5/5
Action
adrenaline rush
Box Office
Crime
Hollywood
home invasion
Horror
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Don't Breathe
Sebelum memulai debut menggarap
remake Evil Dead (ED - 2013), nama
Fede Alvarez dikenal sebagai sineas film pendek Ataque de Pánico! (Panic
Attack! - 2009) yang membuatnya dilirik Ghost House Pictures untuk
menggarap remake film klasik Sam Raimi tersebut. Nasib sineas asal Uruguay ini
pun berubah seketika. Kesuksesan ED baik secara kualitas maupun angka penonton
membuatnya dilirik banyak studio untuk menggarap franchise-franchise besar,
bahkan Marvel Studios yang konon menawarinya menggarap salah satu film mereka
tapi ditolak mentah-mentah oleh Alvarez karena khawatir tidak punya banyak
kontrol kreatif dalam penggarapan. Alvarez justru menggarap film horor
berbudget kecil (‘hanya’ US$ 9.9 juta) bertajuk Don’t Breathe (DB). Berikutnya, Alvarez dikabarkan akan menggawangi
adaptasi video game Dante’s Inferno. DB
melanjutkan kerjasamanya dengan penulis naskah Rodo Sayagues setelah El cojonudo, Panic Attack!, dan Evil Dead,
composer Roque Baños, produser Sam Raimi dan Rob Tapert, serta aktris Jane Levy
dari ED. Jika kebanyakan trend tema home invasion di genre thriller/horror
beberapa tahun belakangan ini lebih sering dari sudut pandang pemilik rumah,
maka kali ini Alvarez mencoba membalikkan keadaan, yaitu dari sudut pandang
sang home invader dan ancamannya berasal dari pemilik rumah yang ternyata jauh
lebih beringas.
Money, Alex, dan Rocky adalah sahabat asal Detroit yang mengadu nasib menjadi penjarah rumah. Berbekal kunci pengamanan yang dicuri dari ayah Alex yang merupakan pemilik sebuah perusahaan home security, mereka sering dengan mudah menjarah rumah-rumah klien ayah Alex. Mereka menerapkan aturan tidak mencuri uang dan hanya benda-benda bernilai di bawah US$ 10.000 untuk menghindari hukuman penjara. Sayangnya benda-benda yang mereka curi dianggap tidak punya nilai bagi sang penadah. Ia menyarankan mereka merampok sebuah rumah di jalan Buena Vista yang ditinggali sendirian oleh seorang tentara veteran tuna netra. Konon setelah memenangkan kasus dimana putrinya menjadi korban tabrak lari beberapa tahun lalu, ia menyimpan ratusan ribu dolar. Bagi Rocky, ini adalah pencurian terakhir untuk membiayai rencana kepindahannya ke California demi hidup yang lebih baik. Rencana pun disusun untuk masuk dan merampok rumah sang veteran tuna netra. Di luar dugaan, sang veteran tuna netra adalah sosok yang sangat brutal dan jauh dari kesan tak berdaya seperti yang mereka duga. Belum lagi rahasia sang veteran yang membawa mereka ke dalam perangkap minim harapan untuk lolos.
Selain memang menarik secara
premise dasar yang merupakan sudut pandang kebalikan dari tema home invasion,
menggunakan karakter tuna netra sebagai villain punya advantage yang sangat
kuat. Memang secara umum kebutaan adalah sebuah ‘kelemahan’ yang menjadi
keuntungan bagi ketiga karakter perampok. Namun sebenarnya justru membuat
tindakan seseorang menjadi tak terduga dan seringkali membabi-buta. Tentu
ketiga karakter perampok harus ekstra hati-hati jika tidak mau nasibnya segera
berakhir. Dari konsep itu saja DB punya potensi yang luar biasa untuk menjadi
sebuah hide-and-seek thriller yang menggigit. Alvarez dan Baños menuliskan
naskah dari kisah sederhana dengan lika-liku yang serba tepat momen, mulai
introduction sampai penyikapan rahasia, bahkan konklusi yang beberapa kali
membuat saya terus menebak-nebak konsep mana yang akan dipilih: our main
characters win, morally correct, the blindman wins, or else. Untungnya jika mau
dianalisis, naskah memberikan konklusi yang ‘terbaik’. Tak ketinggalan
detail-detail tersembunyi di gambar yang bisa membuat penonton saling
berdiskusi tentang hal-hal yang tak dijelaskan secara gamblang, serta penggunaan alegori kumbang sebagai 'harapan'.
