4/5
Blockbuster
Box Office
Comedy
Drama
feminism
Hollywood
mature relationship
motherhood
Parenting
Pop-Corn Movie
Sex
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bad Moms
Anda pernah mendengar istilah
reverse psychology atau psikologi kebalikan? Pada intinya, ini merupakan teknik
melakukan/meyakini sesuatu yang merupakan kebalikan dari yang diinginkan,
dengan harapan subjek melakukan hal yang ditujukan. Di manga/anime/dorama GTO: Great Teacher Onizuka, teori ini
pernah diterapkan pada subjek guru. Hollywood pun pernah mengangkat tema serupa
di Bad Teacher (2011) yang menurut
saya hasilnya sangat-sangat buruk. Konsep inappropriate stuffs untuk mencapai
good purpose gagal menjadi sesuatu yang memikat. Sejak itu, jujur saya agak
skeptis dengan Bad Moms (BM) ketika
pertama kali merilis trailer.
Ditulis dan disutradarai oleh duo
Jon Lucas-Scott More yang dikenal lewat Four
Christmases (2008), Ghosts of
Girlfriends Past (2009), The
Change-Up (2011), 21 & Over (2013),
dan tentu saja yang paling sukses, The
Hangover Trilogy. Dengan portofolio yang demikian, sebenarnya tak perlu
diragukan kepiawaian mereka dalam meracik guyonan-guyonan dewasa gila-gilaan
pengocok perut. Namun memasukkan formula-formula ‘nakal’ dan anonoh ke dalam
sosok ibu-ibu rumah tangga tentu punya sensitifitas resiko tinggi. Apalagi bagi
kita, penganut budaya Timur, yang bahkan punya ungkapan ‘surga berada di
telapak kaki ibu’. Belum lagi BM ternyata punya sejarah yang kurang meyakinkan.
Hendak diproduksi oleh Judd Apatow dan didistribusikan lewat Paramount yang
akhirnya sama-sama mundur, beruntung produksi dilanjutkan oleh Suzanne Todd,
Bill Block, dengan dukungan dari Huayi Brothers Pictures dan STX Entertainment
bersedia menjadi distributor di Amerika Utara. Somehow, penghasilan sebesar US$ 158 juta di
seluruh dunia dari budget yang ‘hanya’ US$ 20 juta saja tentu membuat rasa
penasaran saya tumbuh lagi.
Dari luar, Amy Mitchell mungkin
tampak seperti sosok ibu modern yang ideal. Tak hanya mengurusi kedua anaknya
yang mulai beranjak remaja, Jane dan Dylan, ia juga bekerja paruh waktu sebagai
sales representative di sebuah perusahaan kopi. Sementara sang suami yang
bekerja di rumah lebih sering tampak menikmati hidup santai. Tantangan datang
dari ketua Asosiasi Orang Tua dan Guru (PTA- Parents and Teachers Association),
Gwendolyn yang perfeksionis dan super hati-hati terhadap segala hal yang
berkaitan dengan anak-anak. Gara-gara having a very bad day, Amy muak dengan sikap
Gwendolyn yang semakin berlebihan dan cenderung mengarah ke bully. Beruntung ia
bertemu Carla, seorang single mom yang terlihat santai bin genit, dan Kiki, ibu
rumah tangga dari empat orang anak yang mengagumi sikap Amy terhadap Gwendolyn.
Siapa sangka dari acara minum-minum penghilang stress, ketiganya semakin dekat
dan bertekad menjadi ibu-ibu yang tak peduli lagi dengan berbagai tuntutan
sehari-hari.
Langkah Amy membuat Gwendolyn bersama gengnya,
Stacy dan Vicky makin geram. Puncaknya Amy mencalonkan diri menjadi ketua
Asosiasi Orang Tua dan Guru yang baru, menantang Gwendolyn. Persaingan pun
semakin meruncing dan mempengaruhi hubungan Amy dengan anak-anaknya. Amy berada
pada pilihan sulit, antara melawan geng Gwendolyn dan mengubah pola pikir ibu-ibu
yang lain tentang sosok ibu rumah tangga yang sempurna atau anak-anak yang
selalu disayanginya.
Di permukaan terluarnya, BM
meemang berhasil menyuguhkan humor-humor yang benar-benar menggelitik syaraf
tawa. Mulai menu utama humor seks yang tidak cuma asal vulgar, tapi memang lucu
bahkan inovatif, misalnya analogi uncircumcised penis lewat hoodie, sampai
humor-humor bereferensi pop culture yang juga punya fungsi kritik sosial,
seperti tentang fenomena Game of Thrones
dan ‘olok-olok’ terhadap 12 Years a Slave.
Semuanya terangkai dalam porsi yang serba pas, efektif bikin ngakak (terutama
bagi yang paham dengan guyonan-guyonannya), dan yang terpenting, punya
relevansi yang benar dan tepat terhadap topik utama. Ini yang kemudian membawa
kita ke lapisan lebih dalam dari cerita. BM menyentil cukup banyak kondisi
sosial masyarakat umum di era smartphone ini. Tak hanya sekitar parenting, yang
artinya meliputi kritik atas tuntutan terhadap anak-anak yang jauh lebih berat
dan depresif, orang tua yang punya kekhawatiran makin paranoid dan berlebihan
terhadap anak-anaknya hingga menyebabkan generasi manja, serta metode
parenting, tapi juga isu-isu sosial lain. Misalnya kondisi keluarga Amy yang
digambarkan menikah di usia terlalu muda hingga pada satu titik timbul keinginan
untuk menikmati usia dua puluhan seperti kebanyakan manusia sebaya. Tak
ketinggalan, tribute terhadap semua ibu dari berbagai latar belakang dan
parenting style. Bagusnya, kesemua isu tersebut terangkai menjadi kesatuan yang
solid seperti kondisi real life yang memang saling berkaitan satu sama lain.
