3.5/5
Based on Book
Box Office
Comedy
Drama
Family
Indonesia
mature relationship
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Young Adult
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ngenest
Trend komika masih terus
mendominasi di dunia hiburan Indonesia. Tak hanya Raditya Dika yang terkesan
paling pioner merambah berbagai bidang selain sebagai stand-up comedy di
panggung. Terbukti ensemble komika juga berhasil menjadi daya tarik besar lewat
Comic 8 dan sekuelnya, Comic 8: Casino Kings Part I. Sebenarnya
komika tak akan terlalu sulit merambah dunia film, karena basic struktur komedi
stand up yang tak jauh berbeda dengan struktur penyusunan cerita. Beda yang
paling kentara mungkin faktor penyusun tiap strukturnya, durasi, dan
aspek-aspek lain yang lebih detail lagi, seperti karakter, plot, dan lain
sebagainya. Namun yang tak kalah pentingnya adalah bakat dan kharisma sehingga
seorang komika bisa cukup kuat untuk menjadi lead character. Ada cukup banyak
komika setelah Dika yang mencoba, tapi tak semuanya berhasil. Ada pula yang
hanya berhasil jika menjadi supporting cast, cameo, atau tampil dalam ensemble.
Keunikan karakter menjadi salah satu syarat seorang komika bisa jadi lead dalam
sebuah film tentang dirinya. Dika berhasil dengan kekhasan materi tentang being
a single. Kini giliran Ernest Prakasa yang dikenal dengan materi khas tentang
ke-Cina-annya, mencoba memanfaatkannya sebagai debut layar lebar. Tak hanya
sebagai lead, tapi juga sutradara dan penulis naskah. Beruntung StarVision yang
dikenal suka mencoba berbagai genre dan style memberi kesempatan tersebut
kepada Ernest lewat film adaptasi novel trilogy-nya, Ngenest: Ketawain Hidup a la Ernest. Tentu saja keputusan StarVision ini juga tak lepas dari fakta bahwa Ernest sudah punya fanbase yang cukup besar, kuat, dan berasal dari range yang cukup luas.
Ngenest tentu memfokuskan ceritanya pada karakter Ernest yang sejak
kecil jadi bahan ejekan karena ke-Cina-annya. Sedikit demi sedikit Ernest
menemukan cara supaya teman-teman, seperti geng preman sekolah, mau menerima
dia sebagai teman dan berhenti mem-bully-nya. Sayangnya semua berakhir
kekonyolan. Hanya sehabatnya, Patrick, yang selalu jadi tempat pelarian Ernest.
Berbeda dengan Ernest, Patrick cenderung cuek dengan ke-Cina-annya. Sejak itu
Ernest pun berniat untuk menikahi gadis pribumi, sekedar supaya anaknya tidak
sipit dan mengalami hal yang sama dengan dirinya. Niatan itu teramini ketika ia
berkuliah di Bandung dan berkenalan dengan Meira. Seagama pula. Setelah
mendapatkan restu orang tua kedua belah pihak yang harus melalui proses tak
mudah, pernikahan Ernest dan Meira terjadi. Namun ketakutan dan kekhawatiran
Ernest tak sampai di situ, karena kemungkinan anaknya sipit seperti dia tetap
ada.
Polemik diskriminasi etnis Cina
memang sudah punya riwayat yang cukup panjang di Indonesia, dan masih terus
memanas sampai sekarang, meski di banyak wilayah sebenarnya sudah cukup
terakulturasi dengan baik. Bahkan mantan presiden SBY pernah mengeluarkan
aturan untuk tidak menggunakan istilah ‘Cina’, diganti dengan ‘Tiongkok’ untuk
nama negara, dan ‘Tionghoa’ untuk etnis. Keputusan yang menggelikan, menurut saya,
karena di seluruh penjuru dunia tidak pernah ada yang mempermasalahkan istilah
Cina. Toh menurut saya yang kebetulan juga keturunan Cina, kesalahan juga
terletak pada etnis Cina di Indonesia yang sejak lama terdoktrin untuk meng-eksklusif-kan diri, sehingga banyak yang enggan untuk berbaur. Doktrin ini
yang kemudian mendapatkan feedback negatif pula dari pihak sebaliknya. Pada
perkembangan selanjutnya, etnis Cina sendiri yang sering merasa insecure dan
mudah tersinggung, bahkan ketika ada lawakan yang menirukan logat orang Cina
sekalipun. Well, perasaan inferior ini sebenarnya menjangkiti sebagian besar
etnis di Indonesia yang sering menjadi bahan guyonan karena ke-khas-annya.
Padahal di era Orde Baru dulu tidak pernah jadi masalah.
Balik ke Ngenest, materi yang sebenarnya cukup sensitif untuk diangkat
bahkan untuk saat ini, memang lebih tepat jika disampaikan oleh orang yang
memang berasal dari etnis Cina sendiri (like, it was okay for black people to
call their friends nigga rather than if white people do) dan lewat medium
komedi, bukan sesuatu yang serius. Selain menjadi medium yang pas bagi
non-etnis Cina untuk lebih mengenal dan memahami etnis Cina, juga menjadi bahan
retrospeksi bagi etnis Cina sendiri untuk tidak lagi ‘minder’ dengan
ke-Cina-annya. Di proyek debutnya ini, Ernest menunjukkan keseriusan dan bakat
yang lebih dari cukup, baik sebagai penulis naskah maupun sutradara. Ia
berhasil menyusun alur cerita yang cukup rapi, setup-setup yang masuk akal,
fokus cerita yang terjaga, karakter-karakter yang kuat, baik lead maupun
supporting, dikembangkan dengan pas dan seimbang pula. Serta yang paling
penting, memasukkan guyonan-guyonan yang tepat mengena tepat pada subjeknya ke
dalam alur ceritanya dengan porsi sangat pas. Soal guyonan, let’s leave it to
each of us’ taste. Yang pasti bagi saya personally, lebih banyak yang hit
ketimbang miss. Tak hanya soal ke-Cina-an, tapi juga lewat dialog cerdas,
slapstick, reference humor, yang mengandalkan ekspresi para aktornya, sampai
humor seks yang sometimes nyerempet terlalu jauh. Khusus untuk tipe humor yang
terakhir, harus diakui saya memang agak merasa risih karena beberapa kali agak
kelewatan dan kurang relevan dengan adegan. Tapi untungnya tak sampai
menciderai paket keseluruhan.
