3.5/5
Drama
Family
Indonesia
Musical
Pop-Corn Movie
Remake
Rivalry
Romance
sisterhood
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ini Kisah Tiga Dara

Film dibuka dengan Oma yang
sedang membereskan barang-barangnya untuk pindah tinggal di Maumere bersama
putranya, Krisna yang sudah menduda, dan ketiga cucu daranya; Gendis, Ella, dan
si bungsu Bebe. Kehadiran Oma menambah keribetan hidup mereka yang sama-sama
mengelola sebuah boutique hotel di Maumere, terutama urusan perjodohan untuk
ketiganya yang tampak terlalu sibuk mengurusi pekerjaan hingga lupa dengan
status single padahal sudah menginjak usia yang pas untuk menikah. Gendis lebih
banyak mengurusi dapur sebagai head-chef tak punya banyak kesempatan untuk
bertemu orang-orang, sementara Ella lebih agresif tapi belum ada pria yang
‘klik’, sementara si bungsu, Bebe yang ceria dan selalu antusias diam-diam
menjalin hubungan dengan turis berdarah Inggris-Indonesia yang sedang bertualang
menjelajahi Maumere dan menginap di hotel mereka. Concern Oma terutama pada
Gendis yang sudah berusia 32 tahun. Maka strategi pun disusun untuk mencarikan
Gendis jodoh. Pilihan jatuh kepada Yudha, pemilik jaringan hotel berkelas
internasional di seluruh penjuru Nusantara yang menjadi partner bisnis Krisna.
Sayang first impression antara Gendis dan Yudha tidak enak, sehingga perlu
‘strategi’ yang lebih gencar untuk mendekatkan keduanya. Melihat
ketidak-tertarikan Gendis, Ella terus berusaha menebar pesona untuk menarik
perhatian Yudha. Semua berjalan mengalir hingga Gendis mulai membuka diri dan
ada rencana lebih besar dari Yudha yang berpotensi memecah-belah keutuhan
keluarga mereka.
Pada permukaan terluar, seperti
treatment Nia di film-film sebelumnya, IKTD adalah sebuah drama komedi satire
yang menohok sekaligus menggelitik, bahkan kadang terkesan terlalu ‘cerewet’
dalam mengkritisi banyak hal, yang tak relevan dengan topik utama sekalipun. Di
pembuka sudah ‘ngomel’ soal kemacetan Jakarta, lalu mulai masuk ke topik utama;
perkawinan adat yang ribet, matriarki, kedudukan anak wanita dalam keluarga,
dan yang paling penting, penyampaian problematik yang menjadi semacam suara
hati ketiga dara, terutama Gendis dan Ella sebagai anak kedua. Kesannya mungkin
terlalu banyak yang ingin disampaikan (atau ‘dikeluhkan’?), tapi untungnya
dengan balutan musikal yang meski ada beberapa pilihan kata lirik yang ‘maksa’
masuk ke dalam ketukan nada, masih cukup menjadi hiburan tersendiri.
Sing-along-able pula. Bagi penonton yang relate, at least punya lifestyle atau
pola pikir yang serupa dengan karakter-karakter di film, aliran cerita IKTD
sangat enjoyable di balik durasinya yang tergolong panjang; 124 menit.
Stuff-studded, tapi sangat enjoyable.
Masuk ke lapisan yang lebih
dalam, IKTD terasa ingin menyampaikan potret sekaligus kritik sosial yang lebih
serius lewat representasi ketiga karakter dara. Gendis yang diburu oleh usia
padahal ia punya ambisi karir yang besar untuk diwujudkan dan masih percaya
jodoh akan datang dengan sendirinya. Agak bias dengan alasan ‘takut gagal’ yang
membuat karakternya kurang konsisten, tapi setelah dipikir-pikir lagi, hey,
banyak juga lho yang mengalami kompleksitas problem demikian. Ella, sebagai
anak tengah yang kalah dalam mendapatkan ‘spotlight’ dibandingkan si sulung,
tapi juga harus mengalah dengan si bungsu. Serta Bebe yang sebagai bungsu, ia
bisa belajar banyak dari kakak-kakaknya, sehingga ia lebih santai, open-minded,
selalu ceria dan bisa memahami orang-orang di sekitarnya, bahkan punya trik
tersendiri yang ‘menantang’ tuntutan dari masyarakat (dalam konteks di film,
Sang Oma). Sneaky, sedikit kebablasan, tapi menurut saya, tergolong cerdas
dalam menjawab tuntutan sosial. Nia dan Lucky Kuswandi (Madame X) meramu semua problematika ini mungkin tidak dengan porsi
yang serba seimbang, tapi cukup jelas dan jika mau mempertimbangkan faktor kepaduan
kemasan, pada porsi yang pas sesuai kebutuhan.
Permasalahan sebenarnya terletak
pada penulisan yang terkadang terlampau ‘hipster’ sehingga sering mengganggu
logika. Misalnya, ‘A for Apple, but I for Ironic…’ untuk mengajarkan cara baca
dalam bahasa Inggris untuk anak SD. Really? Koreografi arahan Adela Fauzi yang
banyak memasukkan unsur balet (sesuai dengan latar belakang Adela sendiri) termasuk
oke. Sayangnya, di layar beberapa koreo kurang menyatu dengan mood adegan
sehingga saya kurang bisa merasakan emosi pemain yang sesungguhnya secara
maksimal. Ini terjadi terutama pada nomor solo yang menyingkap karakter secara
lebih mendalam, seperti Anak Dara yang dibawakan Shanty dan Nomor Dua oleh Tara.