Joke-joke yang digelontorkan sepanjang film pun lantas menjadi terasa relevan
dengan isu-isu yang diangkat. Sehingga mau se-inappropriate apa pun the jokes
it might seem, semuanya masih terasa rasional dan acceptable. Jauh dari kesan
ofensif atau sekedar ibu-ibu yang hanya ingin girls night out dan gila-gilaan
semata. Bahkan ketika Amy seolah-olah mendapatkan akibat dari aksi
sebelum-sebelumnya (Jane, sang putri
berbalik membencinya), jika mau dianalisis tidak ada kesalahan yang benar-benar
salah. Persepsi dari Jane lah yang belum bisa melihat the bigger picture dari
masalah dan itu pun bisa dipahami sepenuhnya. Even better, konklusi berhasil
mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berbeda ini pada satu titik. In
short, BM berhasil menjadi racikan seimbang dari berbagai formula, bak Desperate Housewives + Mean Girls + The Campaign. Konsep ‘tribute to all moms’ pun terasa begitu kuat
dan konsisten di tiap adegan, dari awal hingga akhir.
Yes, kita semua tahu Mila Kunis
punya daya tarik fisik maupun kharisma layar yang kuat, terutama untuk genre
komedi. Namun di sini, ia punya tuntutan yang lebih daripada sekedar humor. Ada
keseimbangan antara politically correct (terutama sebagai seorang ibu) dan
inappropriate jokes yang harus ia capai. Beruntung statusnya sekarang sebagai
seorang ibu agaknya banyak memberikan pengaruh terhadap perannya di sini. Kathryn
Hahn juga berhasil menjadi sumber kelucuan berkat karakter Carla yang genit,
blak-blakan, dan foul mouthed. Sementara Kristen Bell sebagai Kiki punya cara
sendiri untuk menggelitik penonton. Karakter weirdly naïve namun punya momen
yang membuat penonton ‘bangga’. Christina Applegate seperti biasa, mampu
memerankan karakter Gwendolyn yang a bitch berbalut classy dan santun dengan
sentuhan yang tak kalah bikin ketawa. Karakter Stacy yang diperankan Jada
Pinkett Smith tak menarik perhatian gara-gara porsi yang tak berpihak. Ia
menarik simply karena ia seorang Jada Pinkett Smith. Annie Mumolo sedikit lebih
beruntung karena karakter Vicky masih dibuat untuk menjadi karakter komedik
meski masih kalah dibandingkan kubu Amy. Terakhir, penampilan Jay Hernandez
sebagai Jessie Harkness masih punya kharisma yang cukup kuat untuk menjadi
sexual interest karakter-karakter utama. Meski menurut saya, he’s became a
just-another-Hispanic-hunk here. Penampilannya sebagai Diablo di Suicide Squad masih lebih ‘seksi’.
Dari segi teknis, BM sebenarnya
tak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru maupun istimewa. Sinematografi Jim Denault menampilkan style visualisasi pop,
bahkan most of the time a la music video, yang tentu saja worked really good
pada komedi gila-gilaan seperti BM. Editing Emma E. Hickox dan James Thomas
tergolong berfungsi baik, terutama dalam menjaga ketepatan comedic timing-nya.
Hanya saja beberapa adegan slow-mo masih terkesan kurang menyatu dengan iringan
musik pilihan (atau faktor sensor di versi layar lebar sini?). Terakhir,
pemilihan soundtrack juga patut mendapatkan kredit tersendiri. Meski
memanfaatkan lagu-lagu super mainstream populer, tapi diletakkan pada
momen-momen yang pas. Sehingga setelah menonton BM, bisa jadi penonton akan
teringat akan adegan-adegan di film tiap kali mendengar lagu-lagu tersebut.
Skeptik saya sebelum menonton
agaknya berubah drastis ketika menyaksikan BM secara langsung. Tak hanya dibuat
tertawa terbahak-bahak sepanjang film lewat tingkah para ibu-ibu ini, tapi juga
diajak merefleksikan berbagai isu sosial yang dekat dengan sekitar kita. Jon
Lucas-Scott Moore did it and it also worked very well. Mungkin malah naskah
terbaik dari yang pernah mereka tulis selama ini. Buang jauh-jauh sejenak
prasangka idealisme feminism, anti-manism, atau apa pun itu yang sempat
terbersit dalam benak Anda. Lihatlah BM dengan kacamata yang lebih luas dan menyeluruh,
maka ia menjadi paket hiburan dengan hati yang tak kalah besar. Jangan lupakan
pula footage interview cast utama dengan ibu kandung mereka yang melengkapi
tribute terhadap para ibu di seluruh dunia.
Lihat data film ini di IMDb.