Cerita gado-gado yang menandai
tiap fase kehidupan Ernest: kecil, remaja, kisah romance bersama Meira dengan
tantangan dari pihak keluarga, sampai kekhawatiran Ernest untuk punya anak,
memang terdengar terlalu banyak serta muncul kekhawatiran menjadi kehilangan
keseimbangan dan fokus. Berkat kemasan humor yang ditawarkan, kekhawatiran itu
tak terasakan. Sayangnya ia mulai sedikit kehilangan balance ketika mulai masuk
fase terakhir, yaitu ketika Ernest enggan punya anak. Meski secara alur disusun
dengan padat dan rapi, namun nuansa yang mulai kelewat serius dan guyonan-guyonan
yang mulai berkurang, terasa menjadi turnover yang agak cukup signifikan.
Untungnya sebagai sutradara, Ernest tidak membuatnya jadi berlarut-larut dan
masih mampu menjaga pace sehingga tak terasa terlalu dalam jatuh ke melodrama
yang dragging. Wrap up juga menjadi masalah yang membuat Ngenest belum mampu menutup ceritanya secara smooth. Ketika
sebenarnya ia sudah berhasil menyentuh emosi penonton dengan senyum bahagia, ia
seolah masih ingin menggabungkan semua karakter yang sempat muncul ke dalam
satu frame, dengan dosis guyonan yang cukup banyak pula. Alhasil titik
klimaksnya seolah terlewati begitu saja dan jadi kurang terasa karena
‘sempalan’ di penghujung ini. Mungkin akan lebih terasa nyaman jika ‘sempalan’
ini dibuat sebagai potongan-potongan fragmen seiring dengan jalannya credit title, sebelum fragmen behind
the scene gila-gilaan yang sebenarnya berkesan nyambung dengan adegan penutup.
Sebagai aktor, mungkin Ernest tak
banyak berakting karena basically memang memerankan diri sendiri. Namun Ngenest ternyata didukung oleh
supporting cast yang tampil mengesankan dan menjadikan filmnya hidup pun
meriah. Mulai Morgan Oey yang tampil laid back, pas dengan karakternya yang
memang asyik, sampai Lala Karmela, biduan yang ternyata punya pesona cukup
untuk peran dengan porsi cukup banyak. Tak hanya cantik secara fisik, tapi juga
mampu tampil dengan personality menyenangkan dan bisa menunjukkan naik-turun
emosi dengan pas serta convincing. In many scenes, she stole it. Nama-nama
kondang di deretan berikutnya tak kalah menarik, mulai Ferry Salim, Olga Lydia,
Budi Dalton, Ade Gitria Sechan, GE Pamungkas, Franda, Lolox Ahmad, Adjis Doaibu,
Fico, Ence Bagus, Muhadkly Acho, Chika Jessika, sampai Arie Kriting.
Masing-masing bisa dikenali penonton dengan mudah dan menjadi daya tarik
tersendiri. Namun dari semuanya, Henky Solaiman dan Elkie Kwee sebagai Koh
Hengky jelas menjadi penampilan yang paling berkesan, apalagi bagi penonton
beretnis Cina yang familiar dengan lagu Yue
Liang Dai Biao Wo De Xin, lagu wajib etnis Cina di Indonesia.
Tak ada yang terlalu istimewa,
namun juga jauh dari kesan buruk, di teknis. Sinematografi Dicky Maland jelas cukup
efektif dalam bercerita, sementara editing Cesa David Luckmansyah, seperti
biasa, piawai dalam menjaga pace. Dinamis di momen-momen komedi, tapi juga bisa
lembut di momen-momen mellow. Tata suara tak terasa istimewa, selain fasilitas
Surround 7.1 yang terdengar cukup dimanfaatkan dalam membagi kanal. Terakhir,
lagu Mungkin dan Ku Ingin Kau Tahu dari The Overtunes menjadi pengiring yang cocok
dengan mood film. Mereka punya fanbase yang sangat kuat sebagai tambahan target
audience pula. A really good choice.
Di film debutnya ini Ernest cukup
banyak menggabungkan formula dengan harapan mengena pada subjeknya dan bisa
diterima penonton dengan range yang seluas-luasnya. Tak sepenuhnya sempurna
karena ada hal-hal minor yang masih terasa miss. Namun overall, it’s a really
really good debut for Ernest, baik sebagai sutradara, penulis naskah, maupun
lead character. Karya-karya berikutnya layak ditunggu. Semoga tak hanya
bermain-main di materi khasnya sebagai topik utama. Sekedar ‘sempalan’, boleh
lah, mengingat ke-Cina-an masih bisa jadi materi guyonan yang ampuh. Toh itu
sudah menjadi signature-nya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.