Mengisi tiga peran utama, Shanty
Paredes, Tara Basro, dan Tatyana Akman berhasil memikat penonton dengan caranya
sendiri-sendiri. Shanty menunjukkan kemandirian seorang wanita dengan passion
tinggi, jutek sebagai bentuk defensif trauma, sekaligus kerapuhan meratapi
nasib sebagai dara sulung dalam kondisi sosial keluarga Indonesia dengan
keseimbangan yang lebih dari cukup. Sayang, meski Rio Dewanto juga tampil baik,
chemistry antara keduanya masih sering terasa awkward ketimbang convincing
sebagai pasangan yang diam-diam saling jatuh cinta. Bukan juga faktor naskah
yang sebenarnya cukup memberikan perkembangan hubungan. Somehow there’s an
X-factor yang membuat chemistry keduanya kurang terasa ‘klik’ sebagai pasangan
asmara. Sebagai Ella, Tara Basro juga memberikan performa yang tak kalah
kuatnya. Bahkan ada satu momen where she stole the show. Saya dibuat diam
terhenyak dan dengan mudah bersimpati pada kondisi dan perasaannya pada momen
tersebut. Sementara Tatyana Akman sebagai Bebe yang dari luar terkesan paling
tidak diberi perkembangan karakter maupun konflik yang berarti dibandingkan
kedua kakaknya, justru memikat lewat porsinya sebagai penengah dari para
karakter, termasuk memberikan konklusi yang ‘berani’. Tatyana surprisingly
mampu menghidupkan karakter Bebe yang ceria, free-spirited, cerdas,
open-minded, sayang anak-anak, serta berani dengan begitu adorable dan tentu
saja, loveable. Mungkin ada yang menganggap karakternya just another bule-hunter
Indonesian girl typical yang nggak peduli dengan apa kata orang tentang
dirinya, yang penting punya anak dari bule, it’s ok. Setidaknya naskah tidak
membuat ceritanya bertendensi ke arah tersebut.
Selain ketiganya, Oma Titiek
Puspa jelas menjadi daya tarik tersendiri lewat performa yang sebenarnya masih
menjadi diri sendiri, tapi celetukan dan gaya bahasanya mustahil untuk tidak
membuat siapapun tertarik. Reuben Elishama sebagai Bima punya momen yang manis
meski secara keseluruhan porsinya tergolong sangat sedikit, sementara Richard
Kyle sebagai Erick justru hanya menjadi pemanis yang yaaa… setidaknya berhasil
lah sesuai tujuannya. Terakhir, Ray Sahetapy sebagai Krisna juga tak punya
banyak porsi yang penting selain sekedar menjelaskan bahwa ketiga dara masih
punya ayah kandung. Bahkan karakternya tak diberi ruang untuk punya andil
penting dalam keputusan berkaitan dengan nasib ketiga putrinya.
Film musikal jelas membutuhkan
effort yang lebih di banyak departemen. Sinematografi Yudi Datau mungkin masih
bisa menghasilkan gambar-gambar cantik, termasuk eksplorasi alam Maumere
sebagai latar di shot-shot statis. Sayangnya, di banyak kesempatan musikal yang
membutuhkan pergerakan kamera serta variasi shot lebih, sinematografi masih
terasa kurang mampu mengeksploitasi. Saya (dan saya yakin, banyak juga penonton
lain) yang bisa membayangkan tampilan yang lebih padu dengan koreografi dan
tata artistik. Misalnya opening scene di jalanan dengan melibatkan banyak
street performer yang terkesan riweh dan agak bikin pusing atau tarian Tara di Nomor Dua yang… yeah, I can imagine
better than that. Momen Gendis menemukan kembali Yudha juga seharusnya bisa
lebih dramatis ketimbang single long shot yang bahkan tidak menunjukkan
ekspresi wajah keduanya dengan jelas. Editing Aline Jusria berperan cukup
penting dalam menata shot dan adegan sehingga durasi 124 menit bisa berlalu
tanpa begitu terasa. Tata suara tergarap baik. Tak ada dialog yang bahkan
banyak menggunakan Bahasa Inggris dan Belanda, yang terdengar tak jelas. Begitu
pula keseimbangan antara dialog (termasuk lirik), musik, dan sound effect.
Kendati saya rasa adegan perdebatan Gendis dan Bebe di Gereja Portugis
seharusnya lebih meyakinkan jika dengan ekspresi bicara bisik-bisik, bukan
dengan ekspresi suara biasa lalu dikecilkan volume-nya semata. Tak perlu
meragukan musik dan score dari Aghi Narotama dan Bembi Gusti yang selalu
menonjol, very enjoyable, bahkan hummable. Terakhir yang layak mendapatakn
kredit lebih adalah tata artistik Eros Eflin yang serba cantik, mulai rumah di
Jakarta, tiap ruang boutique hotel di Maumere, serta tata busana Tania
Soeprapto yang selalu terlihat menonjol di tiap momen.
Seperti film-film Nia sebelumnya,
IKTD sarat dengan kritik sosial, bahkan seringkali terlalu cerewet dan
kebablasan. Masih banyak departemen yang belum benar-benar sempurna, apalagi
jika dibandingkan dengan versi Usmar Ismail. Untung lewat kemasan musikal,
dialog-dialog witty, penulisan karakter-karakter utama yang mampu mewakili
kondisi keluarga dalam tatanan sosial Indonesia, dan tentu saja performa akting
serta musical performance yang rata-rata mumpuni, ia masih menjadi sajian
hiburan yang sangat enjoyable. Jika dibandingkan dengan film-film Nia
sebelumnya, perlu nonton lebih dari sekali untuk membuatnya jadi memorable dalam
benak.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.