The Jose Flash Review
Warkop DKI Reborn :
Jangkrik Boss! Part 1


Orang Indonesia mana yang tak kenal Warkop DKI? Setelah masa jaya selama kurang lebih dua dekade, yaitu 80-90’an, sosok dan guyonan mereka masih terus menemani penonton Indonesia baik lewat rerun tiap momen Lebaran maupun serial di layar kaca. Bahkan satu-satunya personel yang masih hidup, Indro, sampai saat ini masih terus berkiprah di perkomedian Indonesia, meski dengan style yang mengikuti kekinian. Stand up comedy, salah satunya. Begitu legendaris nama mereka terpatri di hati jutaan orang Indonesia, maka sayang jika harus diakhiri. Mustahil memang menggantikan sosok ketiganya yang begitu khas, tapi setidaknya style dan spirit guyonan ala mereka masih bisa dilestarikan. Maka atas prakarsa Falcon Pictures yang tahun ini sudah punya dua film masuk ‘klub 1 juta penonton’, tercetuslah ide untuk membawa Warkop DKI kembali ke penonton Indonesia. Bukan lewat format remake ataupun biografi, tapi sebuah tribute yang diharapkan bisa meneruskan legacy humor a la mereka untuk generasi-generasi berikutnya. Anggy Umbara yang sukses membawa ketiga installment Comic 8 mencapai jutaan penonton kembali ditunjuk menjadi komandan, bersama stand up comedian Bene Dion Rajagukguk dan Andi Awwe Wijaya untuk menuliskan naskahnya. Untuk pemeran Dono, Kasino, Indro tidak diperankan oleh komedian, melainkan aktor-aktor yang sudah populer, yaitu Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro. Berbagai reaksi bermunculan ketika satu per satu materi teaser, baik foto maupun trailer diluncurkan. Terutama sekali penampilan ketiga aktor utama dalam mem-personasi sosok aslinya. Pro maupun kontra, semua berujung pada rasa penasaran untuk menyaksikan langsung hasil akhirnya film bertajuk Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (JB1).


Mengambil plot utama dari CHIPS (Cara Hebat Ikut Penanggulangan Sosial, 1982), Dono, Kasino, dan Indro menjadi petugas satuan pengamanan swasta yang berusaha melakukan tugas sebaik-baiknya. Sayangnya, seringkali niat baik mereka berbalik menjadi kejadian-kejadian apes. Puncaknya, ketika mereka ditugaskan menyelidiki kasus begal yang belakangan marak terjadi, mereka justru harus membayar denda dan ganti rugi sebesar 8 milyar rupiah. Angka yang mustahil bagi mereka. Satu demi satu solusi mereka coba, tapi tetap saja berakhir sia(l)-sia(l). Hingga suatu ketika kesempatan keberuntungan menghampiri untuk diambil. Dibantu oleh anggota CHIPS cabang Perancis, Sophie, mereka bertiga memutuskan untuk menjalankan misi rahasia demi bisa membayar denda dan ganti rugi.

