, desain produksi Choi Ki-ho mungkin tak begitu ditonjolkan, tapi lebih dari cukup untuk sekedar tampil meyakinkan. Visual effect mungkin tidak sepenuhnya terlihat halus, tapi secara keseluruhan termasuk lebih dari layak. Scoring Lee Dong-june terdengar begitu megah, epik, stirring di momen-momen thrilling, sekaligus menyentuh perasaan penonton di part-part emosionalnya. Mungkin terdengar generik sejenis scoring-scoring gubahan Hans Zimmer dan agak overused untuk part-part emosional, but to me it’s still working as it was intended to be.

Menyajikan cerita sejarah dengan pendekatan murni hiburan, OC mungkin tak akan memuaskan penonton yang mengharapkan perkembangan karakter-karakter utama yang kuat atau detail kronologis sejarah yang  akurat. Bisa jadi ini memang disengaja untuk menghindari kontroversi berlebihan mengingat konflik Korea Selatan-Korea Utara masih terus berlangsung sampai saat ini dan masih menjadi tema yang sensitif untuk diangkat. Namun dengan pendekatan ini pula, OC bisa menjangkau penonton yang jauh lebih luas lagi. Sekedar membuat penonton tahu tentang inti dari perang kemudian mengajak  untuk merasakan rollercoaster adrenalin sekeras batu tanpa henti sekaligus dibuat mengharu biru, seperti kebanyakan film Korea Selatan, OC menjadi sajian sejarah yang sangat menghibur. Itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan kesan tersendiri bagi saya. Go see and experience it!

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.