4/5
Action
adrenaline rush
Adventure
Crime
cyber
Drama
Friendship
Hollywood
internet
Pop-Corn Movie
Rivalry
Romance
Socio-cultural
Teen
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Nerve

Speaking of Bigo Live, konsep dari aplikasi ini rupanya punya kemiripan dengan ide cerita dari novel berjudul Nerve karya Jeanne Ryan yang dirilis tahun 2012, jauh sebelum Bigo Live dan bahkan Periscope ada di berbagai application store. Karena kedekatan plot dengan kondisi sosial (khususnya di kalangan remaja) saat ini, Lionsgate membeli hak adaptasi novel ini ke layar lebar. Ditunjuklah Jessica Sharzer yang dikenal sebagai penulis naskah serial American Horror Story, serta duo sutradara muda yang populer lewat film dokumenter (juga mengangkat topik pengaruh internet terhadap kondisi sosial) Catfish (2010) sekaligus dipercaya untuk menggarap Paranormal Activity 3 dan 4, Henry Joost dan Ariel Schulman, sebagai nahkoda project. Dave Franco dan Emma Roberts pun dipasang di lini utama untuk menarik perhatian target audience utamanya; remaja.
Venus Delmonico atau yang biasa
dipanggil Vee adalah tipe gadis remaja yang tidak terlalu populer di sekolah
dan memilih menjadi fotografer buku tahunan. Ia diterima di California
Institute of the Arts tapi tidak berani menyampaikan berita baik ini kepada
sang ibu yang seorang single-mother, Nancy. Pasalnya, Nancy lebih memilih Vee
berkuliah di kampus lokal di Staten Island, New York agar lebih ringan secara
biaya. Tekanan lain diterima Vee dari Sydney yang selamanya ini selalu dianggap
sahabat dan kini populer berkat permainan online bernama ‘Nerve’, sebuah
permainan online truth or dare tanpa pilihan ‘truth’. Pengguna bisa memilih
menjadi ‘player’ atau sekedar ‘watcher’. Player harus menyelesaikan tantangan
yang dipilihkan oleh para watcher. Jika sukses, player akan menerima hadiah
uang tunai yang dijanjikan di awal tantangan. Jika gagal atau mundur, otomatis
akan tereliminasi. Di akhir tiap periode, hanya ada dua player yang berhak atas
hadiah utama. Karena permainan online ini tergolong rahasia dan underground,
maka siapa saja pengadu ke pihak berwajib diancam untuk ‘menerima ganjarannya’.
Sydney menantang Vee untuk
menjadi ‘player’ karena selama ini ia menilai Vee tidak pernah berani mengambil
tindakan apalagi resiko atas apa saja dalam hidupnya. Tekanan demi tekanan
membuat Vee memutuskan untuk mendaftar sebagai ‘player’. Dengan bantuan
sahabatnya, Tommy, Vee menyelesaikan tantangan pertama yang sekaligus
mempertemukannya dengan seorang pria charming misterius, Ian. Ternyata Ian juga
seorang ‘player’. Chemistry antara keduanya membuat ‘Nerve’ memutuskan untuk
menjadikan pasangan ini sangat populer. Sydney yang mendengar semua ini menjadi
murka dan tak mau kalah populer dari Vee. Sementara itu Tommy yang mencurigai
sosok Ian mulai mencari tahu tentang identitasnya dan latar belakang game
berbahaya ini. Siapa sangka Ian punya masa lalu kelam yang bisa saja kali ini
memperalat dan mencelakai Vee.
Dari plot yang ditawarkan jelas
bahwa Nerve berniat memberikan
gambaran bagaimana kondisi sosial, khususnya remaja terpengaruh oleh penggunaan
internet, terutama di era smartphone. Bagaimana fenomena remaja
berlomba-lomba menjadi selebriti instant yang telah menjangkiti seluruh dunia, tak
terkecuali di Indonesia, telah mempengaruhi pola pikir, pola interaksi antar
manusia, bahkan nilai kemanusiaan itu sendiri, menjadi fokus utama Nerve yang begitu bold dan konsisten
terasa sepanjang durasi. Tentu value ini saja sudah menjadikan Nerve sajian yang berbobot.
Nyatanya tak hanya itu, Nerve juga menjadi paket hiburan yang
amat-sangat berhasil. Bahkan in so many senses, tampilannya benar-benar keren.
