1/5
Action
Crime
Fantasy
Indonesia
Mystery
Pop-Corn Movie
supernatural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Algojo: Perang Santet
Memilih jalur independen memang
tak pernah mudah. Setidaknya ini yang bisa saya tarik setelah mengikuti
perkembangan sepak terjang seorang Rudi Soedjarwo sejak mendirikan workshop
filmmaking ‘Underdog Fightback’ (UF) dan studio audio-visual terintegrasi, Integrated
Film Solution (IFS). Tak hanya mencoba memproduksi film-film sendiri tanpa
campur tangan PH yang lebih besar, Rudi juga memberdayakan bakat-bakat baru
baik di crew maupun casting. Jika beberapa bulan lalu ia merilis drama romantis
yang terkesan sangat personal bagi seorang Rudi, Stay with Me, maka kali ini di tahun yang sama, ia akhirnya
mendapatkan slot tayang untuk film ketiga UF-IFS (jika dihitung berdasarkan
urutan rilis di layar lebar), Algojo:
Perang Santet (APS).
Project yang sebenarnya sudah
selesai akhir 2014 ini memposisikan Rudi sendiri sebagai sutradara, sementara
penulisan naskah dipercayakan kepada Anggi Septianto (Janji Hati dan Stay with Me),
dibantu Alm. Kim Kematt (Kakak).
Mengangkat tema action a la superhero, awalnya teaser trailer APS menjanjikan
visual effect yang termasuk layak dan bikin penasaran. Sayangnya, ketika
trailer berikutnya dirilis, visual effect yang menjadi salah satu daya tarik
utama terlihat mengalami penurunan. Ditambah kemudian diumumkan ‘embel-embel’ Perang Santet sebagai sub-titel yang
semakin membuat ‘drop’ nilai berkelasnya. Well, jika memang membidik audience
menengah ke bawah sebagai yang utama, keputusan ini sebenarnya masih sah-sah
saja. Tantangan yang sebenarnya datang dari sesama film Nasional, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1
yang rilis di tanggal yang sama. Dengan hype yang dibangun gila-gilaan oleh
Falcon Pictures serta materi film yang sudah legendaries di benak jutaan
penduduk Indonesia, persaingan menjadi semakin sulit. Namun, tak ada salahnya
coba menyaksikannya, setidaknya nama Rudi Soerdjarwo masih bisa dijadikan
semacam ‘jaminan mutu’. Begitulah pemikiran yang sempat terlintas di benak saya.
Ketika kecil, Desta menjadi saksi
bagaimana sang ayah, Bima sering mempraktekkan ilmu healing kepada sang ibu
yang terlihat sakit-sakitan. Ia juga pernah menyaksikan sang ayah diancam oleh
sekelompok orang misterius. Sang ayah tampak menolak mentah-mentah kerjasama
yang ditawarkan mereka dan beberapa hari kemudian sang ayah ditemukan tewas.
Tak lama kemudian, sang ibu yang kondisi kesehatannya makin memburuk akhirnya ikut
menyusul sang ayah. Ketika dewasa, Desta menjadi sosok misterius yang pendiam
dan penyendiri. Tekadnya hanya satu: membalaskan dendam sang ayah. Dalam
pencariannya, Desta bertemu dengan seorang wanita muda bernama Moska. Ia
bersama adiknya, Supra, serta dua sahabat, Sabrina dan Osh, mempelajari ilmu
healing untuk menolong orang-orang yang sakit misterius atau diduga terkena
serangan santet. Siapa sangka ternyata Moska terkait dengan sosok Patih yang
Desta tuduh sebagai pelaku pembunuhan sang ayah. Tak hanya Desta yang dilanda dilema
dalam memilih keputusan, tapi juga Moska. Sementara ‘serangan’ dari kubu Patih
semakin gencar mengincar mereka.
Terdengar cliché tapi cukup menarik, bukan? Ketika membaca premise resminya, saya langsung membayangkan aksi a la
superhero dengan sentuhan supranatural lokal (di sini direpresentasikan sebagai
santet) yang seru dan visualisasi stylish seperti di trailernya. Sayang,
fantasi (dan ekspektasi) saya langsung down ketika sejak awal, APS menyampaikan
narasinya dengan amat sangat lambat (baca: super lelet). Alih-alih membangun
excitement, APS malah menuturkan formula cliché-nya secara bertele-tele, datar, lambat, dan
sunyi. Ketika saya menanti sambil mengharapkan perkembangan cerita yang semakin
menarik, ternyata yang saya dapatkan tak kunjung datang. Alhasil, selama durasi
92 menit tak banyak perkembangan cerita yang terjadi. Sama sekali tak ada
dimensi lebih dalam baik dari segi cerita maupun para karakternya, sehingga alur
plot yang tergelar di layar adalah semua yang akan Anda dapatkan. Bisa jadi pace yang super lamban ini untuk 'mengakali' perkembangan cerita yang memang tak jauh ke mana-mana. Saya pun jadi sempat
berpikir, dengan treatment yang lebih dinamis dan asyik, keseluruhan plot yang digulirkan
sebenarnya hanya butuh durasi 20-30 menit saja.
