3/5
Action
Based on Book
Europe
Father-and-Daughter
Indie
Mafia
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Blood Father
Sebagai salah satu aktor kelas A
Hollywood, Mel Gibson bukannya tak pernah bermain di film indie yang bahkan
termasuk kelas B, seperti Get the Gringo
(2012). Tahun 2016 ini ia kembali bergabung dalam project indie yang ‘nyaris’
menjadi film aksi kelas B, tapi punya background yang sebenarnya menarik. Diangkat
dari novel berjudul Blood Father (BF)
rilisan 2005 karya Peter Craig (juga menulis naskah untuk film The Town, The Hunger Games : Mockingjay Part 1 & 2, serta upcoming biopic
fotografer perang garapan sutradara Steven Spielberg, It’s What I Do), digarap oleh sutradara Perancis, Jean François
Richet yang kita kenal lewat duologi biopic Mesrine:
Killer Instinct dan Mesrine: Public
Enemy #1 serta Assault on Precinct 13.
Naskahnya diadaptasi sendiri oleh Craig, dibantu Andrea Berloff (World Trade Center dan Straight Outta Compton). Meli didampingi
oleh aktris muda Erin Moriarty yang pernah kita lihat di The Watch, The Kings of
Summer, dan Captain Fantastic. Mendapatkan kehormatan diputar premiere
di Cannes Film Festival 2016, BF mendapatkan sambutan yang surprisingly, baik.
Setelah menjalani hidup yang
keras sebagai prajurit perang dan juga di balik penjara, John Link memilih untuk
hidup tenang sebagai seorang tattoo artist dan tinggal di sebuah trailer. Mulai
menata kembali hidupnya, ia dibantu oleh sponsornya dalam komunitas
rehabilitasi, Kirby. Suatu ketika, putri tunggalnya, Lydia, yang menghilang
sekian tahun tiba-tiba menghubungi untuk meminta pertolongan. Ketika menghilang, Lydia ternyata berhubungan
dengan bos mafia Meksiko, Jonah yang memanfaatkan dirinya atas nama cinta.
Sebuah kecelakaan membuat Lydia dikejar-kejar oleh anak buah Jonah. John tak
hanya berniat untuk menyelamatkan Lydia, tapi juga menghadapi langsung
mafia-mafia Meksiko kejam agar sang putri tak perlu lagi berlari.
Premise tentang seorang ayah
(seorang bad-ass old-man pula) yang beraksi demi sang anak memang sudah jadi
salah satu formula paling generik untuk genre aksi. Keluarga, khususnya putri,
menjadi motivasi yang dianggap paling kuat untuk membuat seseorang rela nekad
melakukan apa saja. Remember the phrase ‘daddy’s little girl’. Seorang putri
dianggap lebih punya kedekatan emosional dengan sang ayah ketimbang seorang ibu
yang biasanya lebih dekat dengan anak laki-laki. Film yang paling populer tentu
saja franchise Taken yang berhasil mengangkat
kembali nama Liam Neeson sebagai action hero kelas A, terlepas dari usianya
yang semakin senja. Sejak keberhasilan Taken
pula, tema bad-ass old-man menjadi trend. BF semakin menambah panjang
daftar film bertema bad-ass old-man, meski sebenarnya ini bukan pertama kali
Gibson mengisi peran serupa.
Sayangnya, sebagai sebuah
action-thriller BF terkesan terlalu santai dalam bertutur pun juga terlalu
sunyi. Jarak antara satu adegan aksi ke adegan aksi berikutnya terasa terlalu
jauh. Padahal ia punya konsep ‘ancaman musuh bisa datang kapan saja’ dan image
mafia Meksiko yang terkenal kejam, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk mencekam penonton. Ada sedikit atmosfer itu, terutama di
momen-momen klimaksnya, tetapi secara keseluruhan menjadi terkesan tenggelam
oleh elemen dad-and-daughter relationship yang justru lebih menonjol. Malah
menurut saya relationship dad-and-daughter yang dimasukkan di sini justru
menjadi daya tarik utama sepanjang film, terutama lewat dialog-dialog yang
menunjukkan kelebihan dan kelemahan masing-masing hingga akhirnya saling
memahami. Tak sampai benar-benar bold, tapi cukup membuat film menarik untuk
terus disimak.
Tak perlu meragukan kharisma Mel
Gibson sebagi lead action hero. Seperti biasa, ia memberikan performa yang
garang sekaligus sosok ayah yang loveable di tengah-tengah pergulatannya untuk
menghindari kriminalitas. Tampil dengan full-bearded maupun clean-shaved,
Gibson tetap terkesan bad-ass, tak kalah dengan Sylvester Stallone, misalnya.
Sebagai Lydia, Erin Moriarty berhasil menarik perhatian saya lewat pesona fisik
dan screen-charm yang semakin terlihat menjanjikan. Chemistry yang ia bangun
bersama Gibson pun cukup berhasil mencuri hati saya. Di lini pendukung lainnya,
William H. Macy sebagai Kirby mungkin tak punya banyak kesempatan untuk
memenangkan simpati penonton, tapi ekspresi wajah ketulusan terlihat jelas pada
karakternya. Diego Luna sebagai Jonah, sang musuh utama, juga tak punya banyak
porsi untuk benar-benar mengancam para protagonis. Terakhir, penampilan singkat
Michael Parks sebagai Preacher dan Raoul Max Trujillo sebagai The Cleaner ternyata
bisa memberikan sedikit ‘warna’ tersendiri ke dalam film.
Tidak ada yang benar-benar
istimewa di teknis, selain sekedar cukup. Misalnya sinematografi Robert Gantz
yang serba standard, baik untuk adegan-adegan aksi maupun dalam memperlihatkan
chemistry antara John dan Lydia. Begitu pula editing Steven Rosenblum yang
meski tak sampai membuat film menjadi terkesan sangat dragging, tapi tak pula
memberikan ‘energi’ apa-apa ke dalam BF, apalagi sebagai film action thriller.
Musik dari Sven Faulconer pun tak memberikan nilai lebih apa-apa, justru
membuat kesan ‘sepi’.
Tanpa craftsmanship aksi dari
Richet yang tergolong layak dan juga naskah dad-daughter yang menarik, BF bisa
saja dengan mudah tergelincir menjadi just-another-B-class-action-movie. Ditambah
performance kharismatik dari Gibson dan pesona Erin Moriarty, BF setidaknya
masih layak, bahkan punya elemen-elemen cerita yang menarik untuk diikuti.
Andai saja punya keseimbangan action-thriller yang lebih baik dan konsisten
sepanjang film, mungkin BF bisa menjadi salah satu suguhan dad-daughter/bad-ass
old-man yang patut diperhitungkan. As it was now, boleh lah menjadikan BF
pilihan tontonan jika tak ada film lain yang lebih menarik perhatian Anda.
Lihat data film ini di IMDb.