3D
4/5
Adventure
Based on Book
Drama
Fairy Tale
Family
Fantasy
Friendship
Hollywood
IMAX
Kid
Pop-Corn Movie
Psychological
Summer Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The BFG

Tinggal di sebuah panti asuhan di
London, Sophie yang sering mengalami insomnia gemar mengeksplorasi banyak hal
baru, terutama lewat buku. Suatu ketika perhatiannya teralihkan oleh bayangan
raksasa di jalanan. Benar saja, ada sesosok raksasa yang gemar berkeliling kota
di saat witching hour (sekitar jam 3 dini hari). Raksasa itu kaget dan langsung
membawa Sophie ke Negeri Raksasa yang letaknya jauh. Awalnya Sophie mengira
dirinya akan dimakan oleh sang raksasa. Ternyata raksasa yang berprofesi
sebagai penangkap mimpi ini berbeda. Raksasa berjuluk BFG (Big Friendly Giant)
ini hanya ingin rahasia keberadaannya tak diketahui manusia sekaligus berteman
dengan Sophie. Di sisi lain, Sophie dilarang keluar dari rumah BFG karena ada
ancaman raksasa-raksasa lain yang ukurannya jauh lebih besar dan gemar memakan
manusia. Gerombolan 9 raksasa yang dipimpin oleh Fleshlumpeater ini ternyata
juga gemar mem-bully BFG yang dianggap memalukan kaum raksasa karena tak suka
makan manusia dan malah dijadikan teman. Sophie meng-encourage BFG supaya
melawan kesewenangan gerombolan raksasa ini. Maka keduanya menyusun siasat
untuk menghentikan aksi gerombolan raksasa.
Tak semua dongeng anak-anak cocok
diadaptasi ke layar lebar. Belum lagi pilihan format animasi atau live-action
yang lebih sesuai untuk visualisasinya. Ada alasan mengapa tak ada yang berani
mengangkat The BFG ke layar lebar
(selama ini hanya ada versi film TV animasi yang dirilis tahun 1989). Selain
faktor visual effect yang saat itu belum cukup mengakomodir, faktor banyaknya
‘punya momen sinematik’ juga menjadi pertimbangan. Tentu penonton yang sudah
repot-repot nonton di bioskop tidak bisa dikecewakan dengan ‘cinematic moment’
yang kurang. Dari materi aslinya, jujur saja The BFG termasuk tak banyak punya potensi cenmatic moment.
Untungnya, The BFG punya
talent-talent yang bisa membuat materi ‘biasa saja’ jadi punya nafas magis
sinematik. Terutama sekali Steven Spielberg yang tak perlu diragukan lagi
kemampuannya dalam menyampaikan cerita. The
BFG pun menjelma menjadi sebuah kisah petualangan seru yang terasa sangat
spektakuler di layar bioskop (bahkan terasa lebih lagi di layar IMAX) dengan
magical-magical moment yang bikin melongo sepanjang film, lengkap dengan feel
hearty yang begitu terasa hangat, terutama lewat pertalian hubungan antara
Sophie dan BFG.
Sadar tak punya materi klimaks
yang bombastis, Spielberg lebih menitik beratkan dan mengeksplor hubungan
antara Sophie dan BFG. Terbukti perkembangan hubungan mereka dari saling curiga
sampai akhirnya saling memahami, bahkan saling dukung ini berhasil memikat saya
sehingga saya tertarik untuk terus mengikuti perkembangan hubungan antara
Sophie dan BFG, meski saya sadar sempat tak ada konflik besar yang mengancam
sejak awal hingga akhirnya dimunculkan dan menjadi klimaks dari cerita. Sambil
menunggu menjelaskan konflik utamanya, penonton disuguhi pengenalan Negeri
Raksasa dan Negeri Mimpi yang sama-sama punya kadar ke-spektakuleran visual
tingkat tinggi. Hingga akhirnya momen klimaks yang ternyata juga berlangsung
tak begitu lama, kisah ditutup dengan konklusi khas dongeng klasik yang manis
dan menyenangkan semua pihak, terutama target audience utamanya, anak-anak.
