4/5
Action
Asia
Based on a True Event
Blockbuster
Box Office
Drama
Espionage
History
Humanity
patriotism
Pop-Corn Movie
South Korea
The Jose Flash Review
Thriller
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Operation Chromite
[인천상륙작전]
Perang Korea boleh jadi cukup
penting dalam sejarah dunia, mengingat sampai sekarang pihak yang berseteru,
yaitu Korea Selatan dan Korea Utara masih saling bergejolak. Namun rupanya bagi
Amerika Serikat, yang mana sebenarnya punya andil yang cukup besar dalam Perang
Korea, lebih memilih untuk nyaris melupakannya. Bandingkan dengan Perang
Vietnam yang lebih sering dibahas. Padahal di Perang Korea sendiri, Amerika
Serikat mengerahkan sekitar 2 juga prajurit. Terhitung Amerika Serikat baru
sekali mengangkat tema ini ke layar lebar, yaitu lewat Inchon (1981) yang disutradarai Terence Young dengan Laurence
Olivier sebagai Jendral Douglas MacArthur. Sayangnya, film ini pun dianggap
terlalu absurd untuk dikenang. Baru ketika sinema Korea Selatan melesat, ada
inisiatif untuk kembali mengangkatnya ke layar lebar. Taewon Entertainment
selaku studio menunjuk John H. Lee alias Lee Jae-han (The Run Cuts Deep, A Moment
to Remember, Sayonara Itsuka, dan
71 Into the Fire) sebagai sutradara dan
naskah yang dibantu oleh Lee Man-hee yang mana ini merupakan kerjasama kali
ketiga dengan Lee Jae-han. Selain memasang aktor/model Lee Jung-jae (Il Mare dan TheThieves), project bertitel Operation
Chromite (OC) ini juga menggaet aktor Hollywood, Liam Neeson untuk mengisi peran
Jendral Douglas MacArthur sekaligus tentu saja, daya tarik tersendiri untuk
pasar internasional.
Tahun 1950, Korea Utara mendapatkan dukungan militer dari Rusia sementara Cina sudah keluar dari Korea Selatan. Sekutu yang berbasis di Tokyo di bawah pimipinan Jendral Douglas MacArthur memutuskan untuk membantu Korea Selatan dengan menyerang kota Incheon yang merupakan kota pelabuhan. Misi bernama Chromite ini tergolong sulit dengan tingkat keberhasilan 1:5.000. Salah satunya faktor medan yang begitu sempit. Untuk memuluskan misi ini, MacArthur mengutus delapan orang mata-mata asal Korea Selatan untuk menyusupi tubuh militer Korea Utara yang dikomandani oleh Lim Gye-jin. Dipimpin oleh Kapten Jang Hak-soo yang pernah mendapatkan pelatihan militer Soviet, tugas dari operasi bernama X-ray ini mencari tahu letak pertahanan Korea Utara serta taktik perang mereka. Rencana MacArthur yang tergolong nekad ini menjadi pertanyaan tersendiri dari kolega-koleganya. Mulai dugaan ingin mendapatkan Normandia-nya sendiri sampai mengincar kursi kepresidenan. Tak peduli dengan berbagai kecurigaan, MacArthur terus melaju dengan rencanannya sendiri. Tentu misi berbahaya ini sangat beresiko, baik bagi pasukan Sekutu maupun para mata-mata yang bersentuhan langsung dengan subjek. Apalagi Lim Gye-jin dikenal komandan yang bengis dan tak segan-segan menghabisi siapa saja, termasuk anak buahnya sendiri, jika tidak puas dengan hasil kerja mereka.
