3.5/5
Blockbuster
Box Office
Comedy
Indonesia
Parody
Pop-Corn Movie
Reboot
slapstick
Socio-cultural
spoof
The Jose Flash Review
Tribute
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Warkop DKI Reborn :
Jangkrik Boss! Part 1
Mengambil plot utama dari CHIPS (Cara Hebat Ikut Penanggulangan
Sosial, 1982), Dono, Kasino, dan Indro menjadi petugas satuan pengamanan swasta
yang berusaha melakukan tugas sebaik-baiknya. Sayangnya, seringkali niat baik
mereka berbalik menjadi kejadian-kejadian apes. Puncaknya, ketika mereka
ditugaskan menyelidiki kasus begal yang belakangan marak terjadi, mereka justru
harus membayar denda dan ganti rugi sebesar 8 milyar rupiah. Angka yang
mustahil bagi mereka. Satu demi satu solusi mereka coba, tapi tetap saja
berakhir sia(l)-sia(l). Hingga suatu ketika kesempatan keberuntungan
menghampiri untuk diambil. Dibantu oleh anggota CHIPS cabang Perancis, Sophie,
mereka bertiga memutuskan untuk menjalankan misi rahasia demi bisa membayar
denda dan ganti rugi.
Sebelum mencoba menikmati JB1, karena rentang
waktu yang cukup panjang (film Warkop DKI terakhir tahun 1994, Pencet Sana Pencet Sini) dan masih
ditambah pergeseran trend selera humor yang cocok dengan penonton, agaknya Anda
(terutama yang saat ini berusia 25 tahun ke bawah) perlu mencoba untuk
menyesuaikan ‘frekuensi’ dulu. Jika Anda termasuk yang tumbuh bersama lawakan
Warkop DKI, maka JB1 akan menjadi sebuah homage yang punya nilai nostalgic luar
biasa kuat. Saya yang termasuk pernah mengalami nonton film-film Warkop DKI di
layar bioskop tiap Lebaran dan pergantian tahun di era 90-an, tak
henti-hentinya dibuat tertawa sekaligus haru bahagia karena bisa merasakan
kembali excitement tradisi yang telah terhenti selama 22 tahun. Speaking of
Warkop DKI, perlu dicatat pula ada dua style film yang berbeda. Jika film-film Warkop
DKI era 1979 sampai pertengahan 80’an, yaitu kebanyakan produksi Bola Dunia
Film dan Parkit Film, masih mempedulikan
laju plot terarah dan punya humor-humor ber-setup sebelum punchline, maka
film-film mereka rilisan Soraya Intercine Films pertengahan 80’an sampai 90’an
lebih terkesan meng-eksploitasi keseksian aktris-aktris pendamping, memuat
joke-joke slapstick yang banyak disadur dari acara-acara sketsa komedi luar yang
dirangkai jadi satu dengan plotline yang terkesan asal ada, diulang-ulang,
serta klimaks yang hampir selalu diselesaikan di setting pantai. Kendati
mengalami ‘kemunduran’ secara kualitas, Warkop DKI era 90’an juga punya
penikmat sendiri dan melahirkan signatural-signatural khas pula.
Fans saat ini tentu menginginkan
kelahiran kembali Warkop DKI kali ini ke arah yang benar, yaitu seperti era 80’an
sebelum Soraya Intercine Films. Maka Anggy dan tim penulis naskahnya me-mash-up
tiga judul paling legendaris; CHIPS, Setan Kredit, dan IQ Jongkok. Hasilnya tergolong padu meski masih sangat terasa
pergantian antar babak-nya.
Jika dianalisis lebih mendalam,
film-film Warkop DKI sebenarnya memberikan peran dan porsi sendiri-sendiri
untuk trio Dono-Kasino-Indro. Dono terkesan yang paling menonjol sebagai sumber
kelucuan, terutama berkat tampilan fisik yang sering dijadikan mocking
sekaligus luckycharm yang juga tak kalah menggelikannya. Kasino dengan
celetukan-celetukan yang bak tak punya rem sampai melahirkan
celetukan-celetukan khas. Sementara Indro lebih menjadi penengah yang
menyeimbangkan. Di JB1, porsi Kasino memang jadi lebih menonjol ketimbang Dono.
Mungkin faktor Kasino yang kelewat ‘cerewet’ sehingga terkesan lenih
mendominasi. Namun karakter Dono pun dengan ‘santai’-nya mengisi porsi perannya
tanpa kesan mau mengalahkan dominasi Kasino. Sehingga secara keseluruhan
semuanya masih nyaman untuk dinikmati secara seimbang.