Menghidupkan karakter BFG yang
unik, Mark Rylance tampak tak sedikit pun canggung. Ia mampu menghidupkan
segala keunikan BFG dengan begitu nyata, tanpa terkesan dibuat-buat sedikit
pun, termasuk yang paling menonjol kemampuannya dalam berkata-kata dengan
berbagai miss-spelled. Serta yang paling penting, menjadi karakter yang
loveable. Tak salah jika Spielberg langsung melihat sosok BFG dalam diri
Rylance sejak bekerja sama untuk Bridge
of Spies. Si cilik pendatang baru, Ruby Barnhill pun berhasil mencuri
perhatian serta hati penonton lewat keberanian serta kepolosan yang terasa kuat
dilakoni. Sementara pendukung seperti Penelope Wilton sebagai Sang Ratu
Inggris, Rebecca Hall sebagai Mary, dan Rafe Spall sebagai Mr. Tibbs cukup
memberikan warna tersendiri dalam film lewat karakter-karakter yang screen
time-nya tak banyak. Terakhir, mungkin karakter-karakter gerombolan sembilan
raksasa; Jemaine Clement (Fleshlumpeater), Bill Hader (Bloodblotter), Adam
Godley (Manhugger), Michael Adamthwaite (Butcher Boy), Daniel Bacon
(Bonecruncher), Jonathan Holmes (Childchewer), Chris Gibbs (Gizzardgulper),
Paul Moniz de Sa (Meatdripper), dan Ólafur Darri Ólafsson (Maidmasher); mungkin masing-masing tak punya
banyak kesempatan untuk menjadi familiar (dan tak perlu juga), tapi setidaknya
cukup mengancam di banyak momen mendebarkan.
Visual memang menjadi formula
terpenting di The BFG. Since it’s
Spielberg’s, jadi tingkatkan ekspektasi Anda karena hasilnya selalu berada di
atas ekspektasi Anda. Mulai tim desain produksi yang dipimpin langganan
Spielberg, Rick Carter (Jurassic Park,
The Lost World: Jurassic Park, Amistad, A.I.: Artificial Intelligence, Munich,
War Horse, dan Lincoln), sampai visual effect yang menggunakan teknik Simulcam
yang memungkinkan karakter Sophie dan BFG berinteraksi secara langsung (dan
otomatis menjadi lebih ‘hidup’) meski BFG adalah hasil CGI motion-capture.
Sinematografi Janusz Kaminski yang juga langganan Spielberg lagi-lagi berhasil
membawa penonton ke keajaiban Negeri Raksasa secara maksimal, terutama dari
sudut pandang Sophie yang manusia biasa. Bersiap-siap dibuat melongo berkat
pergerakan kamera dan shot-shot yang juga maksimal mengeksplor desain-desain
produksi indah penuh keajaiban. Sebisa mungkin alami The BFG di layar IMAX 3D untuk experience yang maksimal. Format 3D
menawarkan depth yang lebih dari cukup dengan visualisasi serba raksasa yang
menjadi lebih terasa. Sayang tak ada pop-out gimmick yang dimunculkan. Editing
dari Michael Kahn membuat laju cerita The
BFG tetap nyaman diikuti meski durasinya tergolong panjang dengan bangunan
konflik yang tergolong ‘biasa’, sekaligus membuat momen-momen petualangan
mendebarkannya efektif. Tak perlu meragukan lagi tata suara yang begitu
maksimal dalam mendukung tiap momen yang disuguhkan. Semua terdengar mantap,
deep bass luar biasa, dialog tetap terdengar sangat jelas, serta pemanfaatan
fasilitas surround yang maksimal. Terakhir, scoring John Williams yang begitu
khas memang sudah sangat klop ‘kawin’ dengan visual serta penceritaan a la
Spielberg. Meski tak sampai menjadi sangat memorable, setidaknya sudah membuat
nuansa The BFG menjadi sekelas film-film
fantasi timeless Hollywood lainnya.
Dibandingkan film-film fantasi
Hollywood beberapa tahun terakhir, The
BFG memang tak punya momen-momen
klimaks bombastis. Bahkan mungkin terlalu ‘sederhana’ untuk ukuran film
keluarga era 2000-an. Tapi The BFG menyuguhkan
storytelling dongeng fantasi klasik khas Spielberg seperti halnya E.T.: Extra Terrestrial yang
family-friendly dan sarat value. As for me, film fantasi keluarga seperti ini
yang sering saya rindukan untuk dialami lagi di tengah bombardir film fantasi
yang menjual adegan-adegan million-dollars semata. The heart, the chemistry,
the innocent adventure, the cinematic magical visual... The BFG tidak boleh dilewatkan di layar IMAX 3D!
Lihat data film ini di IMDb.