4.5/5
Action
Awards winner
black comedy
Crime
Dialog-driven
Drama
Gore
Hollywood
Investigation
Oscar 2016
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
Twisted History
Western
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Hateful Eight
Bagi penggemar setianya, tiap
perilisan film terbaru Quentin Tarantino alias QT adalah hukum wajib untuk
ditonton di layar lebar dengan spesifikasi terbaik. Di film kedelapannya ini, Hateful Eight (H8), QT menambahkan lagi
alasan dari hukum wajib itu: film ini di-shot dengan Ultra Panavision 70 yang
sampai sekarang tergolong jarang digunakan karena alasan biaya. Terhitung H8
baru film ke-11 yang menggunakan proses ini setelah di antaranya, Ben-Hur (1959), Mutiny on the Bounty (1962), The
Greatest Story Ever Told (1965), dan yang terakhir Khartoum (1966). Tak hanya proses pembuatannya, penayangan spesial
sesuai dengan yang diinginkan QT menjadi terbatas karena hampir semua bioskop
di seluruh dunia sudah beralih ke proyektor digital. Maka ada dua versi H8: versi
asli dengan seluloid 70mm berdurasi 187 menit (termasuk 12 menit overture dan 6
menit adegan yang memang didesain khusus untuk proyektor 70mm) yang pada
akhirnya ditayangkan secara roadshow karena berbagai keterbatasan, dan versi
wide-release dengan format digital berdurasi 167 menit. Kompensasi lainnya yang
harus ‘diterima’ penonton versi digital dengan lapang dada adalah black bar di
atas-bawah gambar karena faktor aspect ratio 2.76:1 yang tergolong sangat tidak
lazim. Tapi tentu saja ini semua tidak menyurutkan antusiasme fansnya untuk
‘berziarah’, meski ditambah ‘drama’ di balik pembuatannya yang disebabkan
kebocoran naskah dan menyebabkan QT sempat ngambek tidak ingin melanjutkan
produksi. Akhir 2015, H8 siap dinikmati dan tentu saja membuat para juri
berbagai festival di awal 2016 melirik karya terbarunya ini.
Awalnya diset sebagai sekuel Django Unchained (DU), namun akhirnya
dijadikan cerita berdiri sendiri karena QT ingin membuat penonton
‘bersenang-senang’ dengan karakter baru yang belum dikenal, H8 mengambil
setting pasca Perang Sipil di Amerika Serikat. Kalau mau dihitung-hitung,
setting ini masih termasuk paska DU. Penonton dipertemukan dengan penghuni
sebuah kereta kuda di tengah badai salju. Kereta itu dikendarai oleh O.B., yang
dibayar untuk mengangkut John Ruth, seorang bounty hunter yang dikenal dengan
julukan ‘the hangman’ karena selalu membawa buruannya hidup-hidup untuk dibawa
ke tiang gantungan, bersama Daisy Domergue, buronan wanita tukang jagal yang
kepalanya dihargai 10.000 dollar. Di tengah jalan, mereka mengangkut Major
Marquis Warren, bounty hunter kulit hitam legendaris yang mantan pasukan
kavalri, dan Chris Mannix yang mengaku calon sherrif baru di kota tujuan mereka
semua, Red Rock.
Pertemuan yang sempat
mengakibatkan ketegangan ini masih belum apa-apa dibandingkan ketika mereka
singgah di Minnie’s Haberdashery. Ditinggal pemiliknya yang sebenarnya sudah
kenal baik dengan Marquis dan John, kehadiran empat pria di kedai itu terasa
mencurigakan, setidaknya bagi Marquis. Ada Oswaldo yang mengaku eksekusioner
hukuman gantung di Red Rock, yang artinya John nantinya akan menyerahkan Daisy
ke dirinya ketika tiba di Red Rock, Joe Gage yang mengaku sedang perjalanan
pulang ke rumah ibunya di luar kota Red Rock untuk merayakan Natal, Bob yang
mengaku karyawan Minnie, yang diserahi kepercayaan menjalankan kedai itu selama
dirinya pergi ke Utara untuk menjenguk sang ibu, serta Jenderal Sandy Smithers
yang reputasinya tidak perlu diragukan lagi. Siapa sangka di antara orang-orang
yang terjebak di Minnie’s Haberdashery ini ternyata saling bersinggungan, one
way or another, dan memuncak menjadi peristiwa akbar. Singkatnya, wrong persons
met the wrong persons in the wrong place at the wrong time.
