The Jose Flash Review
Algojo: Perang Santet

Memilih jalur independen memang tak pernah mudah. Setidaknya ini yang bisa saya tarik setelah mengikuti perkembangan sepak terjang seorang Rudi Soedjarwo sejak mendirikan workshop filmmaking ‘Underdog Fightback’ (UF) dan studio audio-visual terintegrasi, Integrated Film Solution (IFS). Tak hanya mencoba memproduksi film-film sendiri tanpa campur tangan PH yang lebih besar, Rudi juga memberdayakan bakat-bakat baru baik di crew maupun casting. Jika beberapa bulan lalu ia merilis drama romantis yang terkesan sangat personal bagi seorang Rudi, Stay with Me, maka kali ini di tahun yang sama, ia akhirnya mendapatkan slot tayang untuk film ketiga UF-IFS (jika dihitung berdasarkan urutan rilis di layar lebar), Algojo: Perang Santet (APS). 
Project yang sebenarnya sudah selesai akhir 2014 ini memposisikan Rudi sendiri sebagai sutradara, sementara penulisan naskah dipercayakan kepada Anggi Septianto (Janji Hati dan Stay with Me), dibantu Alm. Kim Kematt (Kakak). Mengangkat tema action a la superhero, awalnya teaser trailer APS menjanjikan visual effect yang termasuk layak dan bikin penasaran. Sayangnya, ketika trailer berikutnya dirilis, visual effect yang menjadi salah satu daya tarik utama terlihat mengalami penurunan. Ditambah kemudian diumumkan ‘embel-embel’ Perang Santet sebagai sub-titel yang semakin membuat ‘drop’ nilai berkelasnya. Well, jika memang membidik audience menengah ke bawah sebagai yang utama, keputusan ini sebenarnya masih sah-sah saja. Tantangan yang sebenarnya datang dari sesama film Nasional, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang rilis di tanggal yang sama. Dengan hype yang dibangun gila-gilaan oleh Falcon Pictures serta materi film yang sudah legendaries di benak jutaan penduduk Indonesia, persaingan menjadi semakin sulit. Namun, tak ada salahnya coba menyaksikannya, setidaknya nama Rudi Soerdjarwo masih bisa dijadikan semacam ‘jaminan mutu’. Begitulah pemikiran yang sempat terlintas di benak saya.

Ketika kecil, Desta menjadi saksi bagaimana sang ayah, Bima sering mempraktekkan ilmu healing kepada sang ibu yang terlihat sakit-sakitan. Ia juga pernah menyaksikan sang ayah diancam oleh sekelompok orang misterius. Sang ayah tampak menolak mentah-mentah kerjasama yang ditawarkan mereka dan beberapa hari kemudian sang ayah ditemukan tewas. Tak lama kemudian, sang ibu yang kondisi kesehatannya makin memburuk akhirnya ikut menyusul sang ayah. Ketika dewasa, Desta menjadi sosok misterius yang pendiam dan penyendiri. Tekadnya hanya satu: membalaskan dendam sang ayah. Dalam pencariannya, Desta bertemu dengan seorang wanita muda bernama Moska. Ia bersama adiknya, Supra, serta dua sahabat, Sabrina dan Osh, mempelajari ilmu healing untuk menolong orang-orang yang sakit misterius atau diduga terkena serangan santet. Siapa sangka ternyata Moska terkait dengan sosok Patih yang Desta tuduh sebagai pelaku pembunuhan sang ayah. Tak hanya Desta yang dilanda dilema dalam memilih keputusan, tapi juga Moska. Sementara ‘serangan’ dari kubu Patih semakin gencar mengincar mereka.

Terdengar cliché tapi cukup menarik, bukan? Ketika membaca premise resminya, saya langsung membayangkan aksi a la superhero dengan sentuhan supranatural lokal (di sini direpresentasikan sebagai santet) yang seru dan visualisasi stylish seperti di trailernya. Sayang, fantasi (dan ekspektasi) saya langsung down ketika sejak awal, APS menyampaikan narasinya dengan amat sangat lambat (baca: super lelet). Alih-alih membangun excitement, APS malah menuturkan formula cliché-nya secara bertele-tele, datar, lambat, dan sunyi. Ketika saya menanti sambil mengharapkan perkembangan cerita yang semakin menarik, ternyata yang saya dapatkan tak kunjung datang. Alhasil, selama durasi 92 menit tak banyak perkembangan cerita yang terjadi. Sama sekali tak ada dimensi lebih dalam baik dari segi cerita maupun para karakternya, sehingga alur plot yang tergelar di layar adalah semua yang akan Anda dapatkan. Bisa jadi pace yang super lamban ini untuk 'mengakali' perkembangan cerita yang memang tak jauh ke mana-mana. Saya pun jadi sempat berpikir, dengan treatment yang lebih dinamis dan asyik, keseluruhan plot yang digulirkan sebenarnya hanya butuh durasi 20-30 menit saja.

