2.5/5
Hollywood
Horror
Japan
Mythology
Pop-Corn Movie
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Forest
Kultur Jepang begitu dekat dengan
horor hingga melambungkan image J-horror di peta perfilman dunia. Tak
terkecuali Hollywood yang sudah me-remake lusinan horor sukses Jepang. Ini tak
lepas dari fakta bahwa Jepang punya cukup banyak mitologi horor yang menarik
untuk diangkat ke medium film. Belum lagi fenomena bunuh diri yang selalu lekat
dengan kondisi sosial masyarakat Jepang sampai saat ini. Ternyata ada hutan di
Jepang yang dikenal angker dan sering dijadikan lokasi bunuh diri. Hutan
bernama Aokigahara ini terletak di kaki Gunung Fuji yang otomatis dilewati oleh
para wisatawan. ‘Pesona’ Hutan Aokigahara sempat menggerakkan sutradara Gus Van
Sant untuk mengangkatnya ke medium film berjudul The Sea of Trees tahun 2015 lalu. Meski cukup bertabur bintang Hollywood
kelas A macam Matthew McConaughey, Naomi Watts, dan Ken Watanabe, film yang
diputar di Cannes Film Festival ini mendapatkan kritik negatif di mana-mana,
bahkan kebanjiran boo dari penonton. Tak mau kalah, PH indie AI Film dan Lava
Bear Films mencoba sekali lagi mengangkat fenomena Hutan Aokigahara dengan
kemasan yang lebih komersial. Tak ada nama populer di bangku sutradara dan
penulis naskah. Bahkan The Forest ini
menjadi debut layar lebar buat sutradara Jason Zada. Selain premise, daya
tariknya hanyalah Natalie Dormer yang kita kenal lewat serial Game of Thrones.
Sara Price nekad terbang ke
Jepang demi mencari saudari kembarnya, Jess, yang bekerja sebagai guru Bahasa
Inggris di Jepang. Jess dikabarkan hilang ketika perjalanan karya wisata di
Gunung Fuji. Murid-muridnya menduga Jess masuk ke dalam Hutan Aokigahara.
Konon, hutan ini punya kekuatan magis untuk membuat siapapun yang masuk ke
dalamnya merasa sedih, depresi, dan ujung-ujungnya ingin mengakhiri hidup.
Hutan ini juga dikenal menjadi lokasi favorit orang-orang yang ingin bunuh
diri. Merasa punya insting yang kuat bahwa Jess masih hidup, Sara bertekad
masuk ke hutan itu meski semua orang menghalang-halanginya. Untung ada Aiden,
penulis artikel wisata untuk majalah Australia, yang bersedia menemani Sara,
tentu saja dengan imbalan cerita menarik untuk diangkat di majalahnya. Turut
memandu mereka, Michi, seorang volunteer yang tugasnya berpatroli di hutan
untuk mencegah orang-orang yang ingin bunuh diri sekaligus mengevakuasi jenazah
korban-korban Hutan Aokigahara. Tak hanya depresif, hutan ini ternyata juga
suka menipu daya korban-korbannya dengan halusinasi. Jelas Sara jadi ‘korban
yang sempurna’ bagi Hutan Aokigahara.
Formulaic, tapi sebenarnya saya
menyukai premise The Forest. Begitu
juga bagaimana ia menggerakkan cerita, menampilkan tipu daya halusinasi yang
membuat penonton menerka-nerka antara nyata atau tidak, bahkan twist yang
meski, lagi-lagi formulaic, menarik. Bahkan sejak awal saya terus penasaran
seperti apa pengalaman di dalam hutan, pun juga penasaran dengan nasib Sara
maupun Jess. Sayangnya, ketika divisualisasikan dalam medium film di layar, The Forest terasa begitu hambar sebagai
sebuah sajian horor. Nuansa J-horror-nya sebenarnya cukup mendukung, terutama
dalam menghadirkan mood misterius. Namun tidak bisa dipungkiri, Jason Zada
belum punya sense scary telling yang cukup kuat dan scary timing yang pas untuk
sekedar menghadirkan pop-corn horror yang berhasil menakuti (atau mengageti)
penonton lewat jumpscare sekalipun. Kesemuanya gagal mengikat emosi penonton,
malah mungkin banyak yang merasa kelelahan mengikuti adegan-adegan The Forest yang sebenarnya dimaksudkan
untuk membangun suasana tegang.
Blend antara plot utama dengan
masa lalu Sara-Jess pun terkesan kurang bisa menyatu dengan baik. Di saat
penonton dibuat penasaran karena porsinya yang cukup sering dibahas dan
sebenarnya menarik untuk diikuti, ternyata hanya ditampilkan begitu saja, tanpa
perkembangan lebih lanjut, terutama mengenai kaitannya dengan plot utama.
Natalie Dormer jelas menjadi
satu-satunya tombak utama untuk menarik perhatian penonton. Selain reputasinya
yang paling dikenal, karakter yang ia mainkan pun dibuat begitu mendominasi.
Untungnya, Natalie juga memberikan performa yang cukup kuat sebagai Sara,
sekaligus juga sebagai Jess di penghujung film. Sekuat performance Naomi Watts
di US-remake The Ring. Taylor Kinney
pun mampu menyeimbangkan dominasi Natalie lewat karakternya, Aiden. Pesonanya
mungkin tak sekuat ketika ia bermain di The
Other Woman, tapi sebagai pendamping lead utama, he’s doing pretty good.
Notable performance lainnya adalah debut Yukiyoshi Ozawa di film Hollywood,
setelah selama ini kita kenal sebagai Ito Hirobumi di versi live action Rurouni
Kenshin.
Sinematografi Mattias Troelstrup
cukup berhasil mengeksplor Hutan Aokigahara dalam menghadirkan
kengerian-kengeriannya, termasuk lewat shot-shot panoramic dan macro yang
menghadirkan keindahan tersendiri. Tata suara juga mampu mendukung dan
membangun suasana magis hutan dengan cukup detail dan memanfaatkan fasilitas
surround dengan maksimal. Score Bear McCreary masih tergolong generik di
genrenya, namun menyumbangkan satu score unik di credit. Penggabungan chant
Jepang tradisional dengan loop techno dan rock, menghasilkan musik yang unik
sekaligus cukup mengerikan.
Melihat kru utama di belakangnya, hasil
akhir The Forest sebenarnya masih
bisa dipahami. Punya potensi cerita yang sangat menarik dan dikembangkan dengan
baik pula. Sayang eksekusinya masih jauh dari kesan menarik sebagai sajian
horor ringan sekalipun. Lebih banyak pengalaman mungkin bisa semakin mengasah
sense horor dari sutradara Jason Zada.
Lihat data film ini di IMDb.