3/5
Comedy
Drama
Family
Fantasy
Futuristic
Hindi
Marriage
mature relationship
Personality
Psychological
Romance
SciFi
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Time Travel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Baar Baar Dekho
‘Ajaran’ untuk menghargai tiap
momen dalam hidup bersama orang-orang terkasih di atas ambisi pribadi sudah
sangat sering disampaikan lewat film, apalagi Hollywood. Yang paling mudah
terlintas dalam benak saya adalah Click,
film drama komedi Adam Sandler yang harus saya akui menjadi film terkelamnya
sampai saat ini. Saking menghantuinya, Click
menjadi salah satu referensi utama saya jika menyebut tema ‘embracing every
moment in life’. Tahun 2016 ini ada satu judul film Hindi yang mencoba
mengangkat tema ini. Lahir dari buah pikiran Nitya Mehra (astrada di Life of Pi dan The Reluctant Fundamentalist) di akhir 2013, Excel Entertainment
mempercayakan project ini sebagai debut layar lebarnya, baik sebagai penulis
naskah (dibantu Sri Rao, Anuvab Pal, dan Anvita Dutt – Queen dan Shaandaar) maupun
sutradara. Produser Karan Johar melalui Dharma Production kemudian tertarik
untuk ikut terlibat, seiring dengan rumor masuknya Aamir Khan, Hrithik Roshan,
dan Deepika Padukone di jajaran cast-nya. Hingga akhirnya diputuskan Sidharth
Malhotra, aktor yang tergolong baru namun sudah menarik perhatian di mana-mana
terutama lewat Student of the Year
dan baru saja, Kapoor & Sons,
serta salah satu Hindi’s sweetheart, Katrina Kaif sebagai sang lawan main.
Secara plot, Baar Baar Dekho (BBD - English:
Look Again and Again) dinilai
mengambil inspirasi dari film Hollywood yang tak terlalu populer, Shuffle (2011).
Sejak kecil, Jai dan Diya adalah
pasangan yang tak terpisahkan. Ketika dewasa, keduanya punya ambisi yang
berbeda. Sementara Diya menjadi seorang seniman, Jai memilih mengejar ambisinya
di bidang matematika. Ujian datang ketika Diya merasa sudah saatnya untuk
meresmikan hubungan mereka. Jai merasa takut akan perubahan dalam hidup mereka,
terutama berkaitan dengan ambisinya untuk mengajar di Cambridge. Di satu malam
ketika Jai hampir mengacaukan semuanya, ia tertidur dan terbangun saat 10 hari
kemudian, saat Jai dan Diya sedang berbulan madu di Thailand. Meski kaget dan
penasaran, awalnya Jai masih mencoba menikmati tiap momen. Hingga tiap kali
terbangun ia sudah melompati waktu makin jauh dan mendapati makin lama keadaan
keluarganya semakin semrawut. Jai pun bertekad untuk memperbaiki semuanya
sambil mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi penyebab ia melompati waktu
sekian jauh.
Ide cerita BBD memang bukan hal
baru. Bahkan dari premise-nya saja, kita pasti bisa menebak value apa yang
ingin di-‘ajar’-kan. Namun bagi saya, daya tariknya terletak pada
kejadian-kejadian di tiap lompatan waktu dan tentu saja memecahkan misteri apa
yang menjadi penyebab sang karakter utama mampu melompati waktu, secara acak
pula. Sayangnya, sebagai drama romantis dengan konsep yang tergolong
complicated, BBD tidak mempunyai penjelasan yang jelas (apalagi rasional) atas
semua yang terjadi. Penonton hanya bisa menerka-nerka (atau memilih sesuai
kepercayaan masing-masing) dari elemen-elemen yang dihadirkan. Elemen
matematika yang coba dimasukkan pun ternyata tak menjadi sesuatu yang punya
pertalian apapun dalam penjelasan, bahkan sekedar 'aturan' atau 'pola' lompatan waktu sekalipun. Well, sebenarnya bisa saja sih ini disengaja
untuk mempertegas konsep, ‘hidup tidak selalu bisa dijawab lewat matematika dan
rasional’. But I can’t hide, I demand more explanation about the details it’s
spread around that complicated.