Sebelum mencoba menikmati JB1, karena rentang waktu yang cukup panjang (film Warkop DKI terakhir tahun 1994, Pencet Sana Pencet Sini) dan masih ditambah pergeseran trend selera humor yang cocok dengan penonton, agaknya Anda (terutama yang saat ini berusia 25 tahun ke bawah) perlu mencoba untuk menyesuaikan ‘frekuensi’ dulu. Jika Anda termasuk yang tumbuh bersama lawakan Warkop DKI, maka JB1 akan menjadi sebuah homage yang punya nilai nostalgic luar biasa kuat. Saya yang termasuk pernah mengalami nonton film-film Warkop DKI di layar bioskop tiap Lebaran dan pergantian tahun di era 90-an, tak henti-hentinya dibuat tertawa sekaligus haru bahagia karena bisa merasakan kembali excitement tradisi yang telah terhenti selama 22 tahun. Speaking of Warkop DKI, perlu dicatat pula ada dua style film yang berbeda. Jika film-film Warkop DKI era 1979 sampai pertengahan 80’an, yaitu kebanyakan produksi Bola Dunia Film dan Parkit Film, masih mempedulikan laju plot terarah dan punya humor-humor ber-setup sebelum punchline, maka film-film mereka rilisan Soraya Intercine Films pertengahan 80’an sampai 90’an lebih terkesan meng-eksploitasi keseksian aktris-aktris pendamping, memuat joke-joke slapstick yang banyak disadur dari acara-acara sketsa komedi luar yang dirangkai jadi satu dengan plotline yang terkesan asal ada, diulang-ulang, serta klimaks yang hampir selalu diselesaikan di setting pantai. Kendati mengalami ‘kemunduran’ secara kualitas, Warkop DKI era 90’an juga punya penikmat sendiri dan melahirkan signatural-signatural khas pula.

Fans saat ini tentu menginginkan kelahiran kembali Warkop DKI kali ini ke arah yang benar, yaitu seperti era 80’an sebelum Soraya Intercine Films. Maka Anggy dan tim penulis naskahnya me-mash-up tiga judul paling legendaris; CHIPS, Setan Kredit, dan IQ Jongkok. Hasilnya tergolong padu meski masih sangat terasa pergantian antar babak-nya. 

Jika dianalisis lebih mendalam, film-film Warkop DKI sebenarnya memberikan peran dan porsi sendiri-sendiri untuk trio Dono-Kasino-Indro. Dono terkesan yang paling menonjol sebagai sumber kelucuan, terutama berkat tampilan fisik yang sering dijadikan mocking sekaligus luckycharm yang juga tak kalah menggelikannya. Kasino dengan celetukan-celetukan yang bak tak punya rem sampai melahirkan celetukan-celetukan khas. Sementara Indro lebih menjadi penengah yang menyeimbangkan. Di JB1, porsi Kasino memang jadi lebih menonjol ketimbang Dono. Mungkin faktor Kasino yang kelewat ‘cerewet’ sehingga terkesan lenih mendominasi. Namun karakter Dono pun dengan ‘santai’-nya mengisi porsi perannya tanpa kesan mau mengalahkan dominasi Kasino. Sehingga secara keseluruhan semuanya masih nyaman untuk dinikmati secara seimbang.

Urusan guyonan, JB1 mencoba untuk menggabungkan berbagai jenis jokes ke dalam adonan. Mulai jokes with setup, physical jokes, slapstick, celetukan sentil sana-sentil sini, weird jokes, hingga a la stand up. Alhasil mungkin tak semuanya bisa cocok untuk menggelitik urat tawa semua orang, tapi ia berusaha adil men-serve semua kalangan dengan selera humor masing-masing. Mulai fans the classic Warkop, Soraya’s Warkop, hingga nowadays comedic style. Tak hanya merendisi ulang humor-humor signatural yang pasti masih diingat fans setianya sampai saat ini, tapi juga memanfaatkan current issues, mulai anekdot Khong Guan, Katy Perry, Minions, sampai face-swap, menyentil berbagai isu sosial seperti ibu-ibu bermotor yang ugal-ugalan dan kepemilikan properti kita oleh asing yang kesemuanya disampaikan dengan witty. Mulai kalangan bawah sampai atas, kena semua. Alih-alih bikin tersinggung, sentilan-sentilan ini justru mengajak penonton mentertawai diri sendiri.

Susah sebenarnya menilai apakah jokes-nya berhasil, karena efeknya akan berbeda-beda di setiap orang. As for me, jokes-jokes JB1 masih sempat terasa garing maupun bikin saya berceletuk, ‘apaan sih?’, tapi sekitar 80% worked for me. Bisa jadi Anda sama seperti saya, tapi bisa juga sama sekali tidak cocok dengan guyonannya. It’s just fine. It’s only a matter of taste differences. Overall, JB1 tetap lah sajian gila-gilaan yang mengajak penonton untuk bersenang-senang sepanjang durasi.