Dengan demikian, saya sama sekali
tidak merasakan attachment terhadap satu karakter pun, termasuk karakter utama
Desta yang seharusnya menjadi kunci penarik emosi penonton. Chemistry asmara
antara karakter Desta dan Moska pun terkesan seperti formula dasar yang asal
ada, tanpa ada proses maupun detail yang membuat saya percaya percikan itu hadir
secara natural, tidak dibuat-buat. Malahan sub-plot asmara antara keduanya
terkesan begitu konyol untuk dijadikan alasan keputusan yang diambil Moska.
Padahal bisa saja Moska menggunakan alasan lebih substansial, yang akan lebih
saya hargai ketimbang sekedar motivasi picisan, ‘jatuh cinta’.
Jujur, melihat hasil akhirnya,
saya sempat tak percaya APS disutradarai oleh Rudi sendiri. Naskah yang bak
ditulis oleh amatir tak juga berhasil menjadi lebih menarik dengan arahan Rudi.
Pergerakan cerita yang lambat dan sepi memang menjadi salah satu ciri Rudi,
tapi dengan kedangkalan cerita, karakter, serta adegan-adegan aksi yang ternyata
hanya sekedar tangan seolah-olah melempar senjata ‘bayangan’ dan menghindar, it
just didn’t work out at all. It felt so shallow, cheap, and far from classy. I’d
sadly say, this has been Rudi’s worst to date.
Begitu mendapati fakta bahwa Christoffer
Nelwan memerankan karakter yang versi dewasanya dimainkan Darius Sinathrya, sudah
cukup membuat saya tercengang. Tanpa bermaksud menyinggung fisik, siapa pun
bisa melihat dengan jelas bahwa keduanya tak punya identikasi sama sekali.
Meski sebenarnya Nelwan memberikan ‘nyawa’ amarah dan dendam yang cukup baik ke
dalam karakter Desta. Darius pun sebenarnya tak buruk, hanya saja memang tak
banyak perkembangan karakter yang terjadi ketika Desta dewasa, sehingga tak
banyak kesempatan untuk memberikan nyawa ‘lebih’ ke dalam karakter tersebut.
Pendatang baru Stevie Domminique Jollie sebagai Moska berhasil menarik
perhatian lewat pesona kharisma-nya yang cukup terasa. Otig Pakis sebagai Patih
tidak diberi kedalaman dimensi lebih selain sekedar antagonis bengis yang cukup
direpresentasikan oleh penampilannya. Emil Kusumo sebagai Bima cukup memberikan
kesan di balik porsinya yang sangat terbatas.
Satu-satunya yang masih bisa saya
apresiasi dari APS adalah sinematografi dari Arfian yang seperti film-film Rudi
lainnya, masih terjaga dengan baik. Permainan fokus untuk menghasilkan dimensi,
komposisi shot, sampai pergerakan kamera, semuanya tergarap dengan baik. Visual
effect masih lebih banyak terlihat kasar dan ‘murahan’ ketimbang yang
mengagumkan. Visualisasi serangan santet yang diwakili oleh berbagai senjata
fisik agaknya tidak terlalu berhasil karena ketika mengenai target, senjata
fisik dibuat menghilang dan tidak menunjukkan dampak nyata pada fisik luar
korban. Saya paham ini hanyalah visualisasi dari serangan santet yang
sebenarnya tak kasat mata dan efeknya pun lebih ke bagian dalam ketimbang
permukaan tubuh luar (pun juga dijelaskan di prolog bahwa serangan santet itu
tidak berupa benda fisik tapi sifat benda saja), tapi keputusan pemilihan
visualisasi demikian menurut saya lebih terkesan konyol ketimbang menarik.
Saya tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan editing dari Rano Dimas atas pergerakan plot yang serba lamban.
Tentu tak mudah membuat film menjadi lebih enerjik ketika materi yang diberikan
memang sudah lamban dan laju plot yang memang terbatas. Setidaknya editing Rano
sudah mampu menjalin plot menjadi runtut dan jelas untuk diikuti. Music score
dari Andi Rianto sebenarnya lebih dari cukup untuk membuat beberapa momen punya
emosi lebih meski tidak sampai jadi signatural, sayangnya upaya tersebut masih
belum mampu membawa APS ke level yang lebih tinggi. Terakhir, saya suka dan
menghargai pilihan menjadikan Mind is
Battlefield dari Scaller sebagai theme song.
Saya, dan saya yakin tak sedikit
dari Anda, tentu membayangkan serunya konsep action a la superhero dengan elemen-elemen
supranatural lokal, skala cerita yang epik, serta kedalaman cerita yang cukup
layak. APS memang masih sangat amat jauh dari ekspektasi itu. Namun semoga saja
konsep yang ditawarkan Rudi dan timnya lewat APS bisa menarik minat investor
untuk mengembangkan jadi jauh lebih baik.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.