Urusan guyonan, JB1 mencoba untuk
menggabungkan berbagai jenis jokes ke dalam adonan. Mulai jokes with setup, physical
jokes, slapstick, celetukan sentil sana-sentil sini, weird jokes, hingga a la
stand up. Alhasil mungkin tak semuanya bisa cocok untuk menggelitik urat tawa
semua orang, tapi ia berusaha adil men-serve semua kalangan dengan selera humor
masing-masing. Mulai fans the classic Warkop, Soraya’s Warkop, hingga nowadays
comedic style. Tak hanya merendisi ulang humor-humor signatural yang pasti
masih diingat fans setianya sampai saat ini, tapi juga memanfaatkan current
issues, mulai anekdot Khong Guan, Katy Perry, Minions, sampai face-swap, menyentil
berbagai isu sosial seperti ibu-ibu bermotor yang ugal-ugalan dan kepemilikan properti
kita oleh asing yang kesemuanya disampaikan dengan witty. Mulai kalangan bawah
sampai atas, kena semua. Alih-alih bikin tersinggung, sentilan-sentilan ini
justru mengajak penonton mentertawai diri sendiri.
Susah sebenarnya menilai apakah
jokes-nya berhasil, karena efeknya akan berbeda-beda di setiap orang. As for
me, jokes-jokes JB1 masih sempat terasa garing maupun bikin saya berceletuk, ‘apaan
sih?’, tapi sekitar 80% worked for me. Bisa jadi Anda sama seperti saya, tapi
bisa juga sama sekali tidak cocok dengan guyonannya. It’s just fine. It’s only
a matter of taste differences. Overall, JB1 tetap lah sajian gila-gilaan yang
mengajak penonton untuk bersenang-senang sepanjang durasi.
Anggy Umbara selaku sutradara yang
selama ini dikenal punya style ‘nyentrik’ terutama dalam penyusunan plot yang
acak dan berbagai visual signatural, kali ini memang masih memberikan sentuhan
khasnya, tapi tak seberlebihan, misalnya di trilogi Comic 8, Mama Cake maupun
3: Alif, Lam, Mim. JB1 masih terasa
Warkop DKI ‘banget’, dengan sedikit percikan modern excitement a la Anggy.
Sementara pembagian menjadi 2 part tentu membuat kita jadi
membanding-bandingkannya dengan Comic 8: Casino
Kings yang mana part 1 seolah-olah hanya sebuah introduksi semata dan part
2 adalah ‘hanya’ konklusi’. So far JB1 terasa masih nyaman untuk diikuti
plot-nya. Setidaknya masih ada laju plot untuk diikuti, tak hanya introduksi.
Sayang pemenggalannya terasa kurang enak, agak mengganggu klimaks. Untungnya pasca
closing JB1 menyajikan video bloopers-bloopers. Harus saya akui, ini cara yang
efektif untuk menaikkan kembali mood ceria dan bikin penonton enggan buru-buru
beranjak dari kursi.
Salah satu kekuatan terbesar yang
juga pastinya jadi sorotan utama penonton adalah penampilan ketiga aktor utama
dalam menghidupkan kembali Dono, Kasino, dan Indro. Ketiganya berhasil
mematahkan segala keraguan yang sempat muncul, terutama Abimana Aryasetya sebagai
Dono dan Vino G. Bastian sebagai Kasino. Jika sejak teaser trailer Vino sudah
membuktikan betapa mirip dirinya dengan mendiang Kasino, bahkan di banyak shot
dirinya benar-benar bak Kasino hidup lagi, lengkap dengan celetukan-celetukan
yang mungkin kadang terlalu meledak-ledak tapi secara keseluruhan berhasil
punya tingkat impersonasi yang sangat mengagumkan, Abimana secara mengejutkan
juga berhasil mencuri perhatian saya berkat gestur, cara bicara, suara, sampai
cara menyampaikan guyonannya yang Dono banget. Sementara Tora Sudiro sebagai
Indro mungkin kalah menonjol dibandingkan Kasino maupun Dono (apalagi
sebenarnya di versi aslinya sosok Indro memang lebih berperan sebagai
penyeimbang ketimbang sumber kelucuan), tapi bagaimana ia mencoba untuk
menirukan cara bicara Indro masih patut diapresiasi. Setidaknya tidak terkesan
dibuat-buat maupun mengganggu.
Hannah Al Rashid sebagai Sophie
memang berfungsi sebagai pemanis seperti kebanyakan film-film Warkop jaman dulu,
terutama mengingatkan saya akan sosok Meriam Bellina. Kali ini dibekali gimmick
humor yang ternyata mampu bikin saya tersenyum karena dilakoni Hannah secara
natural (baca: polos). Ence Bagus sebagai Boss CHIPS mengimpersonasi Alm.
