3/5
Action
Adventure
Hollywood
IMAX
Pop-Corn Movie
Remake
The Jose Flash Review
Western
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Magnificent Seven (2016)
Tema Western memang pernah
mengecap era berjayanya sendiri, tapi jelas bukan era 2000-an. Tak hanya tak
banyak film bertemakan Western yang dibuat, tapi hasil box office-nya tergolong
biasa-biasa saja. Dalam ingatan saya, hanya ada Brokeback Mountain (2005), 3:10
to Yuma (2007) yang merupakan remake dari versi tahun 1957, The Assassination of Jesse James by the
Coward Robert Ford (2007), True Grit (2010), Lone Ranger (2013) remake Disney yang
menjadi the biggest flop of that year, Quentin Tarantino’s Django Unchained (2012) dan The
Hateful Eight (2015), serta yang terakhir, Jane Got a Gun (2016). Oh iya, jangan lupakan animasi Nickelodeon, Rango (2011). Kendati demikian, Brokeback Mountain, True Grit, Rango, Django Unchained, dan The Hateful Eight sukses mengumpulkan lebih
dari US$ 100 juta di seluruh dunia. Artinya, sebenarnya masih ada kemungkinan
film bertemakan western menuai sukses besar, tergantung aktor-aktris dan tentu
saja sutradara di baliknya.
Antoine Fuqua, sutradara
afro-Amerika yang kita kenal lewat action thriller macam Training Day (2001), Tears of
the Sun (2003), King Arthur (2004),
Shooter (2007), Olympus Has Fallen (2013), The
Equalizer (2014), dan terakhir drama-action sport, Southpaw (2015), mencoba untuk me-remake sebuah karya klasik John
Sturges yang bertabur bintang papan atas kala itu, The Magnificent Seven (TMS-1960), yang sebenarnya juga merupakan
adaptasi dari karya klasik lainnya, Seven
Samurai (1954) milik sang maesto, Akira Kurosawa. Status keduanya yang
sama-sama klasik dan melegenda, jelas membuat Fuqua harus ekstra hati-hati
dalam penggarapannya. Ia pun mencoba memasukkan formula diversity (multi-racial)
yang masih menjadi isu hangat di Hollywood. Seperti biasa, ia menggandeng
muse-nya, Denzel Washington, serta deretan cast populer lainnya, seperti Chris
Pratt, Ethan Hawke, Vincent D’Onofrio, hingga aktor Korea Selatan, Lee
Byung-hun untuk menyamai daya tarik versi aslinya. Sementara naskahnya sendiri
dikerjakan oleh Richar Wenk (The
Equalizer) dan Nic Pizzolatto (serial True
Detective).
Sebuah kota fiktif bernama Rose
Creek diserang oleh seorang industrialis bernama Barthomolew Bogue. Ia memeras
habis hasil bumi Rose Creek tanpa menyisakan sedikit pun untuk warga. Ancaman
kematian menghantui mereka jika berani memberontak. Emma Cullen yang suaminya
baru saja dibunuh oleh Bogue bertekad untuk tak membiarkannya merajalela. Ia
menemui seorang bounty hunter bernama Sam Chisolm yang dikenal piawai dalam
menggunakan senjatanya. Sempat menolak karena imbalan yang tak menarik, Chisolm
akhirnya menerima juga setelah mendengar nama Bogue. Mulailah ia mengumpulkan
jagoan-jagoan lain untuk bersatu menjaga keamanan di Rose Creek. Mulai Josh
Faraday, seorang penjudi yang punya kecepatan tangan, Goodnight Robicheaux,
seorang penembak jitu bersama sahabatnya, seorang Asia yang juga piawai dalam
menjadikan benda apa saja sebagai senjata, Billy Rocks, buronan Meksiko bernama
Vasquez, pelacak bernama Jack Horne, sampai seorang Indian Comanche bernama Red
Harvest. Strategi pun mereka susun untuk memancing dan menyerang pasukan Bogue.
Apa yang membuat Seven Samurai maupun The Magnificent Seven (1960) menjadi
film klasik yang legendaris? Tak lain dan tak bukan adalah sosok tujuh ‘pendekar’
yang heroik, dengan hubungan satu sama lain yang begitu akrab dirasakan
penonton. Sayangnya, TMS versi 2016 ini masih jauh jika dibandingkan dua versi
orisinilnya. Menghabiskan sekitar satu jam pertama untuk ‘mengumpulkan’
personel ternyata belum mampu untuk memupuk relasi yang kuat di antara mereka. Durasi
hanya berfungsi untuk membuat penonton sekedar mengenal masing-masing personel
dengan kelihaian masing-masing. Hingga selipan-selipan di satu jam berikutnya
pun masih terkesan sekedar basa-basi. Tak ada satupun relasi yang terasa kuat
menancap dalam benak penonton untuk terus benar-benar diingat setelah film
berakhir. Pengenalan masing-masing personel pun juga sekedar membuat penonton
mengingat, tak sampai mengundang simpati penonton yang mendalam. Sehingga di
saat ada karakter yang dimatikan, penonton hanya sekedar menyayangkan saja. Tak
sampai merasa kehilangan. In short, in almost every moment, TMS versi 2016 felt
emotionless. Termasuk wrap-up yang terkesan buru-buru tanpa meninggalkan ‘penghormatan’
yang layak kepada ketujuh pendekar untuk dipersembahkan ke penonton.