Anggy Umbara selaku sutradara yang selama ini dikenal punya style ‘nyentrik’ terutama dalam penyusunan plot yang acak dan berbagai visual signatural, kali ini memang masih memberikan sentuhan khasnya, tapi tak seberlebihan, misalnya di trilogi Comic 8, Mama Cake maupun 3: Alif, Lam, Mim. JB1 masih terasa Warkop DKI ‘banget’, dengan sedikit percikan modern excitement a la Anggy. Sementara pembagian menjadi 2 part tentu membuat kita jadi membanding-bandingkannya dengan Comic 8: Casino Kings yang mana part 1 seolah-olah hanya sebuah introduksi semata dan part 2 adalah ‘hanya’ konklusi’. So far JB1 terasa masih nyaman untuk diikuti plot-nya. Setidaknya masih ada laju plot untuk diikuti, tak hanya introduksi. Sayang pemenggalannya terasa kurang enak, agak mengganggu klimaks. Untungnya pasca closing JB1 menyajikan video bloopers-bloopers. Harus saya akui, ini cara yang efektif untuk menaikkan kembali mood ceria dan bikin penonton enggan buru-buru beranjak dari kursi.

Salah satu kekuatan terbesar yang juga pastinya jadi sorotan utama penonton adalah penampilan ketiga aktor utama dalam menghidupkan kembali Dono, Kasino, dan Indro. Ketiganya berhasil mematahkan segala keraguan yang sempat muncul, terutama Abimana Aryasetya sebagai Dono dan Vino G. Bastian sebagai Kasino. Jika sejak teaser trailer Vino sudah membuktikan betapa mirip dirinya dengan mendiang Kasino, bahkan di banyak shot dirinya benar-benar bak Kasino hidup lagi, lengkap dengan celetukan-celetukan yang mungkin kadang terlalu meledak-ledak tapi secara keseluruhan berhasil punya tingkat impersonasi yang sangat mengagumkan, Abimana secara mengejutkan juga berhasil mencuri perhatian saya berkat gestur, cara bicara, suara, sampai cara menyampaikan guyonannya yang Dono banget. Sementara Tora Sudiro sebagai Indro mungkin kalah menonjol dibandingkan Kasino maupun Dono (apalagi sebenarnya di versi aslinya sosok Indro memang lebih berperan sebagai penyeimbang ketimbang sumber kelucuan), tapi bagaimana ia mencoba untuk menirukan cara bicara Indro masih patut diapresiasi. Setidaknya tidak terkesan dibuat-buat maupun mengganggu.

Hannah Al Rashid sebagai Sophie memang berfungsi sebagai pemanis seperti kebanyakan film-film Warkop jaman dulu, terutama mengingatkan saya akan sosok Meriam Bellina. Kali ini dibekali gimmick humor yang ternyata mampu bikin saya tersenyum karena dilakoni Hannah secara natural (baca: polos). Ence Bagus sebagai Boss CHIPS mengimpersonasi Alm. Pandji Anom dengan tak kalah menariknya dari ketiga karakter utama. Indro sendiri mengisi berbagai peran yang unik, mulai pembaca berita di opening, hingga semacam ‘malaikat pelindung’ dari karakter Indro. Entah kejutan apa lagi yang disiapkan Anggy dan tim penulis naskah tentang peran sosok Indro yang asli di part 2. Di jajaran berikutnya, puluhan cameo mampu punya momen memorable masing-masing, seperti Tarsan, Nikita Mirzani, Agus Kuncoro, Hengky Solaiman-Ingrid Widjanarko, Yudha Keling, Ge Pamungkas, Arie Kriting, Babe Cabita, Mongol Stres, Fico Fachriza, Temon, dan masih banyak lagi. Kehadiran komedian-komedian masa kini di sini bak sebuah pesta yang mempersatukan sekaligus merayakan komedi tanah air dari berbagai generasi. Alangkah lebih baik jika di part 2 muncul lebih banyak lagi komedian lintas generasi. Kadir dan Doyok, misalnya. Tentu ini bisa jadi tonggak sejarah tersendiri bagi dunia film komedi Indonesia (dan tentu saja saya yakin rekor baru akan terus tertorehkan).