Pandji Anom dengan tak kalah menariknya dari ketiga karakter utama. Indro
sendiri mengisi berbagai peran yang unik, mulai pembaca berita di opening,
hingga semacam ‘malaikat pelindung’ dari karakter Indro. Entah kejutan apa lagi
yang disiapkan Anggy dan tim penulis naskah tentang peran sosok Indro yang asli
di part 2. Di jajaran berikutnya, puluhan cameo mampu punya momen memorable
masing-masing, seperti Tarsan, Nikita Mirzani, Agus Kuncoro, Hengky Solaiman-Ingrid
Widjanarko, Yudha Keling, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Babe Cabita, Mongol
Stres, Fico Fachriza, Temon, dan masih banyak lagi. Kehadiran komedian-komedian
masa kini di sini bak sebuah pesta yang mempersatukan sekaligus merayakan
komedi tanah air dari berbagai generasi. Alangkah lebih baik jika di part 2
muncul lebih banyak lagi komedian lintas generasi. Kadir dan Doyok, misalnya.
Tentu ini bisa jadi tonggak sejarah tersendiri bagi dunia film komedi Indonesia
(dan tentu saja saya yakin rekor baru akan terus tertorehkan).
Sinematografi Yunus Pasolang
membuat momen-momen comedic-nya tersampaikan dengan sukses, termasuk bumbu
action yang melibatkan pergerakan kamera lebih dinamis. Tone color dan tata
kostum Aldie Harra-Upay memperkuat feel nostalgic yang bahkan di beberapa shot
tampak seperti footage dari era 80’an. Tata rias dari Adi Wahono dan Tomo juga
berhasil mendandani trio Dono-Kasino-Indro semirip dan semeyakinkan mungkin. Editing
Bounty Umbara dan Wawan I Wibowo tak se-‘stylish’ film-film Anggy sebelumnya, tapi
berhasil jadi se-Warkop DKI mungkin dengan runtutan yang baik dan timing yang
serba pas bin efektif. Efek visual yang dikerjakan oleh Epics FX Studios
termasuk rapi dan sempat bikin tercengang, misalnya untuk efek face-swap. Tata
suara Khikmawan Santosa memberikan keseimbangan yang sangat pas dalam
menghadirkan nuansa ceria. Tak ketinggalan fasilitas surround yang cukup
dimanfaatkan. Musik Andhika Triyadi menyuntikkan nuansa comedic dan oddball
dengan efektif dengan sedikit ‘aroma’ grande a la scoring asli CHiPs, juga original score Warkop
DKI yang aslinya dari score Pink Panther
gubahan Henry Mancini tapi kali ini digubah ulang untuk menghindari urusan hak
cipta tanpa menghilangkan kesan serupa aslinya. Begitu pula scoring a la Titanic, lagu Sukiyaki, sampai lagu-lagu Katy Perry.
Kesuksesan JB1 mencatat rekor
tercepat meraih 1 juta penonton, yaitu dalam 2.5 hari saja, memang tak lepas
dari pemilihan materi film dan strategi promo Falcon Pictures yang makin hari
makin terasah. Namun terlepas dari itu semua, kerinduan fans Warkop DKI yang
jumlahnya luar biasa banyak di seluruh penjuru Indonesia, baik di kota sampai
(apalagi) pedalaman, memang tak terbendung. Apalagi homage yang dihadirkan
Falcon Pictures, Anggy Umbara, cast, dan crew berhasil menghidupkan kembali
sekaligus meneruskan tradisi Warkop DKI di perfilman Indonesia di jalan yang
benar. Mungkin humornya tak sepenuhnya berhasil men-serve semua selera humor,
apalagi bagi penonton-penonton di bawah usia 25 tahun yang belum pernah
mengecap humor a la Warkop DKI ketika masih lugu. Tapi JB1 adalah effort awal yang
luar biasa dan patut dihargai. Selanjutnya bagaimana Falcon Pictures dan tim
mengembangkannya agar bisa men-serve range penonton yang lebih luas tanpa
meninggalkan style serta spirit humor Warkop DKI asli, di
installment-installment berikutnya. Pihak Falcon Pictures sih sempat
membeberkan rencana untuk merilis setidaknya satu film Warkop DKI Reborn tiap
tahunnya pasca JB1. Bagi fans Warkop DKI yang sempat mengalami excitement menantikan
tradisi menonton film Warkop DKI tiap tahun di bioskop, tentu ini kabar yang
menggembirakan sekaligus mengharukan. Jika JB1 saja lebih dari cukup untuk
membuat saya terharu, semoga saja installment-installment berikutnya dikerjakan
dengan effort yang lebih lagi dan mampu menjaring fans dari generasi-generasi
berikutnya. Warkop DKI’s legacy deserve and must stay alive. Even more, passed
on through generations!
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.