Penggemar setia QT pasti sudah
tahu persis bagaimana ekspektasi terhadap film-filmnya. Tak hanya look yang
sangat signatural QT bak sinema grindhouse kelas B 80’an yang selalu terlihat
dari opening title, pembagian chapter, dan musik pengiring yang dipotong
sewaktu-waktu, tapi juga style penceritaannya yang suka memasukkan dialog
basa-basi yang sekilas terkesan nggak nyambung tapi selalu berhasil membangun
tensi tersendiri, karakter-karakter eksentrik, klimaks tak terduga, serta tentu
saja bumbu gore yang tak kalah gilanya. Tentu saja H8 punya semua itu. Bahkan
ia butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk memperkenalkan karakter-karakter
pentingnya beserta latar belakang masing-masing yang nantinya menjadi penyulut
klimaksnya, melalui dialog-dialog serta monolog. Referensi Perang Sipil
dimasukkan ke dalam latar belakang para karakter, tak hanya sekedar latar
belakang, tapi punya impact yang cukup besar terhadap kecenderungan tiap
karakter, terutama isu rasialis yang diwakili oleh Marquis. Tiap dialog terasa
tak sembarangan dipasang, karena tiap detail katanya punya pengaruh dan hint
terhadap karakter serta ‘bekal’ yang penting bagi penonton untuk menganalisis
kejadian-kejadian berikutnya. Dialog dan monolog yang cukup panjang ini
mengingatkan saya gaya penceritaan salah satu masterpiece QT, Reservoir Dogs. Latar yang sebagian
besar di dalam interior Minnie’s Haberdashery dan sedikit outdoor bersalju,
menjadikan H8 terasa seperti sebuah panggung opera dengan plot yang runtut,
rapi, kuat, dan tentu saja membuat karakter-karakter eksentriknya tampak lebih
menarik.
Namun keseruan utama mengikuti
plot H8 meski berdurasi cukup panjang adalah bagaimana QT mengajak penonton
menebak-nebak apakah tiap karakter menyampaikan fakta atau kebohongan, lengkap
dengan analisis-analisis tajam ala karakter Marquis. Sampai film berakhir pun
ada cukup banyak hal yang dilontarkan para karakternya yang meninggalkan
misteri, apakah kenyataan atau bualan semata. In this case, seperti biasa QT
membiarkan penonton menganalisa sendiri dan punya ‘keyakinan’ sendiri-sendiri.
Tak hanya itu, penonton diajak pula untuk menganalisa untung-rugi, klausa
sebab-akibat, serta what’s the worst that could happened dari tiap keputusan
yang ditawarkan. Tentu saja tak semua penonton bisa menikmati ‘permainan’ yang
ditawarkan QT ini, but if you’re interested enough, you’ll love it til the end.
Samuel L. Jackson yang selama ini
jadi langganan QT tapi untuk supporting role, akhirnya kali ini didapuk menjadi
lead. Tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Samuel memberikan performa terbaiknya,
sesuai dengan kharisma-nya yang memang sudah kuat. Karakter Marquis yang
eksentrik, manipulatif, namun juga cerdas dalam mengalisis, berhasil dihidupkan
dengan sangat meyakinkan oleh Samuel.
