4/5
Blockbuster
Box Office
Comedy
Drama
Family
Hollywood
Pop-Corn Movie
Rivalry
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Daddy's Home
Di scene komedi Amerika Serikat
era 2000-an, ada beberapa nama yang benar-benar menjadi ikon. Tak hanya fans,
mereka juga punya haters tersendiri. Ya, namanya juga komedi, jelas punya pasar
dengan seleranya sendiri-sendiri yang tidak mungkin juga bakal selalu saling
cocok. Performa mereka di film pun hit and miss. Tapi yang pasti mereka sudah
punya fanbase sendiri yang selalu menantikan tiap film yang diproduksi, bahkan
punya circle yang jadi langganan di tiap film. Misalnya Adam Sandler dengan
circle-nya antara lain Rob Schneider, Judd Apatow dengan circle seperti Seth
Rogen, James Franco, Jonah Hill, dan Jason Segel. Nama yang juga tak boleh
dilupakan adalah Will Ferrell dan sutradara/penulis naskah/produser
langganannya: Adam McKay. Keduanya sudah terbukti sukses mencetak hit macam Anchorman, Talladega Nights, Step
Brothers, dan The Other Guys.
Jebolan Saturday Night Lives ini
punya guyonan-guyonan khas yang dicintai fansnya, antara lain mengolok-olok
(bahkan tak jarang juga menyiksa) diri, gesture yang mengundang gelak tawa, guyonan-guyonan kasar dan
menjurus seksual, serta gimmick-gimmick lain yang mungkin lebih bisa dinikmati
langsung daripada dijelaskan. Sekali lagi Will Ferrell-Adam McKay mencoba
berkolaborasi meski kali ini McKay hanya duduk di bangku produser, sementara
penulisan naskah dipercayakan kepada Brian Burns (You Stupid Man), John Morris (Hot
Tub Time Machine, Sex Drive, We’re the Millers, dan Horrible Bosses 2), dan Sean Anders (Horrible Bosses 2, That’s My Boy) yang
juga merangkap sutradara. Jajaran nama ini jelas patut diperhitungkan di scene
komedi. Yang sedikit unik, proyek bertitel Daddy’s
Home (DH) ini menargetkan keluarga, sehingga mau tidak mau guyonannya
disesuaikan (baca: dipersopan). Dengan portofilio selama ini yang penuh humor kasar
dan jorok untuk memancing tawa penonton, ini adalah sebuah tantangan
tersendiri.
Tidak ada yang lebih penting di
dunia ini bagi Brad Whitaker selain Dylan dan Megan, dua anak istrinya, Sara,
menganggap dirinya seorang ‘dad’ (ia bahkan membedakan istilah ‘father’ dan
‘dad’). Apapun ia lakukan untuk menjadi seorang ‘dad’ yang baik, mulai aktif di
kegiatan sekolah sampai meladeni segala kebutuhan mereka. Namun ternyata itu
bukanlah upaya yang mudah. Ketika Dylan dan Megan mulai membuka diri, muncul
Dusty, ayah biologis mereka yang tiba-tiba masuk ke kehidupan rumah tangga
mereka. Kontras dengan Brad, Dusty adalah tipikal pria free spirit yang doyan
bertualang, punya hobi-hobi macho seperti naik moge, dan hal-hal gahar lainnya.
Brad mungkin tidak takut Sara akan kembali ke pelukan Dusty karena tau betul
kenapa Sara akhirnya memilih Brad ketimbang Dusty, tapi kedua anaknya yang
mudah dipengaruhi ini yang ia khawatirkan. Kompetisi antara keduanya menjadi
seorang ‘dad’ semakin seru dan memanas hingga mempertaruhkan keutuhan keluarga
mereka.
Ada satu aspek yang menarik untuk
dibahas tentang DH dan fenomena keluarga tiri. Sementara kita yang menganut
budaya Timur lebih sering diberi gambaran keluarga bahagia adalah yang terdiri
dari ayah, ibu, dan anak, film-film Hollywood justru memberikan gambaran
‘keluarga alternatif’ yang mungkin tidak terkesan sempurna menurut norma
masyarakat umum, namun seolah memberikan ‘harapan’ bahwa keluarga yang tidak
sempurna pun bisa bahagia. Bagi kita yang di budaya Timur, mungkin ini terkesan
seperti melegitimasi perceraian dan membuat seolah-olah biasa. Namun jika kita
memprioritaskan perkembangan psikologis anak-anak ke depannya,
gambaran-gambaran ini justru lebih positif ketimbang gambaran keluarga sempurna
yang justru mendeskritkan bahkan mungkin menimbulkan perilaku bully terhadap
anak-anak dengan keluarga tidak sempurna. DH menunjukkan gambaran ekstrim yang
mungkin sulit diterima kita yang menganut budaya Timur. Bahkan seringnya kita
di-‘doktrin’ bahwa ayah atau ibu tiri adalah pihak yang pasti jahat. Saya salut
dengan keberaniannya yang mengajak untuk mengedepankan logika, pemikiran
dewasa, dan dampak psikologis anak-anak ketimbang sekedar emosi dan nama baik
keluarga. Toh divorce is unavoidable in some marriage, bahkan di budaya Timur
pada jaman agama-agama pertama kali disebarkan sekalipun.
