3.5/5
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Disaster
Drama
Friendship
History
Hollywood
Humanity
Pop-Corn Movie
Psychological
Socio-cultural
Survival
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The 33
Tahun 2010 dunia dikejutkan oleh
sebuah kecelakaan dimana 33 orang terperangkap sedalam 2.300 feet atau 700
meter di sebuah pertambangan emas berusia ratusan tahun di Copiapó, Chili.
Seperti biasa, kejadian bencana dengan sentuhan kemanusiaan yang selalu berhasil
menyentil emosional manusia, jadi materi yang potensial diangkat ke materi
lain, seperti buku dan film. Tak heran jika ke-33 penyintas ini sudah punya
angan-angan mengangkat kisah mereka ke dalam sebuah buku bahkan ketika masih
terperangkap. Dengan kerjasama yang berjalan cukup mulus dan bersinergi dengan
pihak penyintas, proyek film bertajuk The
33 ini bisa diwujudkan dengan lancar pula. Bahkan kabarnya ia menjadi film
pertama yang mendapat insentif dari komisi perfilman Kolombia. Naskahnya
diadaptasi oleh kerjasama penulis naskah yang cukup berpengalaman dengan
portfolio yang cukup baik, yaitu Jose Rivera, Mikko Alanne, Craig Borten, dan
Michael Thomas, serta di bangku sutradara ditunjuk sineas wanita dari Meksiko,
Patricia Riggen yang dikenal lewat Under
the Same Moon.
The 33 membidik kisah para penyintas lewat beberapa karakter
sentral. Mario Sepúlveda, yang memimpin rombongan penambang karena
kebijaksanaan dan pengalaman mumpuni di pertambangan emas San José. Álex Vega
yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Don Lucho yang paham seluk-beluk pertambangan San José.
Carlos Mamani, penambang asal Bolivia yang baru bekerja dan menjadi sasaran
bully pekerja lainnya. Yonni dengan ‘drama’ kehidupannya karena punya dua
istri. Tak hanya penyintas, tapi The 33
juga menampilkan sosok-sosok di belakang misi penyelamatan, terutama Laurence
Golborne, menteri pertambangan Chili yang berada di antara dua agenda: murni
ingin menyelamatkan para penyintas sekaligus mencari atensi sekaligus simpati,
tak hanya dari rakyat Chili, tapi juga di mata internasional. Dengan latar
belakang dan perkembangan karkakter masing-masing, bersatu demi misi utama yang
paling penting: penyelamatan dari perangkap sedalam 700 meter di bawah tanah,
yang ternyata memakan waktu total 69 hari.
Sama seperti kebanyakan kisah
disaster, survival, dan kemanusiaan, kisah The
33 dibangun dengan treatment yang tergolong generik. Memang jumlah
penyintas yang sebanyak 33 orang tak mungkin mendapatkan porsi yang sama.
Apalagi diakui bahwa banyak aspek-aspek dalam cerita yang difiksikan dari
kejadian aslinya. Tentu saja dengan persetujuan (atau malah inisiatif) para
penyintas demi membumbui alur utama jadi lebih menarik. Untungnya naskah
memilih karakter-karakter sentral yang cukup menarik untuk diangkat. Tak perlu
perkembangan yang terlalu signifikan dan kalau mau jujur, sangat generik serta
tipikal. Namun itu semua lebih dari cukup untuk sekedar mengundang simpati
penonton. Tak ketinggalan pula sisi humor yang diselipkan secukupnya agar
nuansa tidak kelewat depresif, namun tetap mempertahankan keseriusan ceritanya.
Keberhasilan yang setidaknya
masih patut diapresiasi dari The 33
adalah kemampuannya membuat penonton merasakan suasana hangat dari kebersamaan
33 orang penyintas, terutama dari beberapa tokoh sentral. Ups and downs, antara
desperasi dan harapan, dapat dengan mudah saya rasakan, bahkan berkali-kali
membuat saya tersenyum bahagia, meski kalau mau dipikir-pikir lagi, tak terlalu
mendalam pula.
Salah satu faktor keberhasilan
itu adalah penampilan para aktor yang memerankan karakter-karakter simpatiknya
dengan meyakinkan. Mulai dari Antonio Banderas seabagai Mario yang memang punya
kharisma paling kuat sebagai pemimpin, Rodrigo Santoro sebagai Laurence
Golborne yang meski punya dua sisi bertentangan, tetap berhasil menarik simpati
penonton, sampai Mario Casas sebagai Álex Vega yang memang punya fisik paling
menarik dari seluruh jajaran cast-nya. Sementara Juliette Binoche dan Lou
Diamond Phillips yang paling populer (selain Banderas, tentu saja) memang tidak
diberikan porsi yang begitu banyak, tapi mampu mencuri perhatian karena
star-factor-nya.
Secara garis besar, teknis The 33 lebih dari cukup untuk
menghidupkan segala nuansa yang hendak dimunculkan. Mulai sinematografi Checco
Varese yang cukup baik dalam bercerita maupun menampilkan emosi cerita, tata
suara yang mumpuni (dengarkan saja detail suara reruntuhan tanah pada
kanal-kanal rear yang begitu nyata), sampai score James Horner yang meski tak
terlalu hummable tapi berhasil menghantarkan segala emosinya dengan cukup
maksimal. Apalagi score The 33 ini menandai
salah satu dari dua score terakhir yang ia selesaikan sebelum meninggal dunia
pada 22 Juni 2015 lalu (score terakhirnya adalah untuk film Southpaw). Yang mengganjal bagi saya
mungkin hanya detail make up yang membuat penampilan para karakter utamanya tak
berubah begitu drastis setelah terkurung selama 2 bulan lebih. Terutama potongan
rambut, kumis, serta jenggot yang biasanya menjadi penanda waktu dalam film
sejenis.
The 33 memang menggunakan semua formula generik di genrenya, namun
terbukti segala upayanya itu masih berhasil mengundang simpati penonton. Bahkan
tak sedikit penonton yang mampu dibuat menangis bahagia olehnya. Jadi jika Anda
memang menggemari cerita kemanusiaan lewat perjuangan survival dari sebuah
bencana, The 33 bisa jadi pilihan
yang sayang untuk dilewatkan.
Lihat data film ini di IMDb.