4/5
Drama
History
Indonesia
mature relationship
Musical
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Surat dari Praha
Nama Angga Dwimas Sasongko
sebagai sineas Indonesia semakin berkibar seiring karya-karya yang terus
mendapatkan perhatian berbagai penghargaan film. Musisi sekelas Glenn Fredly
pun tak berhenti mendukung visi Angga sejak Cahaya
dari Timur: Beta Maluku, Filosofi
Kopi, dan kini di karya terbarunya, Surat
dari Praha (SdP). Diinspirasi dari cerita para eksil mahasiswa Indonesia
yang menetap di Praha setelah tidak bisa pulang ke negaranya karena di-ban
pemerintahan Orde Baru, serta
lagu-lagu ballad cantik dari Glenn sendiri, SdP mencoba menawarkan warna baru untuk sinema Indonesia.
Larasati yang sedang menggugat
cerai suaminya berusaha membujuk sang ibu, Sulastri agar meminjamkan sertifikat
rumah sebagai jaminan gadai pengurusan sidang perceraian. Sampai akhir hayat
sang ibu, Larasati belum berhasil mendapatkannya. Surat wasiat Sulastri justru
memberikan hak kepemilikan rumah itu dengan syarat Larasati mau menyampaikan
langsung sebuah kotak terkunci ke sebuah alamat di Praha. Tanpa rasa ingin
tahu, Larasati melakoninya. Kotak pun diantarnya langsung ke seorang pria
seusia ibunya, Jaya. Sialnya, Jaya menolak mentah-mentah kotak dan
kehadirannya. Meski awalnya bersikap keras, perlahan Jaya melunak karena belas
kasihan terhadap Larasati yang berada di negara asing sendirian. Perlahan pula
Larasati mengetahui siapa Jaya sebenarnya dan pengaruhnya terhadap Sulastri dan
dirinya. Kesemuanya mengarah ke sebuah sejarah kelam Indonesia terhadap para
mahasiswanya yang tak bisa pulang saat Orde Baru karena dituduh PKI.
Selama ini sinema Indonesia lebih
sering mengangkat tema sejarah lewat sebuah biopic linear yang sayangnya,
jarang punya fokus poin yang jelas. SdP menawarkan fakta sejarah dengan sudut
pandang penceritaan dan formula yang sedikit berbeda. Karakter Larasati dipilih
sebagai lead yang berkembang untuk menemukan ‘kedamaian’ dengan dirinya sendiri
dan sang ibu lewat pertemuannya dengan Jaya. Sejarah kelam yang pernah mewarna
negeri ini pun menjadi latar yang tak sekedar latar, tapi punya emotional
impact yang sangat besar dan kuat terhadap fokus cerita. Di atas kertas,
mungkin plot SdP berjalan dengan begitu sederhana, tapi sebenarnya sudah sangat
padat memuat semua yang penting untuk disampaikan penonton agar merasakan
setiap emosi yang terjadi di layar, baik dari sudut pandang Larasati maupun
Jaya.
Namun kekuatan paling besar dari
SdP adalah bagaimana treatment Angga membawa sekaligus menggerakkan keseluruhan
mood film menjadi begitu pas dengan naskah M. Irfan Ramli (Cahaya dari Timur: Beta Maluku). SdP bak sebuah harmonisasi melodius, baik secara musikal,
visual, maupun emosi. Saya yang kebetulan menontonnya sendirian seolah seperti
sedang melakukan solo traveling di kota Praha sambil mendengarkan alunan melodi
lagu yang sangat mendukung saya mengamati tiap sudut kota dan berkontemplasi
melalui karakter-karakter yang saya lihat di layar. Cita rasa yang diracik
dengan begitu indah menghantarkan cerita SdP yang sederhana menjadi sebuah
pengalaman personal yang begitu kuat terasa secara emosional.
Kekuatan racikan Angga didukung
pula oleh performance sekaligus chemistry yang luar biasa kuat dari dua
lead-nya, Julie Estelle dan Tio Pakusadewo. Perkembangan karakter Larasati di
awal memang tak terlalu banyak, tapi dibuat mengalir hingga akhir film. Luapan
emosi Julie yang meledak-ledak mungkin tak terlalu istimewa, tapi proses
perubahan menjadi lebih melunak dan berhasil berdamai dengan diri sendiri,
mampu ditampilkan dengan sangat convincing dan logis. Begitu juga proses
perubahan karakter Jaya yang mulus dibawakan oleh Tio. Ketika keduanya berhasil
sama-sama meredakan emosi, keduanya menjadi paduan yang manis, hangat, tanpa
tendensi hubungan yang canggung.
Widyawati yang tampil sekilas di
awal film turut memberikan semacam ‘pengantar’ cerita yang mengesankan. Rio
Dewanto yang berperan sebagai Dewa mungkin terasa tak begitu penting selain
penghantar product placement, tapi kehadirannya cukup berkesan. Setidaknya,
star-factor-nya cukup berperan untuk menghiasi nuansa keseluruhan film.
Terakhir, kehadiran Jajang C. Noer, Chicco Jerikho (yang juga duduk sebagai
salah satu produser), Shafira Umm, dan ibunda mendiang Ryan Hidayat, Eva
Jaryfova, sebagai Loretta, menjadi cameo yang cukup menarik perhatian.
Visi Angga menjadi makin sempurna
berkat dukungan teknis. Mulai sinematografi Ivan Anwal Pane yang tak hanya
mampu merekam keindahan kota Praha secara panoramik, namun juga berhasil
menggerakkan emosi cerita lewat pergerakan kamera. Latar kota Praha pun menyatu
dengan sangat baik dengan cerita. Tata suara Satrio Budiono menghasilkan
keseimbangan yang sangat pas untuk dialog, musik, dan sound effect. SdP menjadi
sajian yang mengalir tenang, namun berjalan mantap dan yang paling penting, tak
membosankan. Tentu ini berkat editing Ahsan Andrian yang punya timing serba pas
sehingga menghasilkan emosi maksimal tanpa terkesan berlebihan. Terakhir
lagu-lagu yang dihadirkan, termasuk yang dibawakan oleh Julie dan Tio sendiri, Nyali Terakhir dan Sabda Rindu, berhasil menjadi lagu-lagu yang melekat kuat dalam
benak penonton, jauh setelah film selesai. Ini berkat tema serta melodi yang
diletakkan pas untuk mengiringi visualnya.
Terakhir, SdP yang sempat
diwarnai kontroversi karena tudingan plagiarism dari cerpen berjudul sama karya
dosen salah satu perguruan tinggi di Malang, membuktikan bahwa rasa dan emosi
yang berhasil dihadirkan lewat film jauh lebih penting ketimbang storyline
linear yang itu-itu saja untuk genre sejarah. Ada aspek-aspek lain yang bisa
dieksplor, bahkan mungkin lebih menarik dari sejarah itu sendiri. Toh sudut
pandang ‘dampak’ dari sejarah punya relevansi yang lebih penting untuk
masyarakat saat ini. Tudingan plagiarism juga terkesan dibuat-buat karena latar
belakang eksil mahasiswa Indonesia yang harus berdiam di Praha adalah fakta
sejarah yang bebas diceritakan ulang lewat berbagai sudut pandang di berbagai
media. Sama seperti kamp Auschwitz saat jaman Nazi yang sudah berkali-kali
diangkat. Selama digarap dengan kedalaman cerita yang cukup, terfokus, disertai
fakta, serta digarap menjadi sebuah sajian yang sangat baik, why not?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.