3.5/5
Adventure
Asia
Based on a True Event
Biography
Drama
Friendship
Humanity
mountain
Socio-cultural
South Korea
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Himalayas [히말라야]
Baru bulan September lalu kita
‘diajak’ mendaki Everest, kali ini Korea Selatan tak mau kalah mengundang dunia
mengenal salah satu tokoh mountaineer populer mereka, Um Hong-Gil, yang sudah
sukses menjalankan misi mendaki 16 puncak tertinggi di dunia dalam jangka waktu
12 tahun. Beliau adalah orang Korea Selatan pertama dan ke-11 di dunia yang
menerima penghargaan Himalayan Crown. Sampai sekarang, total ia sudah berhasil
mencapai puncak Everest sebanyak tiga kali, termasuk sisi Utara dan Selatan
Everest. Film biopic yang bertajuk The
Himalayas ini konon sukses mengalahkan pendapatan Star Wars: The Force Awakens di negara asalnya. Terkesan ‘hanya’
jago kandang, tapi mengalahkan franchise sebesar Star Wars tentu sebuah prestasi yang tidak main-main.
Kapten tim pendakian
berpengalaman, Um Hong-gil, pertama kali bertemu Park Moo-taek ketika ia
menyelamatkan Moo-taek dan temannya, Park Jung-bok. Hong-gil memperingatkan
keduanya untuk tidak pernah mendaki gunung lagi karena menganggap mereka
terlalu ignorant terhadap aturan-aturan keselamatan yang harus dipatuhi para
pendaki. Bertahun-tahun kemudian keduanya muncul sebagai calon junior tim
pendaki yang diajukan untuk tim Hong-gil. Setelah perjuangan meyakinkan yang
tak mudah, Hong-gil setuju keduanya dilatih dan menjadi anggota tim pendakinya.
Sebuah misi menuju puncak Kangchenjunga, puncak tertinggi ketiga di dunia,
membuat keduanya menjalin persahabatan yang lebih erat.
Seiring dengan waktu, faktor
kesehatan dan keluarga membuat Hong-gil memutuskan untuk pensiun dari
mountaineering. Padahal ia pernah berikrar akan menaklukkan 16 puncak dunia
bersama Moo-taek. Ikrar itu menjadi mustahil ketika Moo-taek diberitakan
meninggal dunia dalam perjalanan mendaki puncak Utara Everest bersama 2 orang
lainnya, Jang Min dan Baek Jun-ho. Setahun kemudian, Hong-gil memutuskan untuk
mengumpulkan timnya kembali ke Everest dan membawa pulang jenazah Moo-taek,
Jang Min, dan Baek Jun-ho.
Berbeda dengan beberapa film
bertemakan mountaineering, The Himalayas
tak berfokus pada sebuah misi penjelajahan mendaki puncak Everest semata. Ia
justru mengambil kisah persahabatan antara Hong-gil dan Moo-taek untuk dibangun
dan menjadi potret kemanusiaan (serta persahabatan) di circle mountaineering
dengan latar Everest. Ini yang membuat kisah The Himalayas menjadi menarik. Penonton diajak untuk mengenal dan
dekat dengan mereka, sehingga pada titik-titik tertentu bisa dimanfaatkan untuk
memancing emosi penonton. Harus diakui, dalam film bertemakan seperti ini, mau
apapun fokusnya, tetap saja daya tarik utamanya adalah elemen emosi yang
dialami penonton. Baik itu sisi kemanusiaan yang menyentuh atau petualangan
yang menegangkan. And you know them Korean, they’re really good at exploiting
emotional side. So yes, The Himalayasi
sangat berhasil membuat penonton merasakan kehilangan, kehangatan bersahabatan,
kenikmatan sebuah pencapaian, sampai teror di tengah misi pendakian. Way way
much more than Everest did.
Ada beberapa aspek menarik pula
yang diangkat oleh The Himalayas,
yang membuat penonton semakin memahami pola pikir para mountaineering. Seperti
misalnya tentang apa yang dicari dan dirasakan ketika sudah sampai puncak,
kenapa harus turun setelah bersusah-susah naik, prinsip ‘meminta ijin gunung’ ketimbang
‘menaklukkan gunung’, hingga implementasi metafora pendakian di kehidupan
sehari-hari. Pandangan budaya Korea Selatan terhadap kematian juga bisa
terlihat dengan jelas ketika tim Hong-gil mau bersusah payah membawa pulang
jenazah Moo-taek. Misi yang sangat langka dalam sejarah pendakian Everest. Aspek-aspek
inilah yang menjadi poin lebih yang memperkaya cerita The Himalayas selain sekedar cerita petualangan pendakian (baca:
menaklukkan) puncak Everest semata.
Hwang Jeong-min yang pernah
mencapai sukses di Ode to My Father
dan Veteran sekali membuktikan bahwa
usia yang sudah tidak muda bukan menjadi halangan kesuksesan di film. Jeong-min
berhasil memerankan karakter utama, Um Hong-gil, dengan kharisma penuh. Tak
terlalu butuh detail karakter tertentu yang istimewa, tapi Jeong-min sangat
berhasil memainkan emosi dan menarik simpati penonton. Chemistry persahabatan
yang dijalin bersama Jung Woo (Moo-taek) terasa convincing dan natural meski
digambarkan mengalami naik-turun yang cukup dramatis. Selain dari mereka
berdua, hampir ke semua cast, terutama pemeran anggota tim pendakian Hong-gil,
tampil pas sesuai porsi masing-masing. Tetap jadi perhatian penonton tapi tak
sampai mengusik fokus utama, Hong-gil dan Moo-taek.
Cerita yang terjalin apik
didukung pula oleh sinematografi Kim Tae-sung yang berhasil merekam petualangan
pendakian pada momen-momen terpentingnya, emosi-emosi terdalam, serta yang
terpenting, merekam keindahan panorama Everest secara maksimal. Ketajaman
gambar cukup konsisten terjaga, di layar sebesar Sphere X sekalipun. Ada
beberapa adegan long shot dan panoramic yang terlihat sedikit di bawah
ketajaman gambar-gambar utama yang mungkin direkam dengan action camera, tapi
tidak sampai merusak cinematic experience secara keseluruhan. Tata suara juga
patut mendapat kredit lebih, terutama karena detail sound effect dan pembagian
kanal surround yang luar biasa, sehingga menambah kesan realistis
experience-nya. Favorit saya, suara gesekan ascender equipment dan tentu saja
badai salju.
So yes, The Himalayas mungkin bukan film tentang penjelajahan Puncak
Everest yang paling berkesan ataupun ultimate. Tapi cerita kemanusiaan yang
ditampilkan dengan apik dan berhasil mengundang emosi penonton secara maksima,
serta aspek-aspek filosofis pendakian yang disertakan, bagi saya The Himalayas memperkaya wawasan tentang
mountaineering. Cinema experience lebih maksimal jika Anda menyaksikannya di
layar sebesar Sphere X dengan tata suara mumpuni pula.
Lihat data film ini di KMDb.