Soal action sequence, nama
Antoine Fuqua masih mampu jadi jaminan mutu. Meski porsinya terbilang terbatas,
tapi kesemuanya mampu menghadirkan keseruan dan ketegangan yang lebih dari
cukup, apalagi ntuk tema Western. Terutama sekali final battle yang meski
mematikan beberapa karakter utama dengan cara yang tergolong konyol (really?
Senekad dan semudah itu setelah selama ini tampak begitu lihai dan berhati-hati
dalam berstrategi?), secara keseluruhan mampu memikat perhatian penonton.
Though might not be the best or the most intense action sequence ever, tapi
masih sangat enjoyable.
Menjadi ‘ketua’ dari genk, Denzel
Washington sebagai Chisolm terasa tak sekuat peran-peran di film Fuqua
sebelumnya, seperti Training Day atau
The Equalizer. Mungkin faktor
penulisan karakternya yang seolah hanya sekedar untuk simbol ketimbang kiprah
sepak terjang nyata di layar, atau memang miscast. Karakternya mau tak mau
mengingatkan saya akan sosok yang diperankan Jamie Foxx di Django Unchained atau Samuel L. Jackson di The Hateful Eight, tapi dengan kekuatan kharisma jauh di bawah
keduanya. Chris Pratt sebagai Josh Faraday sedikit lebih mencuri perhatian, tak
hanya karena karakternya yang memang lebih menarik, tapi kharisma aktingnya
yang juga terasa lebih menonjol dan kuat. Di urutan berikutnya ada Ethan Hawke
sebagai Goodnight Robicheaux dan Lee Byung-Hun sebagai Billy Rocks yang juga
menarik perhatian karena kepiawaiannya dalam menggunakan senjata api dan berbagai
benda menjadi senjata, selain tentu saja kharisma yang lebih dari cukup dan
convincing dengan reputasi karakternya. Sementara Vincent D’Onofrio sebagai
Jack Horne, Manuel Garcia-Rulfo sebagai Vasquez, memang masih noticeable oleh
penonton, tapi dengan porsi seadanya sehingga kurang mampu menempel di benak
penonton. Sebaliknya, aktor native American pendatang baru, Martin Sensmeier
sebagai Red Harvest yang justru mencuri perhatian penonton meski porsinya tak terlalu
banyak pula. Tentu kharisma yang ternyata cukup kuat dan fisik menjadi beberapa
faktornya. Haley Bennett sebagai Emma Cullen mungkin satu-satunya sosok wanita
di lini depan TMS. Sayangnya, baik sebagai karakter penting maupun sekedar
pemanis, penampilannya masih terasa kurang membekas, meski sebenarnya tak
buruk-buruk pula. Terakhir, Peter Saarsgard sebagai sosok villain, Barthomolew
Bogue cukup badass, meski menurut saya masih jauh jika prean yang sama
diperankan oleh Christoph Waltz, misalnya.
Sinematografi Mauro Fiore
memframing tiap gambar dengan begitu indah dan membuat semua action sequence
terasa seru dan menegangkan. Tak ada yang sampai menjadi perfect frame yang
menjadi legendaris, tapi semuanya terasa tampak sesuai guna, terutama pergerakan
kamera yang mendukung fungsi aksi. Editing John Refoua mungkin bukan faktor
yang salah dalam membuat durasi yang tergolong panjang (2 jam 13 menit) dengan
porsi penggalian relasi antar karakter yang terasa sangat kurang. Mungkin dari
naskah sudah seperti itu. Refoua sudah melakukan tugasnya dengan membuat film
sepadat mungkin dengan pace yang cukup untuk nyaman diikuti. Hanya wrap-up yang
terkesan terburu-buru sehingga gagal membuat penonton merasakan penghormatan
yang cukup untuk pendekar-pendekar yang gugur. Scoring karya pamungkas Alm.
James Horner dan dilanjutkan Simon Franglen mampu memberikan keeleganan nuansa
Western dipadu dengan nuansa ketegangan a la masa kini yang kuat menghidupkan tiap adegannya. Tak
ketinggalan original score TMS dari Elmer Bernstein (yang juga populer dalam
benak kita sebagai jingle salah satu brand rokok) yang menutup film dengan
sahaja dari versi orisinilnya. Terakhir, sound mixing dan sound design menjadi
salah satu elemen teknis terbaik menurut saya. Terutama di teater IMAX dimana
tata suaranya terasa begitu maksimal, benar-benar menghadirkan desingan suara
perang yang hidup. Bass terdengar mantap, dengan detail yang begitu jernih, dan
pembagian kanal yang terasa serta tepat guna.
Lihat data film ini di IMDb.