Sebagai sebuah film sejarah, OC
rupanya lebih tertarik untuk mengangkat sisi-sisi menghibur ketimbang runtutan
plot. Bahkan karakter-karakter utama yang dipasang pun hanya diperkenalkan
seperlunya. Ia tak merasa punya cukup waktu untuk berinvestasi terlalu dalam
lewat perkembangan karakter. Maka yang Anda dapatkan adalah cukup tahu
karakter-karakternya termasuk kubu yang mana dan satu-dua adegan sentimental sekedar
untuk menyentuh emosional penonton, simply karena faktor humanism semata. OC
lebih memilih menginvestasikan durasinya untuk mengaduk-aduk adrenalin (sekaligus
sesekali emosi) penonton lewat penyajian adegan-adegan espionage thriller-nya
yang begitu gripping. Ditata dengan komposisi yang pas untuk membangun
ketegangan serta klimaks-klimaks yang sadis dan ‘menggila’, suguhan thriller
yang mendebarkan bisa dibilang digeber sejak adegan pembuka hingga
penyelesaiannya. Apalagi adegan-adegan aksi OC ditata dengan sangat baik
sehingga impact-nya ke penonton pun terasa semakin maksimal. Begitu pula
adegan-adegan humanis menyentuh yang sengaja diselipkan di sela-sela adegan
thriller yang meski bersifat generik di mana-mana, tapi tetap saja berhasil
menguras emosi penonton sehingga setidaknya bikin berkaca-kaca.
Perhatian utama penonton tentu tertuju
pada performance Lee Jung-Jae sebagai Jang Hak-soo. Jung-jae memberikan
kharisma yang lebih dari layak untuk karakter utama, meski tak punya kedalaman
lebih selain yang terlihat jelas di layar. Mengisi peran antagonis utama, Lim
Gye-jin, Lee Beom-soo pun tampil memikat. Aura kebengisan tanpa ampun begitu
terpancar kuat berkat performance-nya. Liam Neeson sebagai Jendral Douglas
MacArthur mungkin terkesan sekedar menjadi bintang tamu semata. Lebih banyak
berfungsi untuk menyampaikan quote-quote mutiara patriotik, setidaknya fungsi ‘menarik
perhatian’ sudah cukup berhasil. Terakhir, Jin Se-yeon sebagai Han Chae-seon juga
cukup menarik. Meski transformasi karakter dan kisah asmaranya tidak ditulis
dengan detail yang cukup meyakinkan, tapi cukup mampu direpresentasikan lewat
aktingnya.
Untuk tema perang, Park
Jang-hyuck menyajikan sinematografi yang bergerak dinamis dan agak shaky. Di
banyak kesempatan ini jelas punya efek thrill yang lebih mencekam dan brutality
menjadi terkesan semakin membabi buta. Editing dari Steve M. Choe dan Kim
Woo-hyun pun mendukung momen-momen mencekam dengan momentum yang pas. Membangun
nuansa 50’an, desain produksi Choi Ki-ho mungkin tak begitu ditonjolkan, tapi
lebih dari cukup untuk sekedar tampil meyakinkan. Visual effect mungkin tidak
sepenuhnya terlihat halus, tapi secara keseluruhan termasuk lebih dari layak.
Scoring Lee Dong-june terdengar begitu megah, epik, stirring di momen-momen
thrilling, sekaligus menyentuh perasaan penonton di part-part emosionalnya.
Mungkin terdengar generik sejenis scoring-scoring gubahan Hans Zimmer dan agak
overused untuk part-part emosional, but to me it’s still working as it was
intended to be.
Menyajikan cerita sejarah dengan
pendekatan murni hiburan, OC mungkin tak akan memuaskan penonton yang
mengharapkan perkembangan karakter-karakter utama yang kuat atau detail
kronologis sejarah yang akurat. Bisa
jadi ini memang disengaja untuk menghindari kontroversi berlebihan mengingat
konflik Korea Selatan-Korea Utara masih terus berlangsung sampai saat ini dan
masih menjadi tema yang sensitif untuk diangkat. Namun dengan pendekatan ini
pula, OC bisa menjangkau penonton yang jauh lebih luas lagi. Sekedar membuat
penonton tahu tentang inti dari perang kemudian mengajak untuk merasakan rollercoaster adrenalin sekeras batu tanpa
henti sekaligus dibuat mengharu biru, seperti kebanyakan film Korea Selatan, OC
menjadi sajian sejarah yang sangat menghibur. Itu sudah lebih dari cukup untuk
memberikan kesan tersendiri bagi saya. Go see and experience it!
Lihat data film ini di IMDb.