3.5/5
Action
artificial intelligence
Hollywood
Horror
Humanity
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
SciFi
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Morgan
Tak banyak anak sutradara yang
juga memilih profesi sebagai sutradara. Di Hollywood yang paling populer
mungkin Sofia Coppola yang merupakan anak dari Francis Ford Coppola. Sementara
di Indonesia ada nama Kamila Andini yang adalah anak dari Garin Nugroho. Diam-diam
ternyata dinasti Scott punya satu nama lagi yang memilih jalur penyutradaraan
dan patut diperhitungkan. Adalah Luke Scott, putra dari sutradara visioner
Ridley Scott yang sudah menelurkan puluhan karya blockbuster sekaligus menjadi
legenda sinema seperti Alien, Blade Runner, sampai Gladiator, dan keponakan dari mendiang
Tony Scott (Top Gun, True Romance, Man on Fire). Sebelumnya Luke baru menyutradarai 1 episode dari
serial TV horror The Hunger dan 1
film pendek bertajuk Loom (2012).
Baru pertengahan 2015 lalu, ia memberanikan diri menangani sebuah project yang
diproduseri sang ayah berdasarkan naskah yang masuk ke dalam Black List’s Best
Unproduced Screenplays tahun 2014 oleh Seth W. Owen (Peepers -2010). Aktor-aktris senior macam Paul Giamatti, Brian Cox,
Toby Jones, Jennifer Jason Leigh, Michelle Yeoh, dipilih untuk mendukung aktris
muda Kate Mara (Fantastic Four versi
2015 dan TheMartian) sekaligus Anya
Taylor-Joy yang pada 2015 lalu sempat mencuri perhatian lewat The VVitch: A New-England Folktale
sebagai sosok judul film. Tak beda jauh dari tema favorit sang ayah, Luke
mencoba bermain-main di ranah sci-fi meski skala ceritanya masih bisa dibilang
terbatas.
Setelah terjadi kecelakaan sebuah
individu yang dikembangkan dari DNA sintetis menyerang salah satu kru hingga
terluka parah, sebuah perusahaan pengembang teknologi mengutus Lee Weathers,
seorang konsultan manajemen resiko untuk meninjau langsung ke lokasi. Diundang
pula Dr. Alan Shapiro, seorang psikolog untuk menganalisis kondisi kejiwaan subjek
bernama Morgan ini. Kedatangan keduanya mengkhawatirkan kru yang sudah
bertahun-tahun menjadi ‘sahabat’ bagi Morgan; Dr. Lui Cheng, kepala penelitian
yang sudah dianggap sebagai ibu kandung sendiri oleh Morgan, Dr. Simon Ziegler,
Dr. Darren Finch, Dr. Brenda Finch, Ted Brenner, Skip Vronsky, Dr. Kathy
Grieff, dan sahabat terdekat Morgan, Dr. Amy Menser. Ada kemungkinan Morgan
dianggap punya kepribadian yang tidak bisa diprediksi, dikontrol, dan dianggap
percobaan gagal sehingga harus dimatikan. Keadaan menjadi semakin tak
terkendali ketika Morgan benar-benar marah dan menyerang seluruh kru fasilitas.
Dari premise-nya tentu banyak
yang teringat akan film Joe Wright, Hanna
(2011) yang dibintangi Saoirse Ronan dan Cate Blanchett. Bedanya jika jati diri
Hanna yang sebenarnya menjadi jawaban atas film, maka sejak awal film kita
sudah tahu bahwa Morgan adalah sosok intelijensia buatan. Namun keduanya
membangun simpati penonton lewat karakter sentralnya. Untung saja Morgan punya naskah dan penyampaian
cerita yang menarik lewat pengenalan karakter-karakternya. Tak istimewa (bahkan
adegan ‘titik balik’ karakter Morgan masih kalah jauh jika dibandingkan Ex-Machina yang begitu signatural dan
powerful) tapi tetap menarik untuk diikuti. Seperti ‘dipermainkan’ oleh sosok
Morgan yang meski di satu sisi mengerikan tapi tetap saja mengundang rasa iba.
Kendati mungkin penonton yang cukup akrab dengan tema serupa tentu bisa menebak
bahwa akan meletus sebuah klimaks yang kaput. Tentu ini menjadi momen yang
paling ditunggu-tunggu. Hanya saja jika kebanyakan film sejenis meletakkan
adegan kaput sebagai awal konflik baru kemudian dikembangkan petualangan
pencarian hingga klimaks terletak pada penangkapan, maka Morgan justru meletakkan adegan kaput tersebut sebagai bagian dari
klimaks yang letaknya setelah durasi berjalan sekitar 1 jam. Barulah kemudian
konklusi dan revealing yang berjalan hanya sekitar 30 menit. Bagi saya, ini tak
menjadi masalah. Mungkin universe yang terbatas memang suatu kesengajaan untuk
menjaga fokus emosi penonton pada sosok Morgan dan orang-orang di sekitarnya. Apalagi
dengan budget yang ‘hanya’ US$ 8 juta saja. Namun tentu ada juga penonton yang
mengharapkan skala cerita yang lebih besar akan kecewa dengan hasil akhirnya
yang dianggap ‘begitu saja’.
