4.5/5
Adventure
Blockbuster
Box Office
Dragon
Drama
Family
Fantasy
Friendship
Hollywood
Kid
Pop-Corn Movie
Remake
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pete's Dragon (2016)
Tahun 2016 bisa jadi menjadi
salah satu tahun paling produktif bagi Disney. Tak hanya mengandalkan film-film
Marvel yang sudah membukukan milyaran dolar, Walt Disney juga mencoba
menghadirkan film-film dongeng dari old vault mereka, seperti The Jungle Book, sekuel Alice in Wonderland, Alice Through the Looking Glass,
kemudian The BFG yang digarap oleh
Steven Spielberg, dan kini Pete’s Dragon (PD).
Judul yang saya sebutkan terakhir ini merupakan remake film berjudul sama yang
dirilis tahun 1977. Kisah PD sendiri awalnya sebuah cerpen karya Seton I.
Miller dan S. S. Field yang dibeli oleh Disney tahun 50’an untuk dijadikan
salah satu program antologi di Disneyland. Namun rupanya treatment dari penulis
naskah Malcolm Marmorstein membuat Disney tertarik untuk mengangkatnya ke layar
lebar. Jika versi 1977 adalah film live action musikal yang digabung dengan
animasi 2D untuk sosok Sang Naga dan lebih cenderung ke komedi, maka PD versi
2016 tak lagi dibuat musikal, dengan bantuan CGI untuk membuat tampilan Sang
Naga yang realistis, dan lebih sebagai drama keluarga yang hangat dan
menyentuh. Dipilihlah David Lowery yang dikenal lewat film yang berjaya di
Sundance, Ain’t Them Body Saints
(2013). Tak hanya duduk sebagai sutradara, Lowery juga menuliskan naskahnya
bersama Toby Halbrooks (co-produser sekaligus colorist Upstream Color dimana Lowery bertindak sebagai editor). Persamaan
dengan versi 1977 rupanya hanya ada pada judul dan core value, karena Lowery
ternyata melakukan perubahan yang cukup signifikan dalam hal plot. Mengaku mengambil
referensi dari film-film animasi produksi Ghibli, terutama karya Hayao
Miyazaki, PD versi 2016 menjanjikan kehangatan serta kemagisannya sendiri.
Sebuah kecelakaan yang menewaskan
kedua orang tuanya ketika masih berusia 5 tahun membuat Pete harus hidup dan tinggal
sendirian di dalam hutan. Tak disengaja Pete bertemu dengan sesosok naga
berbulu hijau dan berukuran besar yang lantas menjadi sahabatnya. Mengambil
ilham dari buku cerita yang ia gunakan untuk belajar membaca, ia menamai sang
naga Elliot. Ajaibnya, Elliot punya kemampuan untuk membuat dirinya invisible
alias tak kasat mata.
Enam tahun kemudian, Pete
dipertemukan dengan Natalie, gadis seumuran dengannya. Ibu Natalie, Grace,
bekerja sebagai ranger penjaga hutan. Iba dengan keadaannya, Grace membawa Pete
ke rumah mereka untuk sementara waktu sambil mencari tahu tentang identitas
Pete yang sebenarnya. Namun yang paling membuat heran Grace adalah cerita Pete
tentang sahabatnya di dalam hutan yang adalah seekor naga. Selama ini Grace
merasa sudah mengenali seluruh penjuru hutan tersebut tapi tak pernah sedikit
pun melihat sosok naga yang diceritakan Pete. Grace jadi teringat cerita
ayahnya, Meacham, yang mengaku pernah melihat naga bersayap seperti yang
diceritakan Pete ketika masih muda. Selama ini Grace menganggap cerita ayahnya
hanyalah bualan semata karena ia punya prinsip tak akan percaya hal-hal yang
tak pernah dilihatnya. Sementara itu, Elliot terus berusaha mencari Pete sampai
keberadaannya mulai terekspos oleh warga sekitar. Gavin, saudara kekasih Grace,
Jack yang bekerja sebagai penebang kayu di hutan, terobsesi untuk menangkap
Elliot dan menjadikannya sebagai sarana memperoleh kekayaan serta popularitas.
Dibandingkan versi 1977, plot
versi 2016 mengalami perombakan yang cukup signifikan. Jika di versi 1977 Pete
digambarkan sebagai anak tiri dari keluarga yang membencinya, maka di sini ia
adalah sosok anak yang hidup di dalam hutan sendirian. Membuat penonton
teringat akan sosok Tarzan ataupun Mowgli, tapi ini jelas cara yang jauh lebih
baik untuk membuat persahabatan antara Pete dan Elliot jadi lebih masuk akal.