Kembali ke film DH, ini bukan
kali pertama Will Farrell beradu akting di komedi bersama Mark Wahlberg karena
sebelumnya sudah pernah head-to-head di The
Other Guys. Jadi wajar jika chemistry persaingan antara keduanya begitu
luwes dalam mengocok perut penonton. Karakter Dusty yang manipulatif menambah
keseruan persaingan mereka. Sejak menit awal Will Farrell masih tampil dengan
guyonan-guyonan khasnya, terutama yang mempermalukan dirinya. Ada beberapa
dirty joke di sana-sini, terutama yang berkaitan dengan genital yang untungnya
masih cukup relevan dengan temanya dan masih tergolong ‘sopan’, serta sumpah
serapah yang levelnya juga mild. Jujur, sejak awal, gelaran jokes DH terasa
tidak se-gripping di film-film Will Ferrell biasanya, baik dari segi level
kelucuan tiap joke maupun dosis. Oh ya, saya masih bisa tertawa lepas dan
terbahak-bahak, tapi tidak sekonstan biasanya.
Namun yang begitu mempesona saya
adalah ketika mencapai klimaksnya, DH menunjukkan hati yang begitu besar.
Persaingan sengit perebutan status ‘dad’ ini berubah menjadi sebuah resolusi
yang menyenangkan semua pihak, relevan, bisa dipahami oleh anak-anak sekalipun,
dan terasa begitu hangat. Topik fatherhood yang tidak mudah dan life-changing
process, sampai fakta bahwa marriage is not for everybody, menjadi
elemen-elemen dalam cerita DH yang menarik, berbobot, disampaikan lewat satir
yang cerdas dan tetap berhasil menghibur. Akhirnya pada momennya, hati saya pun
langsung mendadak jatuh cinta dengan naskah dan bagaimana Sean Anders
memvisualisasikan komedi keluarga yang mungkin tak sepenuhnya aman (oh ya, saya
sangat mempertanyakan keputusan LSF memberi rating Semua Umur untuk DH), namun
dengan dampingan orang dewasa, bisa menghangatkan seluruh keluarga sambil
dibuat tertawa terbahak-bahak.
Will Ferrell di sini memberikan
performa yang setara dalam karakter yang masih tergolong tipikal seperti
film-film komedinya sebelumnya. Namun tak hanya itu, ia pun berhasil mencuri
hati sekaligus simpati penonton di momen-momen yang tepat. Begitu juga dengan
Mark Wahlberg yang di awal-awal mau tak mau membuat mata penonton terbelalak
meskipun mungkin juga akan sebal dengan sikapnya di saat yang bersamaan. Selain
Will dan Mark yang menjadi showcase utama, jajaran supporting cast yang turut
membuat suasana DH lebih meriak oleh gelak tawa adalah Thomas Haden Church
sebagai Leo Holt yang mengingatkan saya akan mood Anchorman, Bobby Cannavale sebagai dokter populer, Dr. Francisco,
dan komika Hannibal Buress sebagai Griff yang menyumbangkan humor-humor satir
tentang ‘rasism’. Linda Cardellini masih mempesona meski tampil sebagai ‘hot
mama’. Terakhir, kehadiran pegulat WWE, John Cena dan bidadari Victoria’s
Secret, Alessandra Ambrosio, adalah pemilihan yang tepat untuk karakter
masing-masing, dimana sukses membuat suasana semakin ‘pecah’.
Film yang ‘seru’ tentu didukung
dan ditentukan pula oleh pemilihan soundtrack pengiring. DH memilih lagu-lagu
yang tepat guna di sini; sesuai suasana dan populer di masing-masing genre
maupun eranya, seperti Self Esteem
dari The Offspring, Dirt Off Your
Shoulder dari Jay-Z, My Girl dari
The Temptations, Live Your Life dari T.I. feat Rihanna, dan Like a G6 dari Far East Movement. Saking tepatnya, bukan tak
mungkin Anda akan ingat adegan-adegan dari DH ketika mendengarkan lagi
lagu-lagu tersebut. Selain dari itu, tak ada yang istimewa maupun bermasalah di
teknis, termasuk sinematografi Julio Macat, editing Eric Kissack dan Brad
Wilhite, maupun tata suaranya.
Selain fans Will Ferrell yang
sudah terlanjur cocok dengan selera humornya, DH sayang untuk dilewatkan
sebagai tontonan bersama keluarga (terutama jika anggota keluarga Anda sudah
remaja ke atas semua). Ada beberapa crude humor dan genital related jokes (tak
terlalu frontal juga sih), tapi masih tergolong aman untuk ditonton bersama
anak di bawah umur dengan dampingan orang tua tentunya. Film komedi yang bikin
ketawa ngakak sepanjang durasi, tapi juga bisa bikin hati jadi sangat hangat di
klimaksnya, DH definitely has a super cool and super big heart.
Lihat data film ini di IMDb.