Kesemua karakter yang ditulis
dengan porsi sama-sama kuat dan saling mendukung secara seimbang di sini
sebenarnya diperankan dengan sangat baik oleh para aktor sesuai kebutuhan
masing-masing karakter. Lihat saja karakter John Ruth yang diperankan Kurt
Russell dengan kharisma yang cukup kuat dalam mengundang simpati penonton,
Demian Bichir sebagai Bob dengan aksen Meksikonya, Tim Roth sebagai Oswaldo
Mobray yang mengingatkan saya akan karakter-karakter yang diperankan Christoph
Waltz di film-film QT, Michael Madsen sebagai Joe Gage, Bruce Dern sebagai
General Sandy Smithers, bahkan James Parks (aktor langganan QT juga) sebagai
O.B. Namun yang paling menonjol adalah penampilan Jennifer Jason Leigh sebagai
Daisy Domergue. Jennifer berhasil bertransformasi jadi karakter ‘sakit jiwa
maksimal’ yang luar biasa kasar, bengis, sekaligus mampu memainkan emosi
penonton. Tak heran jika The Academy mengganjarnya nominasi Best Actress in a
Supporting Role untuk perannya di sini. Daya tarik yang tak kalah kuatnya
adalah Walton Goggins sebagai Chris Mannix yang memorable berkat gesture, cara
berbicara, dan beberapa line yang terlontar dari mulutnya. Sebagai bonus,
Goggins juga berfungsi menjadi the joker yang cukup berhasil memancing tawa
penonton.
Kehadiran cameo lain seperti Zoë
Bell dan Dana Gourrier (aktris langganan QT) menambah semarak suasana. Tak
ketinggalan, Channing Tatum yang harus saya akui, penampilan singkatnya begitu
berkesan, malah mungkin jadi salah satu peran terbaik yang pernah ia mainkan.
Tak perlu meragukan hasil dari
penggunaan proses Ultra Panavision 70. Setiap frame H8 bak panggung opera megah
yang kaya akan detail dan warna. Aspect ratio yang lebih lebar dibandingkan
umumnya film layar lebar (2.35:1 atau 1.85:1) semkin menambah kemegahan visualnya
yang memanjakan mata. Robert Richardson tau betul bagaimana memaksimalkan
format ini lewat framing dan pergerakan kamera yang tak hanya efektif menangkap
detail adegan, tapi juga menghasilkan frame-frame berkomposisi sempurna. Ia
tahu betul bagaimana style QT dalam bercerita. Begitu juga dengan editor Fred
Raskin yang sudah bekerja sama dengan QT sejak Kill Bill. Berhasil menggantikan peran editor langganan QT, Sally
Menke, Raskin pun paham pace dan energi bercerita QT dengan serba pas.
Komposer Ennio Morricone yang
akhirnya setuju mengaransemen original score untuk film QT, semakin menambah
kemegahan pengalaman sinematiknya, tak terkecuali score dari The Thing yang diakui QT punya pengaruh
cukup banyak terhadap H8, dan score The
Exorcist yang mengiringi adegan-adegannya menjadi terasa semakin magis.
Tata suara memaksimalkan fasilitas 5.1. surround dengan detail yang luar biasa
serta keseimbangan antara dialog, sound effect, suara latar (terutama suara
badai), dan score.
In the end, H8 memang ‘sangat
QT’. Ia masih menggunakan formula biasanya dalam membangun plot. Namun H8
membuat saya semakin kagum dengan kecermatan dan kecerdasannya dalam menyusun
naskah. Tak hanya berhasil menciptakan karakter-karakter yang serba kuat dengan
latar belakang masing-masing, namun dalam menciptakan kejadian demi kejadian
yang punya impact terhadap kejadian berikutnya. Alhasil, H8 menjadi tontonan
opera yang asyik diikuti karena permainan analisis true-or-lie dan untung-rugi.
Kegilaan QT juga sekali lagi membuat H8 seringkali tak terduga, namun punya
konklusi yang sangat memuaskan. Mungkin efeknya belum bisa membuat saya
mengalami katarsis sebesar Inglourious
Basterds atau Pulp Fiction, tapi
jelas jauh lebih mengalir, rapi, dan mengasyikkan ketimbang Django Unchained. Apalagi dengan tawaran
pengalaman sinematik yang luar biasa, baik dari segi audio maupun visual, H8
wajib ditonton oleh penggemar QT di bioskop dengan layar sebesar mungkin dan
audio equipment sedahsyat mungkin, setidaknya sekali dalam seumur hidup.
Lihat data film ini di IMDb.
88th Academy Awards nominee for:
- Best Performance by an Actress in a Supporting Role - Jennifer Jason Leigh
- Best Achievement in Cinematography - Robert Richardson
- Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score - Ennio Morricone