Apalagi cerita anak tiri tentu sudah terasa out of date dan overrated.
Pertemuannya dengan sosok yang memang ‘dekat’ dengan hutan, yaitu ranger
penjaga hutan dan penebang kayu, juga punya fungsi membuat naskahnya punya
value lebih selain bangunan konsep cerita yang lebih solid. Secara keseluruhan,
konsep cerita dari Lowery mungkin terdengar sangat familiar dan cliché dalam ranah
dongeng fantasi keluarga, tapi disusun dengan komposisi yang tepat dan
memberikan value lebih.
Namun yang menjadi kekuatan
utamanya ternyata terletak pada bagaimana Lowery membawa PD menjadi sebuah
dongeng fantasi yang secara konstan bertutur dengan menarik dan drama keluarga
yang berhasil menyentuh penonton dengan hati yang begitu besar serta hangat. Ada cukup banyak momen yang membuat saya
merasakan kehangatan serta ketulusan persahabatan Pete-Elliot dan Grace-Pete. Jika
Anda pernah dan menyukai keajaiban dari hangatnya film-film keluarga klasik
Disney, Lowery berhasil menghadirkannya kembali di PD. Tak heran jika banyak
penonton yang mengaku terharu bahkan sampai berkaca-kaca bahagia ketika
menyaksikan PD.
Mengisi peran cilik utama, Oakes
Fegley sebagai Pete jelas menjadi pusat perhatian penonton. Apalagi Fegley
berhasil menunjukkan kepolosan, keberanian sekaligus ketakutan, dan juga
ketulusan dengan begitu convincing. Daya tarik berikutnya terletak pada Dallas
Bryce Howard yang kali ini menunjukkan aura keibuan yang begitu lembut tapi
juga tegas sebagai ranger penjaga hutan. Karl Urban sebagai Gavin, peran
antagonis yang juga berfungsi sebagai karakter komedik, memberikan performa
yang lebih dari cukup sesuai fungsinya tanpa terkesan berlebihan baik sebagai
villain maupun komedik, mengingat ini adalah materi yang seharusnya aman untuk
semua usia. Kemudian ada Robert Redford sebagai Meacham, kakek yang mungkin
porsinya tak banyak tapi berhasil menjadi loveable apalagi setelah klimaks yang
mana karakternya menjadi penting. Oona Lawrence sebagai Natalie cukup baik
untuk ‘mendampingi’ Pete di balik keterbatasan screen time dan potensi peran.
Begitu juga dengan Wes Bentley sebagai Jack yang terkesan hanya sekedar
melengkapi cerita.
Bojan Bazelli punya andil yang
penting dalam menghadirkan keseruan adegan-adegan petualangan sekaligus
keharuan yang maksimal tanpa kesan eksploitasi berlebihan di momen-momen
emosionalnya, lewat bidikan kameranya. Editing Lisa Zeno Churgin menjaga
presisi porsi tiap momen. CGI garapan Weta Digital, terutama dalam visualisasi
sosok Elliot, mungkin tak ada yang benar-benar unik atau baru, tetapi tetap
saja mengagumkan. Namun yang paling membuat saya kagum adalah komposisi music
score dari Daniel Hart. Tergolong baru di ranah composing for full-feature,
Hart mampu menghadirkan cita rasa kehangatan sekaligus kemegahan bak film-film
Disney klasik untuk scoring PD. Bahkan harus saya akui salah satu faktor
terkuat dalam menyentuh hati penonton adalah iringan scoringnya yang luar
biasa. Selain itu pilihan soundtrack yang bernuansa country pilihan Jack
Jackson juga terasa begitu menyatu dengan nuansa film secara keseluruhan. Mulai
theme song The Dragon Song dari
Bonnie “Prince” Billy, Something Wild
dari Lindsiy Sterling dan Andrew McMahon in the Wilderness, Nobody Knows dari The Lumineers, sampai
yang menjadi benang merah versi 1977 ke 2016, Candle on the Water yang
kali ini dibawakan oleh Okkervil River.
Jika Anda merindukan kisah-kisah
dongeng keluarga khas klasik Disney, PD versi 2016 jelas akan membawa kembali
feel magis yang pernah Anda rasakan dulu. Tak hanya lewat suguhan
petualangannya, tapi juga momen-momen yang dengan mudah menyentuh dan bikin
tersenyum bahagia. Ajak pula penonton-penonton cilik untuk merasakan kemagisan
yang sama seperti yang Anda pernah rasakan dulu. Di tengah bombardir film-film
petualangan yang lebih banyak sekedar mementingkan adegan-adegan bombastis, PD
menjadi kesegaran tersendiri lewat hatinya yang begitu besar dan hangat.
Lihat data film ini di IMDb.