Style visualisasi dunia virtual berhasil ditampilkan dengan begitu catchy
apalagi dengan warna-warni vibrant mencolok. Belum lagi pace serba dinamis dan
penyusunan momen-momen yang efektif dalam bercerita sekaligus sajian thriller
dengan tensi ketegangan yang ditata secara konsisten dan klimaks. Memang di
balik grand-design universe yang sedemikian, ada plothole minor yang mustahil,
namun secara visual dan membangun mood penonton, Nerve sangat berhasil menjadi tontonan yang mengasyikkan. Tak hanya
momen-momen menyenangkan, tapi juga momen-momen berbahaya, memicu adrenaline
secara maksimal, sampai tantangan-tantangan berbahaya yang gagal dan berakibat
fatal diletakkan di sana-sini tanpa kesan eksploitasi berlebihan (apalagi
komitmen awal untuk menjaga rating PG-13 agar bisa menjangkau target audience
utamanya secara luas).
Saya sempat mendengar pendapat
teman-teman reviewer yang menyayangkan konklusi yang ditawarkan Nerve yang terkesan menggampangkan atau ‘jalan
pintas’. Namun bagi saya, konklusi sekaligus ending Nerve justru punya kekuatan reflektif yang luar biasa bagi
penontonnya. Saya jadi mempertanyakan diri sendiri dan fenomena insta-popular;
apakah segalanya, terutama kemanusiaan, layak dikorbankan demi mencapai
popularitas semu dan sesaat, yang bahkan saat semuanya berakhir, nobody cares
anyway. Everybody will just walk away and pretend like everything has never
happened. Kekuatan konklusi yang menurut saya, setara dengan Money Monster.
Dipercaya mengisi line-up utama,
Dave Franco dan Emma Roberts terbukti mampu punya kekuatan kharisma yang lebih
dari cukup. Keduanya mampu tampil bersinar sepanjang durasi. Tak hanya sebagai
karakter individu yang menarik perhatian, tapi juga sebagai screen-couple
dengan keseimbangan chemistry loveable
sekaligus suspicion yang bikin penonton menerka-nerka antara kesungguhan atau
sekedar manipulasi dari hubungan keduanya. Emily Meade sebagai Sydney juga
berhasil membuat penonton berempati, either it’s the right or wrong one.
Karakter yang manusiawi, ada sisi hitam dan juga putih, berhasil dilakoni Meade
dengan convincing. Di line-up berikutnya, Miles Heizer sebagai Tommy punya
porsi yang cukup untuk menimba dukungan penonton di balik performance-nya yang
tergolong biasa saja. Kemunculan aktris senior Juliette Lewis sebagai Nancy,
ibu Vee, cukup memberikan daya tarik tersendiri meski karakter yang dimainkan
tak punya banyak kesempatan untuk menarik simpati penonton. Terakhir, kehadiran
rapper Colson Baker alias Machine Gun Kelly sebagai Ty menambah daya tarik
film.
Punya kekuatan visual unik, tak
lepas dari peran sinematografi Michael Simmonds dengan pergerakan kamera yang
dinamis seiring dengan adegan-adegan fast-paced, seperti kebut-kebutan motor,
dan dengan shot-shot yang efektif dalam menyampaikan cerita. Memang ada
angle-angle yang tak sinkron dengan posisi bidik smartphone, tapi masih bisa
dimaklumi demi kepentingan kejelasan bercerita. Juga visualisasi touch-screen
yang bisa dianggap sebagai representasi visual semata, bukan mengejar logika
realistis. Editing Madeleine Gavin dan Jeff McEvoy pun turut mendukung nuansa serba
dinamis, seru, dan asyik, serta desain produksi Chris Trujillo yang membuat
mood ceria warna-warni vibrant, menjadikan tampilan Nerve begitu mengasyikkan dan memanjakan mata. Music score Rob
Simonsen dan pilihan-pilihan soundtrack asyik bersinergi sempurna dengan energi
visual sehingga makin memperkuat kesan youth, energizing, dan adrenaline-rush.
Mulai lagu pembukan Can’t Get Enough
dari Basenji, Kamikaze dari MØ, Ride dari Lowell feat. Icona Pop, C.R.E.A.M. dari Wu Tang Clan yang
menjadi semacam theme-song karakter Vee, hingga puluhan track-track segar lainnya,
semua bergantian memanjakan panca pendengaran.
Tak banyak film yang punya value
sosial kuat tentang current issues sekaligus kemasan sebagai paket hiburan yang
tak kalah menariknya. Nerve adalah salah
satunya. Baik bagi penonton remaja yang dekat dengan perkembangan smartphone maupun
orang dewasa dengan pola pikir yang lebih kompleks dan daya analisis lebih
tinggi. Bagi penonton yang cermat dan dekat dengan dunia application development,
ada minor plothole terutama yang berkaitan dengan logika, tapi dengan mudah
terabaikan oleh style audio-visual yang serba memanjakan. Bahkan bagi saya
pribadi (dan saya yakin banyak juga penonton lainnya), Nerve adalah tipe tontonan yang ingin saya alami ulang
berkali-kali.
Lihat data film ini di IMDb.