Sementara itu eksekusi Alvarez
selaku sutradara pun berhasil menghidupkan DB secara maksimal. Ia menjelma
menjadi sebuah non-stop hide-and-seek thriller yang begitu menegangkan, mulai
ketiganya menginjakkan kaki ke rumah the blindman hingga konklusi, which mean
sepanjang durasi film minus sekitar 15 menit introduction. Begitu ‘hidup’-nya
nuansa mencekam yang dihadirkan, bahkan saya akan merasa ikut bertanggung jawab
jika mengeluarkan suara sekecil apapun atau sekedar menghela nafas.
Sebagai sosok the blindman,
Stephen Lang menjadi cast performance dengan kekuatan terbesar sepanjang film.
Tanpa banyak berkata-kata (terhitung hanya punya dialog sebanyak 13 baris saja
sepanjang film!), Lang berhasil menunjukkan kebengisan lewat ekspresi wajah,
perilaku membabi buta dan brutal. Dengan bantuan contact lens yang mengaburkan
penglihatannya bak tuna netra sungguhan, semakin memaksimalkan dan meyakinkan
sebagai sosok tuna netra yang brutal. Jane Levy yang pernah kita lihat sebagai
Mia di remake ED, sebagai Rocky, karakter cewek tough yang harus punya
keseimbangan antara pribadi yang rapuh, punya ketakutan yang cukup besar, namun
juga strong, brave, yet smart survivor. Jane Levy cukup berhasil melakoninya
hingga penonton akhirnya bisa memberikan simpati terbesar pada karakter meski
basically, morally wrong. Kemudian Dylan Minnette sebagai Alex yang diset
sebagai karakter ‘malaikat’ dengan batas-batas moral yang tegas, tapi juga bisa
luluh demi menyelamatkan orang yang disayangi, sebenarnya juga berhasil menarik
simpati penonton. Sayangnya, porsi membuat karakternya tidak mengundang simpati
sebesar kepada Rocky. Terakhir, Daniel Zovatto sebagai Money tetap saja menarik
perhatian meski porsinya tak banyak.
DB didukung oleh teknis yang luar
biasa sehingga menghasilkan eksekusi yang maksimal pula. Sinematografi Pedro
Luque menyumbangkan pergerakan kamera yang mengeksplorasi rumah sang veteran
dengan maksimal. Long shot yang efektif dengan pencahayaan yang begitu pas
seolah-olah penonton menjadi bagian dari ketiga karakter utama. Begitu pula
adegan di kegelapan basement yang sangat breath-taking. Didukung pula editing
Eric L. Beason, Louise Ford, dan Gardner Gould yang menyusun gambar-gambar
dengan presisi momen yang luar biasa pas. Menjadikan tiap detiknya berhasil
menyusun ketegangan sampai klimaks-klimaks yang mencekam. Sedikit bloopers yang
sebenarnya tak terlalu penting, tapi bisa jadi mengganggu bagi yang notice. As
for me, it won’t be a problem at all. Ketegangan yang dihadirkan membuat saya
mengabaikan bloopers detail ini.
Yang tak kalah penting adalah
sound design yang gila-gilaan kerennya. Favorit saya ketika di basement dan
adegan mesin cuci. Penggabungan sound effect yang mendukung nuansa mencekam
dengan pemanfaatan fasilitas surround yang begitu maksimal. Ketepatan durasi (serta
kejernihan suara) silent moment turut memompa adrenalin penonton, hingga suara
tembakan yang sebenarnya sudah kita ketahui kemunculannya tetap saja membuat
saya terhenyak dari bangku. Ini masih ditambah scoring Roque Baños yang
gila-gilaan ‘menyiksa’ penonton. In short, DB benar-benar berhasil memanfaatkan
semua teknisnya dalam menghadirkan experience audio-visual yang luar biasa
mencekam. Bravo!
Lewat DB, Fede Alvarez seperti
semakin membuktikan diri sebagai sutradara film horor berkelas dengan visi
dan konsep kuat serta menarik di balik serba kesederhanaan cerita. DB bisa jadi
salah satu masterpiece horror/thriller modern, tak hanya dengan formula-formula
yang tergolong baru di tengah kebanyakan film di genrenya, tapi juga craftsmanship
yang sangat mumpuni. Setelah film berakhir, saya langsung memutuskan untuk
membeli BD-nya kelak. Sungguh sebuah audio-visual experience yang ingin saya
alami lagi dan lagi.
Lihat data film ini di IMDb.