Dengan demikian, saya sama sekali tidak merasakan attachment terhadap satu karakter pun, termasuk karakter utama Desta yang seharusnya menjadi kunci penarik emosi penonton. Chemistry asmara antara karakter Desta dan Moska pun terkesan seperti formula dasar yang asal ada, tanpa ada proses maupun detail yang membuat saya percaya percikan itu hadir secara natural, tidak dibuat-buat. Malahan sub-plot asmara antara keduanya terkesan begitu konyol untuk dijadikan alasan keputusan yang diambil Moska. Padahal bisa saja Moska menggunakan alasan lebih substansial, yang akan lebih saya hargai ketimbang sekedar motivasi picisan, ‘jatuh cinta’.

Jujur, melihat hasil akhirnya, saya sempat tak percaya APS disutradarai oleh Rudi sendiri. Naskah yang bak ditulis oleh amatir tak juga berhasil menjadi lebih menarik dengan arahan Rudi. Pergerakan cerita yang lambat dan sepi memang menjadi salah satu ciri Rudi, tapi dengan kedangkalan cerita, karakter, serta adegan-adegan aksi yang ternyata hanya sekedar tangan seolah-olah melempar senjata ‘bayangan’ dan menghindar, it just didn’t work out at all. It felt so shallow, cheap, and far from classy. I’d sadly say, this has been Rudi’s worst to date.

Begitu mendapati fakta bahwa Christoffer Nelwan memerankan karakter yang versi dewasanya dimainkan Darius Sinathrya, sudah cukup membuat saya tercengang. Tanpa bermaksud menyinggung fisik, siapa pun bisa melihat dengan jelas bahwa keduanya tak punya identikasi sama sekali. Meski sebenarnya Nelwan memberikan ‘nyawa’ amarah dan dendam yang cukup baik ke dalam karakter Desta. Darius pun sebenarnya tak buruk, hanya saja memang tak banyak perkembangan karakter yang terjadi ketika Desta dewasa, sehingga tak banyak kesempatan untuk memberikan nyawa ‘lebih’ ke dalam karakter tersebut. Pendatang baru Stevie Domminique Jollie sebagai Moska berhasil menarik perhatian lewat pesona kharisma-nya yang cukup terasa. Otig Pakis sebagai Patih tidak diberi kedalaman dimensi lebih selain sekedar antagonis bengis yang cukup direpresentasikan oleh penampilannya. Emil Kusumo sebagai Bima cukup memberikan kesan di balik porsinya yang sangat terbatas.

Satu-satunya yang masih bisa saya apresiasi dari APS adalah sinematografi dari Arfian yang seperti film-film Rudi lainnya, masih terjaga dengan baik. Permainan fokus untuk menghasilkan dimensi, komposisi shot, sampai pergerakan kamera, semuanya tergarap dengan baik. Visual effect masih lebih banyak terlihat kasar dan ‘murahan’ ketimbang yang mengagumkan. Visualisasi serangan santet yang diwakili oleh berbagai senjata fisik agaknya tidak terlalu berhasil karena ketika mengenai target, senjata fisik dibuat menghilang dan tidak menunjukkan dampak nyata pada fisik luar korban. Saya paham ini hanyalah visualisasi dari serangan santet yang sebenarnya tak kasat mata dan efeknya pun lebih ke bagian dalam ketimbang permukaan tubuh luar (pun juga dijelaskan di prolog bahwa serangan santet itu tidak berupa benda fisik tapi sifat benda saja), tapi keputusan pemilihan visualisasi demikian menurut saya lebih terkesan konyol ketimbang menarik.

Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan editing dari Rano Dimas atas pergerakan plot yang serba lamban. Tentu tak mudah membuat film menjadi lebih enerjik ketika materi yang diberikan memang sudah lamban dan laju plot yang memang terbatas. Setidaknya editing Rano sudah mampu menjalin plot menjadi runtut dan jelas untuk diikuti. Music score dari Andi Rianto sebenarnya lebih dari cukup untuk membuat beberapa momen punya emosi lebih meski tidak sampai jadi signatural, sayangnya upaya tersebut masih belum mampu membawa APS ke level yang lebih tinggi. Terakhir, saya suka dan menghargai pilihan menjadikan Mind is Battlefield dari Scaller sebagai theme song.

Saya, dan saya yakin tak sedikit dari Anda, tentu membayangkan serunya konsep action a la superhero dengan elemen-elemen supranatural lokal, skala cerita yang epik, serta kedalaman cerita yang cukup layak. APS memang masih sangat amat jauh dari ekspektasi itu. Namun semoga saja konsep yang ditawarkan Rudi dan timnya lewat APS bisa menarik minat investor untuk mengembangkan jadi jauh lebih baik.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.