Tunggu dulu. Bagi saya, highlight
Morgan bukan lah pada konsep atau
filosofis baru apa yang dibawa, tapi lebih sebagai project contoh dari seorang
Luke Scott sebagai sutradara debutan yang adalah putra dari sutradara kelas
atas, Ridley Scott. Let’s say ini adalah project skala kecil sebagai sebuah tes
kepiawaian Luke dalam menangani project. For that purpose, menurut saya Luke
punya talenta yang sama besarnya dengan sang ayah, terutama dalam membangun
nuansa ketegangan suspense a la Alien,
visualisasi adegan aksi yang mendebarkan. Meski jumlah keseluruhan tak banyak
tapi selalu berhasil bikin saya meringis karena tersugesti. Serta yang tidak
kalah pentingnya, menyusun plot cerita dengan twist yang tergolong rapi kendati
tak benar-benar mengejutkan (terutama bagi penonton yang familiar dengan tema
maupun formula sejenis). As a debutant, he’s really really good. Singkatnya, ia
berhasil membungkus naskah sederhana dengan lingkup sempit Morgan menjadi sajian yang cukup menarik perhatian penonton, dan
menampilkan kengerian sekaligus iba terhadap sosok Morgan yang cukup kuat, dari
awal hingga akhir film.
Anya Taylor-Joy tentu menjadi
perhatian utama penonton sebagai sosok Morgan. Selain karena punya porsi yang
paling banyak, Taylor-Joy memang berhasil menghidupkan karakter Morgan yang
misterius dan tak terduga degnan begitu gemilang. Keragu-raguan, ketakutan,
sampai amarah tanpa kendali ditampilkan dengan begit powerful dengan
transformasi yang logis. Kate Mara mungkin dianggap sebagai salah satu aktris
dengan ekspresi wajah terdatar di Hollywood. Di sini pun ia tak mengalami
perubahan sama sekali. As stiff as ice. Namun di Morgan justru ekspresi wajah datar-nya ini termanfaatkan sesuai
konsep cerita. Bagi Anda yang tidak mengira revealing Morgan, awalnya akan menganggap akting Mara memang begitu-begitu
saja. Namun begitu Anda mulai punya kecurigaan atas revealing-nya, maka Anda
akan memahami kebutuhan tersebut dari karakter Lee Weathers. Untuk urusan
performa bela diri, baik Taylor-Joy maupun Mara sama-sama punya kualitas kick-ass
yang seimbang.
Di deretan pemeran pendukung,
Paul Giamatti sebagai Dr. Alan Shapiro tampil mengesankan. Meski porsinya juga
terbatas, tapi menjadi salah satu adegan terpenting sepanjang film. Apalagi
Paul melakoni karakternya dengan timing perkembangan emosi yang pas dan
memuncak. Kemudian ada Rose Leslie sebagai Dr. Amy Menser yang membentuk
chemistry yang begitu kuat dengan karakter Morgan. Dilematis terbesar juga
ditunjukkan Leslie dengan begitu baik. Jennifer Jason Leigh sebagai Dr. Kathy
Grieff mengingatkan saya akan perannya sebagai Daisy Domergue di The Hateful Eight. Sementara Michelle
Yeoh sebagai Dr. Lui Cheng, Toby Jones sebagai Dr. Simon Ziegler, Chris
Sullivan sebagai Dr. Darren Finch, Vinnette Robinson sebagai Dr. Brenda Finch,
Boyd Holbrook sebagai Skip Vronsky, dan Michael Yare sebagai Ted Brenner,
tampil cukup sesuai porsi masing-masing dan masih bisa diidentifikasi serta
diingat penonton dengan mudah.
Mark Patten memahami betul style
visual Luke Scott (yang harus diakui banyak terpengaruh oleh style sang ayah)
sehingga menghasilkan sinematografi yang memenuhi keseluruhan kebutuhan adegan
dengan maksimal. Mulai drama, emosi antar personal, hingga action-thriller-nya.
Editing Laura Jennings membuat momentum tiap shot-pun selalu terasa tepat dan
adegan-adegan secara keseluruhan terangkai dengan menarik untuk diikuti. Score
music Max Richter memperkuat nuansa-nuansa misterius Morgan lewat bunyi-bunyian elektronik. Tak begitu stylish tapi
lebih dari cukup untuk mewakili sekaligus memperkuat nuansa yang ingin
dihadirkan. Terakhir, sound design dan sound editing menjadi salah satu
kekuatan terbesar Morgan. Dengarkan
kejernihan, detail, sekaligus kedahsyatan suara kaca yang hancur
berkeping-keping, tiap kali hantaman maupun tendangan dari Morgan atau Lee yang
terdengar begitu mantap. Masih ditambah fasilitas 7.1 surround yang terdengar
begitu maksimal dimanfaatkan.
Jika Anda mencari filosofi pada Morgan seperti sci-fi-sci-fi lain,
mungkin Anda akan kecewa. Ia mungkin memang tak akan menjadi salah satu judul
yang penting dicatat sejarah dalam genre maupun temanya. Namun sebagai debut
dari Luke Scott, Morgan adalah bukti
yang jelas bahwa ia bisa dan layak diperhitungkan untuk menangani
project-project yang lebih ambisius seperti sang ayah. Atau jika Anda tak
peduli dengan nama Luke Scott, setidaknya Morgan
masih bisa jadi sajian action-thriller-sci-fi ringan yang cukup menghibur.
Lihat data film ini di IMDb.