Permasalahan lain lantas muncul
dari penyebab konflik sebenarnya. Ketika Jai freak out sehari sebelum
pernikahan, dengan jelas bisa disimpulkan bahwa Jai hanya belum siap untuk
menikah karena ada cita-cita yang belum ia capai. Jika mau adil, seharusnya Jai
dan Diya masih bisa mengkomunikasikan kepentingan keduanya dan mencari jalan
tengahnya. Sayangnya, Nitya mengarahkan cerita pada sudut pandang feminis dimana
pihak laki-laki yang salah karena lebih mementingkan ambisi daripada
pasangannya. Saya tak melihat ada yang salah dengan pola pikir Jai. Justru di
saat yang sama, Diya lah yang tarasa egois karena selalu harus dituruti. Nitya
bukan tak menyadari ini, karena ada dialog dimana Diya mengakui dirinya yang
harus selalu mengambil keputusan atas mereka. Sepanjang film, Nitya tak pernah
sedikit pun menaruh kesalahan kepada Diya, bahkan terus-terusan menjadi sosok
yang harus dibela. Sorry but since the very first place, BBD sudah tidak punya
keadilan dan terus dibiarkan sampai akhir film. Bagi saya, ini bukanlah pondasi
cerita yang baik sehingga selalu saja ada yang mengusik pikiran serta perasaan
hingga akhir film.
Jika penjelasan yang jelas bin
rasional dan ketidak-adilan konsep cerita tidak terlalu menjadi soal bagi Anda,
BBD masih punya permasalahan lain lagi yang cukup membuat penceritaan kurang
berjalan dengan lancar. Mungkin karena ini merupakan project debut-nya, penceritaan
Nitya Mehra masih terasa terbata-bata di hampir tiap momen. Ini yang membuat pace cerita yang seharusnya
dibuat dinamis agar tetap membuat penonton penasaran apa yang terjadi
selanjutnya, masih terkesan agak bertele-tele. Alhasil hampir di tiap lompatan
momen, saya jadi tak sabar untuk menemukan inti sarinya untuk kemudian langsung
melompat ke momen berikutnya. Mungkin juga faktor formula yang terlalu familiar
sehingga membuat otak saya berujar ‘I’ve seen that before, fast forward to the
next moment, please!'. Other than that, Nitya Mehra masih
tergolong lumayan dalam menghadirkan kehangatan momen-momen dramatis
terpentingnya, sekaligus menyampaikan value utamanya untuk ‘embracing every
moment in life’.
Melakoni karakter dari usia ke
usia, kemampuan akting Sidharth Malhotra terlihat makin terasah. Meski tak
diberi perkembangan karakter yang signifikan di tiap jenjang usia, tapi
ekspresi wajahnya cukup mewakili tiap emosi yang dibutuhkan. Begitu juga
Katrina Kaif yang porsi perkembangan karakternya lebih sedikit lagi. Tak buruk,
namun juga tak istimewa. Sebagai pasangan, keduanya menunjukkan chemistry yang
cukup meyakinkan. Di lini cast pendukung, ada Sarika sebagi ibu Jai dan Ram
Kapoor sebagai ayah Diya yang makin menghangatkan nuansa film dan loveable.
Lalu ada Sayani Gupta sebagai Chitra, Rohan Joshi sebagai Raj, dan Taaha Shah
sebagai Anand sedikit mencuri perhatian di balik screen presence-nya tergolong
terbatas. Namun tentu saja daya tarik yang tak terelakkan adalah Rajit Kapur
sebagai Pandit yang memberikan performa seimbang antara wise dan komedik.
Salah satu yang membuat saya
harus angkat topi untuk Nitya adalah visi visualnya, terutama dalam
menghadirkan berbagai elemen futuristik. Tak terlalu orisinil, tapi
divisualisasikan lewat visual effect yang mumpuni. Tata rias juga menjadi
kekuatan yang tak kalah pentingnya, terutama dalam penggunaan prostetik yang
meski masih terlihat sedikit kaku, tapi masih layak untuk diapresiasi.
Sinematografi Ravi K. Chandran mampu mengeksplorasi tiap latar desain produksi
cantik dan futuristik tanpa meninggalkan emosi tiap momen. Editing Amitabh
Shukla pun termasuk pas dalam mempertahankan emosi yang dibutuhkan meski pace
cerita harus sedikit mengalah. Lagu-lagu penghias masih bisa memberikan warna
emosi pada beberapa bagian, tapi tak ada satupun yang benar-benar berhasil
membekas dalam ingatan saya setelah film berakhir.
Sebagai sebuah project debut dari
Nitya, BBD memang tak sepenuhnya gagal. Cukup banyak kekurangan, terutama dalam
mengembangkan setup plotline dan storytelling yang lebih lancar, tapi
setidaknya Nitya masih cukup baik dalam menyampaikan emosi cerita. Semoga saja
skill dan sense-nya makin terasah dari project ke project. Sementara itu, jika
Anda tertarik dengan premise-nya atau memang menyukai tema-tema sejenis, BBD masih
layak dimasukkan ke dalam daftar referensi tontonan.
Lihat data film ini di IMDb.