Sinematografi Yunus Pasolang membuat momen-momen comedic-nya tersampaikan dengan sukses, termasuk bumbu action yang melibatkan pergerakan kamera lebih dinamis. Tone color dan tata kostum Aldie Harra-Upay memperkuat feel nostalgic yang bahkan di beberapa shot tampak seperti footage dari era 80’an. Tata rias dari Adi Wahono dan Tomo juga berhasil mendandani trio Dono-Kasino-Indro semirip dan semeyakinkan mungkin. Editing Bounty Umbara dan Wawan I Wibowo tak se-‘stylish’ film-film Anggy sebelumnya, tapi berhasil jadi se-Warkop DKI mungkin dengan runtutan yang baik dan timing yang serba pas bin efektif. Efek visual yang dikerjakan oleh Epics FX Studios termasuk rapi dan sempat bikin tercengang, misalnya untuk efek face-swap. Tata suara Khikmawan Santosa memberikan keseimbangan yang sangat pas dalam menghadirkan nuansa ceria. Tak ketinggalan fasilitas surround yang cukup dimanfaatkan. Musik Andhika Triyadi menyuntikkan nuansa comedic dan oddball dengan efektif dengan sedikit ‘aroma’ grande a la scoring asli CHiPs,  juga original score Warkop DKI yang aslinya dari score Pink Panther gubahan Henry Mancini tapi kali ini digubah ulang untuk menghindari urusan hak cipta tanpa menghilangkan kesan serupa aslinya. Begitu pula scoring a la Titanic, lagu Sukiyaki, sampai lagu-lagu Katy Perry.

Kesuksesan JB1 mencatat rekor tercepat meraih 1 juta penonton, yaitu dalam 2.5 hari saja, memang tak lepas dari pemilihan materi film dan strategi promo Falcon Pictures yang makin hari makin terasah. Namun terlepas dari itu semua, kerinduan fans Warkop DKI yang jumlahnya luar biasa banyak di seluruh penjuru Indonesia, baik di kota sampai (apalagi) pedalaman, memang tak terbendung. Apalagi homage yang dihadirkan Falcon Pictures, Anggy Umbara, cast, dan crew berhasil menghidupkan kembali sekaligus meneruskan tradisi Warkop DKI di perfilman Indonesia di jalan yang benar. Mungkin humornya tak sepenuhnya berhasil men-serve semua selera humor, apalagi bagi penonton-penonton di bawah usia 25 tahun yang belum pernah mengecap humor a la Warkop DKI ketika masih lugu. Tapi JB1 adalah effort awal yang luar biasa dan patut dihargai. Selanjutnya bagaimana Falcon Pictures dan tim mengembangkannya agar bisa men-serve range penonton yang lebih luas tanpa meninggalkan style serta spirit humor Warkop DKI asli, di installment-installment berikutnya. Pihak Falcon Pictures sih sempat membeberkan rencana untuk merilis setidaknya satu film Warkop DKI Reborn tiap tahunnya pasca JB1. Bagi fans Warkop DKI yang sempat mengalami excitement menantikan tradisi menonton film Warkop DKI tiap tahun di bioskop, tentu ini kabar yang menggembirakan sekaligus mengharukan. Jika JB1 saja lebih dari cukup untuk membuat saya terharu, semoga saja installment-installment berikutnya dikerjakan dengan effort yang lebih lagi dan mampu menjaring fans dari generasi-generasi berikutnya. Warkop DKI’s legacy deserve and must stay alive. Even more, passed on through generations!

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.